Bima menyeruput kopi hangat, membiarkan adik-adiknya menangis karena bertengkar. Ia sedang lelah, kurang dari dua bulan.
"Bang, lagi mikir Ara ya?" Ibu datang dengan mendoan di tangannya. Bima terkekeh mendengar candaan Ibu.
"Bima mau lanjut kerja aja, Bu."
Ibu mengerutkan kening, "Loh, dulu kamu paling semangat loh mau masuk Universitas di Yogyakarta." Bima mengulum bibirnya, lalu menggeleng.
"Jauh, nanti Ibu gimana?"
Ibu tersenyum, "Kan ada Ayah, sekarang Ibu udah nggak sendirian, Abang lupa ya?" Benar, sudah ada Ayah.
Tujuan Bima memang itu, membuat Ibu mendapat teman yang seharusnya. Meski Ayah sering main ke rumah, tidak membuat Bima mau mengobrol panjang dengannya.
"Masih belum terima kalau Ayah di sini?"
Bima menggeleng, "Bima terima kok, Bu. Memang lagi banyak pikiran aja, makanya mau lanjut kerja."
Ibu mengusap lembut surai sang putra, "Ibu nggak akan larang Bima buat kuliah, ataupun kerja. Apapun itu, Ibu akan dukung." Bima terkekeh, ia seakan masih merasa sembilan tahun.
Ibu harus abadi.
"Masuk, udah malam." Bima mengangguk, membiarkan Ibu lebih dulu meninggalkannya.
***
Biarkan waktu terus berlanjut, pagi ini Adim yang lebih dulu membangunkannya. "Bang, itu si jago udah berisik, Bang Bima masih tidur wae."
"Ah, berisik sia mah," ujar Bima melempar bantal ke Adim. Setelah terbangun, segera cowok itu bersiap.
"Adim berangkat naik angkutan Mang Jalu!" Adim berlari keluar rumah, meninggalkan sarapan dan teriakan Ibu.
Setelah siap, menyantap sarapan yang hanya berisi telur asin dan tempe goreng, Abimanyu juga segera pamit. Hari ini ada ulangan bahasa Inggris, ia harus datang pagi.
Untuk menyiapkan diri maksudnya.
***
"Gimana, Bima panas enggak?" tanya Nadia.
Ara menggeleng lesu, jam istirahat sudah berdering beberapa menit lalu. Namun, sang mungil masih mendekam di bangkunya.
"Kok gitu, dia suka lo kan?" tanya Jessi serius
Lagi, Ara menggeleng tidak tahu.
Terdengar helaan nafas dari kedua temannya, mereka menepuk pelan Ara. "Nggak dapat Bima, ada Dimas. Lo santai aja," katanya.
Ara semakin menenggelamkan wajahnya ke lipatan lengan, ia tidak mengerti dengan perasaannya. Mengapa tiba-tiba semua terasa melelahkan?
"Udah, lo dari pada mikir cowok. Sana lo mikir jurusan lo," imbuh Jessi.
"Oh, iya benar. Si Dimas mau ambil pendidikan militer?"
Ara langsung menoleh, "Serius militer?"
Keduanya mengangguk, informasi valid langsung dari sahabatnya. Ara semakin pusing, "Gue ambil pertanahan," katanya.
"Bagus dong, gue teknik apa ilmu biologi ya?" cetus Jessi.
Nadia langsung tertawa, "Ilmu percintaan aja lo," katanya.
Jessi langsung mencibir, begitu juga dengan Ara yang malah tertawa puas. Kurang dari dua bulan.
***
Bima melirik, ponselnya bergetar.
Ibu.
"Hallo, Bim. Pulang sekolah ke sekolah Adim dulu ya," kata Ibu.
Cowok itu mengerutkan dahi, "Adim belum pulang?" Pasalnya, adiknya itu pulang jam dua tadi, sedangkan ini sudah menunjukkan pukul empat.
"Sudah, ini panggilan orang tua. Adikmu bolos sekolah," katanya.
Bima menghela nafas, "Adim di mana?"
"Sudah di rumah, tadi suratnya dikasih Dina."
"Iya, Bu. Nanti Bima ke sana," katanya.
"Iya, Ibu matiin dulu."
Bima menghela nafas, ini sangat bukan Adim yang ia kenal. Se-nakal apa pun Adim, mana berani ia bolos. Setidaknya jika tidak takut gurunya, ia takut Abimanyu, Abangnya.
"Bim, pulang." Celo mengangkat ranselnya, Bima mengangguk mengiyakan. Melangkah berjalan menuju parkiran, sekali lagi Bima melihat.
"Sejak kapan mereka pulang bareng?" tanyanya.
Celo menggeleng, "Tadi pagi Ara juga dijemput Dimas, katanya sih belum pacaran. Tapi nggak tau deh," jawabnya.
"Kalo lo gak rebut, bisa jadian mereka berdua." Kembaran Ara itu memanasi sahabatnya.
Bima hanya membiarkan Ara menatapnya sekilas, tersenyum manis seakan baik-baik saja. Juga Dimas yang tersenyum menyapanya ramah.
"Muka lo bisa biasa aja nggak? Jangan sok kasihan gitu," cecar Celo menoyor jidat Bima pelan.
Segera ditangkis Bima, "Bukan salah gue, salah kembaran lo tuh. Salah siapa cantik," katanya sebelum berlari menuju motornya.
Celo berdecak, "Dasar najis!"
***
Bima mengetuk dua kali kantor sekolah menengah pertama itu. "Permisi, Bu."
Bima melangkah, tersenyum saat Ibu guru memintanya duduk. "Nak Bima, ini surat alfa dari Adim."
"Ibu tidak tahu kenapa dia suka bolos akhir-akhir ini. Apa... sedang ada masalah?" Bima mengerutkan keningnya heran.
Tertulis alfa Adim sampai empat kali, ia langsung menoleh ke guru. "Syukurnya kita baik-baik saja, Bu. Tapi ini benar, Adim sampai empat kali bolos?"
Guru itu mengangguk, "Minggu lalu, dia dua kali kabur dari sekolah. Dan kemarin dia tidak masuk sekolah, hari ini juga tidak masuk sekolah."
Kemarin? Jelas sekali Bima mengantarnya sampai pintu gerbang, kenapa sampai tidak masuk sekolah?
"Hari ini katanya Ibu kalian sakit, makanya saya berpikir dua kali untuk memberikan hukuman langsung."
Sakit?
"Sebelumnya saya memohon maaf atas sikap adik saya, untuk itu biarkan Adim sendiri saja yang menyerahkan diri, Bu."
"Menyerahkan diri?"
Bima tersenyum, "Benar, Bu. Saya pastikan hal itu tidak terulang kembali." Guru itu tersenyum, segera ia mengangguk yakin.
Setelah berpamitan, Bima meninggalkan ruangan. Hanya saja pikirannya semakin kelimpungan, ia menutup kaca helm. "Sejak kapan Adim jadi keren gini?"
***
Double up!!💓
GIMANA GAIS? AKU MALES BANGET REVISIII ASTAGA, TUTOR MENGHILANGKAN RASA MALAS>>>
OH, KALIAN SETUJU NGGAK KALO DIMAS SAMA ARA AJA?
SEE U BABAY
g!
KAMU SEDANG MEMBACA
Januari untuk Desember [continue]
Romance[iamgigi_] 🚫𝐀𝐑𝐄𝐀 𝐀𝐍𝐓𝐈 𝐏𝐋𝐀𝐆𝐈𝐀𝐑𝐈𝐒𝐌𝐄🚫 [[‼️Perubahan cerita dari Teman Tapi Mantan]] Baca nggak!!? Maksa, kalo nggak Jakarta dan sekitarnya aku acak-acak! ••• Sosok yang hidup sebagai sulung itu harus berhadapan dengan kisah cintany...
![Januari untuk Desember [continue]](https://img.wattpad.com/cover/371152764-64-k103504.jpg)