Part 4 (Stalker)

133 109 28
                                        

Aku janji akan vote! Oke fiks, habis scroll siap-siap baca di pojokan ya ^^

***

Bima dan Celo saling mengoper bola basket, kompak memamerkan chemistry. "Oper, Cel."

Setelah Celo mengoperkan bola, Bima melompat melakukan three point. Mereka tertawa bersama lalu beradu tinju. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas siang.

"Buat bantuan Ara, lo mau imbalan apa?" tanya Celo.

Bima tertawa sembari mengusap wajahnya dengan handuk, "Jadiin pacar sama Kakak lo aja," katanya cengengesan.

"Kalo itu bukan imbalan, harapan kematian namanya!"

Mereka tertawa, lalu mengemasi tas mereka. Setelahnya berjalan beriringan ke motor, sebelumnya pamit dengan teman lainnya.

"Bim, mampir nasi padang ya."

***

Tidak mungkin Bima menolak ajakan Celo untuk mampir, maka kali ini ia sudah duduk di ruang tamu. "Nih, adanya Coca-Cola," kata Celo meletakkan botol tersebut ke meja.

Bima mengangguk berterima kasih, "Orang tua lo mana?"

"Pertanyaan sakral, lo kayak nggak tau aja mereka nggak ada libur." Pekerjaan bisnis Papa Celo memang tidak main-main, hasilnya bisa membangun vila.

Juga nyokap Celo, ahli bisnis perawatan yang selalu kedatangan artis papan atas. Celo dan Ara hendak protes pun tidak berhak.

Karena keduanya sama-sama menyukai hasil kerja orang tuanya. Mereka hanya bisa memberikan support dengan diam dan anteng.

"Ara?"

Celo menggeleng, "Kayaknya di kamar, mau gue panggil?" Bima menggeleng cepat, ia hanya ingin tau keadaan Ara.

"Udah makan?" Celo mengangguk.

"Kan tadi kita makan nasi padang, lo katanya pintar kok be—"

"Ara."

Mulut Celo menganga, ia kira dirinya yang ditanya. Salah kaprah. "Udah, ada cucian piring di meja makan. Jelas punya dia," katanya.

"Kalo gitu gue pamit."

"Dih, lo ke sini aslinya cuma mau nyari Ara kan?" Tawa Bima pecah, tau saja.

"Nyesel ngajak mampir gue, sana pulang kalo gitu." Bima bangkit, meraih kunci motor sebelum akhirnya tersenyum menatap Celo.

Temannya yang ditatap hanya menatap jijik, "Apa lagi?"

"Jaga Ara dengan baik ya," katanya berbisik. Setelah itu Bima tertawa melihat Celo yang melotot dan bereaksi muntah.

"Gue pulang dulu," katanya mengangkat tangan. Senyumnya merekah, ekor matanya menangkap pemandangan tidak pantas di lihat.

***

Ara mematikan televisi di kamar saat mendengar suara berisik dari luar rumah. Ia mengerutkan kening, "Ada tamu?"

Suara yang tidak asing memaksa Ara bangkit dari king size-nya. Kakinya melangkah dengan tongkat ke balkon kamar yang menuju ke gerbang depan.

"Bima?"

Cowok itu tertawa terbahak-bahak, sekilas mengajak ngobrol Celo yang ditanggapi dengan guyonan juga. Ara ragu, haruskah ia menyapa?

Namun, untuk apa? Jika berterima kasih, ia kan sudah terima kasih tadi di rumah sakit. Bima memutar tubuhnya, menghidupkan motornya lalu mengangkat tangan sekali sebelum pergi.

Alis Ara mengerut, "Dia kayaknya lihat gue, apa sengaja nggak nyapa?" Ia menggeleng setelah cowok itu hilang dari gerbang depan.

Gadis itu melangkah kembali ke dalam. Berniat kembali menghidupkan Netflix, namun ketukan pintu menginterupsinya dirinya.

Januari untuk Desember [continue]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang