Chapter 23

7.7K 1.1K 636
                                    

Siang itu, di tengah berita yang carut marut dan menyeret namanya, Keisha justru sedang duduk di dalam
mobil dengan punggungnya yang ditegakkan sempurna.

Matanya yang bengkak sebab usai menangis, tertutupi dengan baik berkat riasan yang dipoles sedemikian rupa. Tatanan rambut tergerai, sedikit menyisip di belakang telinga nampak elegan membingkai wajahnya yang berfitur lembut halus. Warna merah muda di bibirnya berkilauan, sama hal dengan kalung berlian melingkari leher tanpa beban nan anggun.

Di pemetang siang menjelang sore ini, Keisha untuk kali pertama akan menemui putra tertua keluarga Noegoro yang disebut-sebutkan oleh Tjahja selama ini.

Situasi ini bagai labirin yang tidak berkesudahan bagi Keisha, sebab Keisha masih harus membiarkan dirinya terbawa arus untuk mencapai titik temu paling akhir.

Ibarat hidupnya yang selama ini selalu berada di dalam zona nyaman, dengan sengaja diseret untuk keluar dan menyaksikan secara langsung bagaimana semesta bisa teramat kejam dalam berdusta.

Seperti bagaimana Keisha menarik napas lantang sebelum membuangnya perlahan, menggantikan dengan senyum seutas yang seharusnya memikat manis. Langkah kaki dipecut bersama tungkai jenjangnya yang senantiasa mengayun ringan, pun tatapan terhunus lurus tanpa sedikit pun melirik ke arah lain.

Dari pandangan sekelibat ini, nampak baik-baik saja seolah tidak ada sesuatu hal yang mengusik di dalam hati. Padahal sejak tadi, sudah bising sekali hati dan benaknya dalam berkecamuk.

Berpaut beberapa langkah lagi, Keisha dengan sebaik-baiknya bisa melihat seorang perempuan dengan rambut yang disanggul rendah duduk membelakangi. Warna merah melekat di tubuh itu, memainkan ilusi luar biasa pada kepercayaan dirinya.

"Selamat sore." Keisha memberi sapa bahkan saat belum menatap wajah sang puan di hadapannya itu. "Maaf sudah membuat Ibu menunggu saya cukup lama." melanjutkan dengan ucapan sopan seraya menundukkan kepala.

Itu dia, Uttami Cahyo, ibu dari Jatniko Noegoro.

Keisha tidak melihat keberadaan orang lain di meja itu selain Uttami. Hanya ada beberapa orang yang berdiri dengan gestur sopan. Keisha jelas tahu sudah pasti bukan mereka yang salah satunya adalah Jatniko Noegoro.

Irisnya baru saja bersinggungan dengan milik Uttami, membuat Keisha mengukir senyum mata singkat. Walau tahu bahwa kegiatannya itu tidak berbalas dengan bahasa tubuh serupa. "Saya memang sudah menunggu lama. Bahkan putra saya sudah menunggu sejak kemarin, sebelum tau kamu sudah berkeluarga." justru mendapat kata pembuka ramah sebagai bentuk sapa itu.

Senyum begitu tipis yang diukir garis bibir Uttami, anehnya terlihat meremehkan. "Kamu putri tunggalnya Tjahja, benar?" pertanyaan Uttami dibalas anggukan sopan oleh Keisha.

Keisha teralihkan oleh cenung yang membuatnya berdiri kaku, atas pernyataan yang terlontar pertama dari bibir Uttami. "Benar, saya Lakeisha, Ibu." di akhir, masih cukup mawas diri untuk merendahkan tubuh dan menyambangi sebuah salam perkenalan di hadapan perempuan hampir paruh baya itu.

Tatapan memindai yang dilakukan Uttami, menggambarkan sebagaimana terlatih perempuan itu mengenali seseorang hanya lewat tampilan saja. Gerakan tertata yang dilakukan setiap detik olehnya, tidak luput dari perhatian Keisha yang mempertahankan senyuman.

Uttami membasahi tenggorokan untuk berdeham ringan. "Apa boleh saya bertanya, Lakeisha? Bagaimana bisa pernikahanmu tidak pernah tersorot kamera, sampai-sampai Tjahja berpikir untuk menjodohkan kamu dengan putra saya?" kelopak mata Uttami memejam lambat.

Lalu terbuka kembali dan menatap Keisha dengan pendar yang sulit bagi Keisha untuk mengartikannya.

"Hari ini Jatniko baru saja tiba di Medan. Putra saya sudah menunggu kehadiranmu kemarin, tapi kamu tidak datang. Maka hari ini, saya yang gantikan Jatniko." terang Uttami tanpa diminta oleh Keisha, seolah mengerti bahwa Keisha bisa jadi mencari keberadaan pria yang akan disandingkan dengannya itu di sini.

Di Tengah Kelindan SemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang