PART 14 (Ketemu Ibu)

92 65 32
                                        


Dimas menggeleng, tidak terganggu dengan pertanyaan lawannya. "Lo tau gue suka Ara."

"Iya."

"Lo juga tau, gue habis nembak dia, kan?" Lagi, Bima mengangguk mengiyakan.

"Dan lo mau halangi jalan gue?" tanyanya.

Bima terkekeh, "Chill bro, gue udah dewasa. Menurut gue Ara terima cinta lo atau gue, itu hak dia sebagai penerima. Gue nggak akan ganggu kalau pun dia terima lo," jawabnya lugas.

Dimas terdiam, rencananya mengintrogasi Bima, bukan malah terpaku begini!

"Gue sebagai cowok tau, lo juga suka Ara."

Bima mengangguk tegas, "Lebih tepatnya sayang."

Dimas menghela nafas, "Dan lo berniat nembak dia?"

"Hampir gue tembak juga, kenapa?" Bima kelewat santai, membuat Dimas bertanya apakah cowok ini serius berkata begitu?

Bima mengetuk meja dua kali, mengembalikan atensi Dimas. "Gue cowok, lo juga cowok. Bersaing dalam mencapai suatu hal itu harus banyak pengorbanan."

"Kalau Ara pilih gue, tentu gue harus menerima tanggung jawab untuk melindungi, menyayangi, dan me-ratukan dia sebagai mana baiknya."

"Kalau lo yang Ara pilih, gue kasih tanggung jawab itu ke lo. Kalo lo cuma mau marah-marah karena gue juga sayang Ara, sorry, gue udah besar untuk marah-marah nggak jelas."

Dimas menarik bibir kanannya ke atas, sungguh sial. Ia harus takjub juga dengan sosok di depannya ini?

"Lo serius mau jadi pacar Ara?" tanya Dimas lagi.

Bima terkekeh geli, "Lo bapaknya ya?"

"Enak aja, gue calon pacarnya ini!" Dimas tetap ikut terkekeh mendengarnya, mereka menghapus rasa canggung secepat itu.

Bima tersenyum, "Gue serius. Kalau lo mau berjuang silahkan aja," jawabnya.

Dimas tertawa, "Tapi lo juga nggak menyerah?"

Bima mengangguk, bangkit lebih dulu. "Gue Bima, nggak ada kata menyerah di kamus gue," sambarnya semangat.

Dimas tertawa, ia benar-benar terbuka akan Bima yang terang-terangan mengatakan itu. Keduanya melangkah bersama keluar, jalan ke lapangan basket dan ruang OSIS sejalur.

"Kalau gue ditolak Ara, orang pertama yang gue samperin itu lo," ujar Dimas sembari menyenggol lengan Bima.

Bima tertawa kecil, "Terus lo ajak gelut?"

"Tau aja."

Mereka terkekeh, Dimas tersenyum kecil. "Gue serius waktu bilang mau bersaing sehat sama lo, jadi siap-siap aja."

Senyum Bima juga mengembang, "Sok atuh, saya tunggu tinjunya."

"Sial!" Dimas tertawa mengerti maksud Bima, menunggu Dimas mengajak gelut, tandanya Dimas ditolak dong.

***

"Yang bener aja lo bangsat!" Celo menepuk belakang leher Bima dengan kencang, membuat Abimanyu mengerutkan kening menahan sakit.

"Serius Bimas bilang gitu?"

"Dimas, Cel."

"Iya itu, ah masa iya. Saingan dong lo sekarang?" Bima mengangguk, kesimpulan Dimas mengajak bertemu itu hanya ingin memulai persaingan kan?

Celo menghela nafas panjang, "Padahal baru gue mau minta pajak jadian sama Ara."

"Jangan," cegah Bima.

Celo menoleh dengan bingung, Bima segera menepuk bahu temannya pelan. "Minta sama gua aja," katanya. Wajah Celo seketika bereaksi mual, membuat tawa Bima melebar.

"Bim, calon lo tuh calon lo!" Celo cepat-cepat menepuk paha Bima keras, melirik dari ekor mata.

"Calon calon gitu Kakak lo juga itu."

Ara melangkah memasuki tribun lapangan basket, dengan manisnya tersenyum pada keduanya. Jam sudah melewati batas main di lingkungan sekolah, sedangkan kedua cowok itu masih ribut di bangku terdepan.

"Hai," sapa Ara duluan.

"Hai hai kayak akrab aja lo," gumam Celo mendecit.

Ara memicing penuh kesal pada sang Adik, "Pulang, Cel, lo dicari Papa."

"Iya buset, cerewet banget emak-emak satu ini."

"Mulut lo minta dicuci ya?" Celo terkekeh, ia merapatkan bibirnya seakan tertutup.

Bima menggeleng, "Mau pulang?"

Gadis itu tersenyum lalu menggeleng, "Mau beli buku dulu, Gramedia banyak promo." Celo langsung bangkit dan membungkukkan badan sembilan puluh derajat.

"Sorry, Kak Ara. Saya Celo, izin pulang saja. Jangan minta temani saya, saya lelah!" Bersungguh-sungguh mengucapkan permintaan.

Bima terkekeh, sedangkan Ara sudah memanyunkan bibirnya sebal. "Sama aku aja, Celo biar pulang," kata Bima.

Mata Celo lantas berkaca, "Lo serius, bro? Gue thanks banget, tapi pesan gue semoga lo nggak trauma ya." Celo langsung berlari menjauh dari lapangan.

Pertama, takut Bima berubah pikiran, walau kemungkinan besar tidak. Kedua, sebelum Ara melemparkan ranselnya, kemungkinan ini masih berjalan sampai Ara kembali ke rumah lagi. Ketiga, memberi waktu keduanya.

Celo sangat baik, bukan?

"Adik nggak tau diri, awas aja nanti," ucap Ara mengepalkan tangannya geram.

Bima terkekeh geli, "Mau pergi sekarang?"

***

Bima dan Ara saling berbagi judul buku, sesekali berdebat bahwa yang satu ini lebih menarik. Dan berakhir Bima mengalah dan mengiyakan sang gadis.

"Ini aja, lo mau beli juga?" tanya Ara ke Bima.

Cowok itu menggeleng. Keduanya melangkah menuju kasir, mengantri pembayaran dengan sesekali bercanda.

"Serius tanya, deh. Adik lo asik semua ya?" Tawa Bima semakin lebar, mereka baru saja membicarakan Adim dengan hobinya melorotkan sarung tetangga.

"Kapan-kapan mau main ke rumah?" tanya Bima.

Ara tersentak sedikit terkejut pertanyaan itu, "Boleh?" tanyanya antusias.

Cowok itu mengangguk, "Ibu pasti suka, Dina juga. Kamu mau?" Dengan sederet gigi, Ara mengangguk semangat mengiyakan.

Mereka memutuskan obrolan saat sampai di depan kasir. Membiarkan Ara sibuk dengan kasir, Bima hanya tersenyum kecil. Membayangkan jikalau Ara benar-benar menerimanya.

Ah, halu!

"Ayo pulang, mampir beli makan dulu ya." Bima menatap ponselnya. Sudah hampir malam, sedangkan sang gadis masih mau mampir.

"Nggak capek?" tanya Bima.

Ara menoleh, ia ingat kejadian saat olimpiade. "Lo capek ya? Pulang aja deh," lanjutnya.

Bima terkekeh, tangan kanannya mengambil alih paperbag berisi buku-buku si mungil. "Kalo nggak capek, makan di rumahku aja gimana?"

Langkah Ara terhenti seketika. Matanya mengerjap lucu, ia menoleh ragu-ragu pada Bima, tidak salah kah?

"Nggak mau ya?" tanya Bima dengan manisnya. Bibirnya manyun, merasa gagal melangkah. Ah, seharusnya ia tidak terburu-buru.

"Kalau nggak, ketoprak dekat sini enak sih. Kamu mau ma—"

"Ke rumah lo aja," sambar Ara cepat.

Senyum Bima mengembang, ia menggigit bibir dalamnya. Shit, Ara lucu sekali.

"Oke, ayo ketemu Ibu."

***

Tenang guys, nggak langsung tunangan kok ini😽

So, see u babay!!

Januari untuk Desember [continue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang