22. One Last Time - Dwi [bellebiebers]

246 36 30
                                    

Made by @Bellebiebers, 14 Juli 2015

ONE LAST TIME–Ariana Grande

Sinar jingga kemerahan itu muncul lagi di ufuk timur langit kota Jakarta. Begitu menyilaukan mata dan menggetarkan permukaan tanah saat bertabrakan dengan bumi. Berbeda dari yang kemarin, kali ini efek yang ditimbulkan lebih besar. Bahkan jauh lebih besar. Bukan hanya di Indonesia saja, seluruh penjuru dunia juga dibuat geger oleh serangan meteor besar-besaran yang menghujani bumi terhitung sejak dua hari yang lalu. Sampai saat ini, belum ada keterangan yang jelas akan apa yang terjadi sebenarnya.

Kemana para ilmuwan saat ini?

Apa yang dilakukan presiden-presiden dunia?

Uh, oh! Apa ada kabar dari NASA?

Anya mendengus. Ia melempar asal kantong plastik belanjaan berisi sembilan barang pokok dadakan yang baru saja dibelinya ke meja dapur. Ini membuat beberapa isinya tumpah keluar dan sebagian jatuh ke lantai. Tapi toh, ia tak peduli. Bundanya yang menyuruh ia untuk membeli itu semua di supermarket terdekat untuk berjaga-jaga akan krisis hujan meteor yang terjadi belakangan ini.

Ia kembali memutar memorinya beberapa menit yang lalu saat ia dalam perjalanan pulang ke rumah menyaksikan langsung dengan mata kepalanya sendiri ada sebuah meteor –bukan meteor biasa yang saat ini pun masih terus menghujani bumi, tapi meteor raksasa berukuran besar jatuh entah dimana. Yang jelas, Anya dapat merasakan getaran keras yang ditimbulkan akibat tabrakan bumi dengan benda langit itu. Ia kesal. Tentu saja, seluruh penduduk pun juga begitu dikiranya. Jangankan pihak dunia, pemerintahnya sendiri bahkan belum memberikan kepastian yang jelas.

Anya menekan tombol power pada remot televisi untuk menyalakannya. Sesaat kemudian matanya menyalang penuh keterkejutan begitu menyaksikan live report dari salah satu stasiun televisi terpercaya Indonesia yang menampilkan berita jatuhnya meteor raksasa tadi di pesisir Pantai Lossari, Makassar beberapa saat yang lalu. Ia tergagap. Makassar? Itu kampung halamannya!

Anya memang anak kuliahan dari luar kota yang menempuh pendidikan perguruan tingginya di salah satu universitas di Jakarta. Tapi keluarganya yang lain masih menetap di Makassar, berdekatan dengan Pantai Lossari sendiri. "Hhh..." tak mampu berkata-kata, Anya langsung menyambar ponselnya dan menekan digit nomor yang sudah terhafal di luar kepalanya.

"Bunda, angkat dong..." sambungan telepon tak kunjung terdengar. Hanya ada senyap selama beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam baginya. Anya tak putus asa sampai disitu. Kembali ia menyambungkan telepon dengan nomor ayahnya. Lalu kakak laki-lakinya. Tantenya. Dan terakhir nomor rumah neneknya. Mengulangnya sampai berkali-kali. Tapi nihil. Semuanya tidak memberikan ketenangan bagi jantungya yang kini terdengar seperti genderang perang.

Gak nyambung. Bukan sibuk atau apa. Tapi mati.

Anya mengerjapkan mata tak percaya. Buru-buru ia menyingkirkan pikiran negatifnya itu. Ia terduduk lemas di atas tempat tidur kosannya dengan ponsel masih berada dalam genggamannya. Entah sejak kapan bulir hangat air mata melapisi kulit wajahnya dan membekas apik disana. Anya tak tau dirinya menangisi keluarganya atau nasib yang akan dihadapinya setelah ini.

"Bodoh-bodoh-bodoh! Seharusnya gue ikut kata bunda liburan ini pulang kesana aja, bukannya pake boong kalo gue disini lagi banyak tugas. Kalo gitu 'kan kita bisa sama-sama. Duh, Anya otaknya kemana, sih!" Anya merutuki dirinya kesal. Ia mengerang. Diacak-acaknya rambut hitam kecoklatan itu sampai berantakan. Televisi yang tadinya menyala sudah mati dipaksa dengan cara melempar remotnya dan tombol power tertekan secara tak sengaja.

Kenapa harus gue?

Kini tangisnya pecah dilengkapi senggukan tak teratur. Matanya menyapu langit di luar yang samar-samar memperlihatkan hujan meteor di balik kain jendela yang terbuka. Semua peristiwa alam menggegerkan yang terjadi belakangan ini benar-benar membingungkannya.

Book 1: Melodies [song-fict]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang