Part 8 (Bima Emergency)

109 80 27
                                        

(Tunggu Apa Lagi - Nyoman Paul)

Jam menunjukkan pukul tiga kurang seperempat. Ara meremas tempat pensilnya dengan gugup, "Bim, bisa final nggak?"

"Bisa, sekarang kita masuk."

Gadis di sampingnya itu mengangguk, keduanya melangkah mantap ke dalam ruangan. Tidak lama, babak penyisihan final dimulai.

"SERATUS LIMA PULUH SOAL UNTUK SERATUS MENIT!"

"SETIAP TIM AKAN MENDAPAT POIN TAMBAHAN DARI TOMBOL YANG DITEKAN!"

Ara menerima tiga lembar soal. Jawaban akan dimasukkan ke dalam perangkat di tiap meja. Gadis itu menggigit bibirnya, "Bim, gue gugup."

Cowok itu ragu, melihat Ara memainkan jemarinya menandakan kegugupan dengan jelas. Dengan takut Bima mengusap pelan jemari mungil itu, tersenyum menenangkan.

"Hal biasa dalam lomba, lo kerjakan lima puluh depan, oke? Gue yang masukin ke perangkat. Nanti sisanya biar aku yang urus," katanya tegas.

Ara tertegun, jempol Bima masih mengusap punggung tangannya. Senyum cowok itu, matanya yang teduh, dan soft spoken. Ara gila memandangi sampai sedetail ini!

Tengg...

Sial, gue kenapa jantungan sih, pikirnya.

Bel berbunyi, Bima dengan tenang mengerjakan sepuluh soal terakhir. Ara tidak kalah cemas, langsung mengerjakan lima puluh soal terdepan.

***

"Tinggal dua puluh."

Ara mengangguk, tidak melepaskan tatapannya pada lembar soal. Bima tersenyum lebar, "Jangan tegang, kita bisa."

Gadis itu menoleh, tersenyum manis, Bima selalu seperti ini. Kalimat 'Bisa' layaknya sebuah mantra yang menenangkan perasaan siapa pun yang bertanya.

"Ini, sudah." Ara menyerahkan lembar jawabannya.

Cowok itu bangga, melirik jam yang menyisakan waktu tiga belas menit. "Aku selesai," kata Bima meletakkan pensil.

Segera mengambil perangkat memasukan jawaban ke dalamnya, Ara ikut membantu mendikte jawabannya.

"Waktu sisa sepuluh menit!" Ara panik.

Mengundang tawa Bima, cowok itu dengan gesit menekan tombol enter, menjadi jawaban terakhir.

Cowok itu berusaha menahan dirinya agar tidak over ketika bersama gadis mungil ini. Ara bersorak ria, meloncat dengan bahagia.

Mereka beradu tos, membuat Bima tidak memalingkan wajahnya dari gadis di depannya. Tertegun begitu dalam menatap senyum itu.

Ara menoleh, "Lo keren."

Bima tersenyum tipis, "Kamu keren juga."

***

Jika Ara lebih lega, maka Bima semakin tegang. Jika gadis itu panik saat bel tanda mulai olimpiade berdering, cowok di sampingnya itu lebih tegang saat suara pengumuman berbunyi.

Pak Joko di sebelah hanya mengangkat tangan, "Kalian itu sudah keren, sampai di babak final pasti hebat. Jangan lihat hasilnya, lihat prosesnya," nasihatnya.

Setelah itu suara Pak Joko tidak terdengar, hanya denging di telinga semakin keras. Bima mengurut pangkal hidungnya, semakin lemas.

Jantungnya perlahan semakin berubah sesak. Hidungnya tersumbat, membuat mulutnya terbuka meraup udara dengan segera.

Tangannya mengepal kaku. Ia mulai sesak.

Bima berusaha membuka matanya, kunang-kunang. Matanya semakin panas, ia memilih menunduk.

Januari untuk Desember [continue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang