RANJANG TERLARANG (1)

149 4 0
                                    

THIS WORK BELONGS TO FIELSYA (Fielsya)
VOTE DAN KOMEN YANG BANYAK

🔥🔥🔥

Detik demi detik berlalu, tanpa terasa jam digital yang terletak di atas lemari es menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi aku masih saja berkutat di dapur, mencuci semua peralatan yang aku gunakan untuk membuat sarapan.
Beberapa wajan, panci, dan beberapa piring, gelas dan sendok sisa makan semalam aku cuci dengan sedikit amarah. Suara denting gelas dan piring kaca memekakkan telingaku sendiri. Kalau saja suamiku yang sok kaya itu mau sedikit menambah pengeluaran rumah tangga, mungkin yang melakukan semua pekerjaan ini adalah asisten rumah tangga, bukannya aku.

“Kamu bisa nggak sih, kerja itu yang bener? Kalau semua piring dan gelas itu pecah, emangnya kamu mau ganti?” omel Mas Bagas, suamiku tercinta, tapi itu beberapa tahun lalu. Sekarang? Jangan ditanya, saat ini aku masih menjadi istrinya pun hanya status, nggak ada lagi perasaan atau rasa kasih yang besar seperti dulu, awal kami menikah.

Aku menghela napas kasar, kemudian membanting panci tebal berukuran dua puluh senti hingga salah satu gelas yang ada di bak cuci piring pecah. Aku membalik badan, kutatap sinis lelaki jangkung yang sudah rapi dengan setelan kemeja putih polos lengkap dengan jas, celana, dan sepatu warna hitam, duduk manis di meja makan sambil menyendok beberapa lauk ke piring di hadapannya.

“Enak banget ya kalau ngomong? Aku harus kerja yang bener? Kamu nyuruh aku ngerjain semua kerjaan rumah dengan baik, ngurus anak, ngurus kamu, pakai ART nggak boleh. Kamu pikir jadi aku nggak capek? Harus kerja di rumah, kerja di kantor, kamu seenaknya aja minta ini-itu, semua kamu atur, harus begini, begitu. Kalau kamu ngerasa aku nggak becus ngerjain kerjaan rumah, harusnya kamu mau cari pembantu buat bantu aku ngurus ini semua,” ucapku meluapkan kekesalan yang sudah aku pendam selama beberapa hari ini.

Pertengkaran seperti ini sebenarnya bukan yang pertama terjadi dalam rumah tangga kami. Hanya saja, sejak seminggu lalu, Angga, adik suamiku yang sedang menempuh S2 di salah satu kampus dan juga magang di salah satu kantor pengacara tak jauh dari rumah kami, dimintanya untuk tinggal bersama dengan kami.

Mertuaku sudah melarangnya karena tak enak hati padaku, hanya saja, suamiku itu keukeuh membawa adiknya ke rumah ini, entah apa alasannya. Ya sejujurnya aku nggak ada masalah dengan hal itu, aku dan Angga memang cukup akrab sejak pertama kali kenal. Sosoknya sangat ramah dan humoris. Menurutku dia juga lebih dewasa dari kakaknya. Apalagi Mas Bagas akhir-akhir ini kerap pergi dinas ke luar kota, setidaknya dengan adanya Angga bisa membuatku dan Lita, anak semata wayang kami, nggak kesepian lagi.

Mas Bagas yang baru saja menyuap sesendok nasi ke mulutnya seketika berhenti mengunyah. Kurasa dia memaksa kerongkongannya untuk menelan bulat-bulat makanan itu tanpa melumatnya hingga halus. Detik berikutnya, dia melempar sendok dan garpu di tangannya, lalu membersihkan bibir dengan sehelai tisu yang sudah tersedia di atas meja.

“Dari awal kita sudah sepakat untuk nggak pakai ART. Kan kamu sendiri yang menyanggupi bisa handle semuanya sendiri. Kenapa baru ngeluh sekarang? Kalau kamu merasa capek, resign aja dari kantormu, dan fokus sama pekerjaanmu sebagai ibu rumah tangga!” Mas Bagas lantas pergi dari meja makan tanpa menghabiskan makanannya. Bahkan dia tak menggubris ocehanku yang menuntutnya perihal uang tambahan yang kuminta.

Bukan aku nggak bersyukur, hanya saja hidup di kota besar dengan jatah bulanan sebesar delapan juta rupiah dan memiliki beberapa cicilan rumah dan mobil, belum lagi biaya sekolah anak, listrik, air, juga biaya makan sehari-hari rasanya sangat amat kurang. Apalagi suamiku itu makannya pemilih. Kalau nggak cocok, dia akan mengeluh dan malah memesan makanan di luar untuk dirinya sendiri. Kalau aku nggak ikutan kerja, bagaimana aku bisa memanjakan diriku sendiri sebagai self reward atas semua kelelahan selama ini?

Dia menuntutku untuk tetap menjaga tubuh dan wajah, karena nggak mau punya istri yang nggak proporsional dan cepat terlihat tua. Dipikir, semua perawatan itu nggak butuh uang? Tapi, tiap kali aku meminta tambahan uang, selalu saja mengalihkan pembicaraan. Entah ke mana sisa gajinya selama ini. Padahal jatah bulanan untuk orang tuanya hanya satu juta per bulan, masih ada sisa sekitar enam juta, belum termasuk bonus.

Jangan tanya apa aku tidak mencurigainya ada wanita lain di luar sana. Hati ini tetap mencurigainya, apalagi dua tahun terakhir ini, dia sudah jarang meminta jatah ranjang. Di luar kebiasaan yang awalnya hampir setiap hari kami lakukan karena dia memang termasuk hypersex. Tapi, energiku sudah cukup terkuras dengan semua yang dia lakukan selama ini. Biarlah, dia bersenang-senang di luar sana, yang penting masih ingat kalau punya anak yang selalu dia penuhi permintaannya.

Aku hanya bisa menangis, bukan karena sakit hati, melainkan karena lelah dengan semua ini. Rasanya ingin menyerah dan memilih untuk hidup sendiri. Tapi aku juga nggak mau kalau harus ribut urusan anak dan gono-gini di hadapan persidangan. Menguras energi dan emosi. Biarlah seperti ini, mungkin bisa saja aku mencari pelampiasan di luar sana kalau betul-betul nggak tahan lagi.

“Mbak, kunci motornya sudah aku taruh di meja samping tv ya. Lita sudah aman dan nggak telat,” ucap Angga yang baru saja datang dari mengantar Lita ke sekolah.

Segera kuhapus air mata ini sebelum Angga menyadari kalau keadaanku sedang tidak baik-baik saja. Atau dia akan menginterogasiku hingga berujung pertengkaran dengan kakaknya sendiri.

Dia memang tahu kalau aku dan Mas Bagas sering ribut. Dalam hal ini, dia selalu membelaku karena menyadari kalau seorang istri haruslah diperlakukan dengan sangat baik, bukan malah dibuat sedih. Katanya, kesuksesan dan rezeki seorang suami juga bergantung pada kebahagiaan istri, bukan hanya doa ibu. Kalau suami tidak memperlakukan istri dengan baik, kehancuran suami hanya tinggal menunggu waktu saja.

“Oh iya, thank you ya, Ngga. Gih, kamu sarapan, semuanya udah siap, termasuk sambel pecak request-an kamu tadi. Aku mau siap-siap kerja dulu.” Tanpa berani menatapnya, aku berlalu begitu saja dengan kepala tertunduk. Tetapi cengkeraman erat di telapak tangan, sukses menghentikan niatku.

“Kalian berantem lagi?” tanya Angga langsung pada poinnya.

Aku masih enggan menatapnya. Pertanyaan ini terasa menyayat hatiku. Terkadang terlintas penyesalan dalam hati, kenapa Tuhan tidak mempertemukanku lebih dulu dan menjodohkanku dengan Angga yang penuh perhatian dan sangat mengerti diriku? Kenapa harus dengan Mas Bagas, pria egois dan nggak pernah menghargaiku sebagai istri. Hanya bisa menyalahkan atau komplain kalau ada yang tidak sesuai dengan harapannya.

“Apa omongan Mas Bagas lagi-lagi nyakitin hati Mbak?” tanyanya sekali lagi karena aku masih bungkam.
Hampir satu menit berlalu, tapi hanya hening karena aku masih membisu dan enggan menatapnya. Namun, sebuah tarikan yang cukup keras kurasakan hingga tubuh ini terpental, menubruk dada bidangnya. Tanpa ragu, Angga merengkuh tubuh ini, mendekapku penuh kehangatan sambil mengelus punggungku. Tidak bisa lagi kutahan, air mata ini mengalir cukup deras hingga polo shirt warna abu rokok itu terasa basah karena air mataku.

“Anggap aku adikmu sendiri, bukan ipar, biar Mbak bisa cerita banyak hal ke aku. Aku juga nggak akan biarin siapa pun nyakitin Mbak, meskipun itu kakakku sendiri.”

***

Hai, Hai, gimana dengan bab ini?

Kita ketemu lagi besok. Buat kamu yang hobi baca cepat, marathon, silakan ke Karyakarsa thewwg.

Hanya dengan Rp. 60.000 sudah dapat 4 cerita sampai tamat plus dua extra part. Gimana? Murah meriah kan? Yuk klik link-nya.

https://karyakarsa.com/Thewwg/kloter-1-iam-fielsya

THE WWG HOLIDAY PROJECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang