Julian tak henti mondar-mandir sejak mendapat telepon dari opanya. Lelaki itu mendengarkan semua keluh kesah Tirta dengan sedikit rasa malas. Pasalnya, ia sudah bermenit-menit mendengar kalimat yang itu-itu saja. Lelah, ia akhirnya duduk di kursi yang bersisian dengan kedua temannya.
"Iya, Opa, sabar dulu. Pelan-pelan aja kita," ucap Julian seraya meraih segelas minum di atas meja.
"Kalau perlu kamu buat saja semua orang benci dia. Jangan biarin dia hidup tenang di sisa hidup dia yang paling tinggal sebentar itu."
Julian tak dapat menahan tawa, antara lucu dan tak habis pikir. Mungkin benar kata orang, semakin tua, manusia akan semakin kembali dengan sifat kekanakannya. "Kalau Opa emang benci banget ke dia, kenapa nggak selesein aja hidupnya dia sih? Opa bisa suruh orang, tinggal bayar, aman."
"Astaga, kamu ini ketularan bodohnya dia apa gimana? Kamu pikir Opa rela kotorin tangan Opa buat bunuh dia? Lagipula biar saja dia tersiksa dulu di dunia. Paling juga umurnya nggak akan lebih panjang dari Opa."
Julian geleng-geleng kepala. Mendengar ucapan sadis opanya bagai hiburan tersendiri untuknya. "Ya udah, Opa, intinya Opa sabar aja. Aku tau kok apa yang harus aku lakuin."
Setelah berbasa-basi, sambungan telepon akhirnya berakhir. Julian melempar pelan ponselnya ke meja. "Hadeh, capek juga ngomong sama aki-aki," ucapnya seraya mengambil camilan untuk mengisi perut yang keroncongan.
"Apa katanya?" tanya Ergi yang juga sedang menikmati hidangan. Ia sudah penasaran sejak mengamati ekspresi Julian sepanjang pembicaraannya dengan Tirta.
"Keknya manusia tuh makin tua malah makin sering tantrum, deh. Capek banget gue denger dia ngomong yang isinya itu-itu aja."
"Ngebahas soal Nizar?" Kael ikut menimpali. Ia tertawa saat tebakannya mendapat anggukan dari Julian. "Lo beneran cucu yang berbakti, Jul. Semua aki-aki di dunia ini pasti pengen punya cucu macem lo yang nurut aja buat disuruh-suruh."
Tangan Julian dengan ringannya menoyor kepala Kael. "Sialan lo! Lo pikir gue gangguin Nizar cuma gegara nurutin kata Opa?"
"Iya iya, canda doang elah."
Julian mendengkus keras. Ia jelas tak sebodoh itu untuk menuruti apa pun kata opanya seperti anjing peliharaan. Apa yang ia lakukan pada Nizar adalah luapan dendam yang ia punya. Julian tak akan pernah lupa pada setiap kesombongan yang sejak dulu Nizar perlihatkan padanya. Ia akan membuat Nizar jera karena terlalu sering mengomentari hidupnya.
***
"Bang Nizar!"
Nizar menoleh ke belakang begitu mendengar suara adiknya. Ia menunggu Aidan yang tengah berlari mendekat. Mereka baru saja menyelesaikan salat zuhur berjamaah. Area sekitar cukup ramai oleh para siswa yang juga baru selesai dari tempat ibadah.
"Abang mau makan siang kan? Bareng, dong." Aidan merangkul pundak abangnya, lantas berjalan bersisian menuju kantin.
"Tumben nggak sama Ricky atau temen kelas?"
"Ricky nggak masuk, lagi ikut papa mamanya ke Makassar jenguk neneknya."
Nizar mengangguk-angguk. Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di area kantin. Seperti biasa, tempat itu akan selalu padat di jam makan siang seperti ini. Kakak beradik itu menuju tempat langganan mereka meski lebih ramai dari yang lain.
"Mau beli apa, Dek?"
"Pengin onigiri aja keknya deh." Aidan juga melihat-lihat menu lain, sesekali menggerutu karena tubuhnya didorong-dorong oleh siswa lain.
Nizar sudah berhasil mencapai ruang yang membuatnya mudah untuk memesan. Ia mengambil nampan yang disediakan dan mulai memilih beberapa menu untuknya dan sang adik.

KAMU SEDANG MEMBACA
Selaksa Kasih✔️
Novela JuvenilKatanya, anak sulung adalah pilar yang kokoh. Maka untuk setiap kelemahan yang ia punya, Nizar begitu membencinya. Katanya manusia memang tidak ada yang sempurna, tetapi Nizar hidup di sekeliling orang yang utuh tentang segalanya. Berjalan di palin...