"Menurut Ibu, apakah aku harus menerima tawaran ini?" tanya Nadi, meminta pendapat satu-satunya orang yang paling ia percaya.
Ibunya, satu-satunya keluarga yang ia miliki, selalu memberikan jawaban yang bijak dan tidak sembarangan. Karena itulah, Nadi berharap mendapatkan sedikit pencerahan.
Setelah menjelaskan panjang lebar tentang tawaran yang diberikan Abigail, Nadi duduk termenung. Ia telah menimbang-nimbang segala kemungkinan, tetapi semakin dipikirkan, semakin sulit baginya untuk membuat keputusan.
"Ini bukan pilihan yang mudah," gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.
Ibunya menghela napas pelan, lalu menatap Nadi dengan lembut. "Nadi, selama ini kamu selalu tahu apa yang kamu inginkan. Jika tawaran ini sesuai dengan hatimu, mengapa ragu?"
Nadi menatap ibunya, lalu menunduk, menggenggam amplop yang masih ada di pangkuannya.
"Aku ingin menjadi hakim," katanya pelan. "Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan ketertarikanku pada penyelidikan. Bagaimana kalau aku salah langkah?"
Ibunya tersenyum. "Tidak ada keputusan yang benar atau salah, Nadi. Yang ada hanyalah keputusan yang sesuai dengan hatimu atau tidak."
Nadi terdiam. Kata-kata itu terdengar sederhana, tetapi berat untuk dipraktikkan.
Ibunya melanjutkan, "Kalau kamu memilih jalan ini, kamu harus siap dengan segala risikonya. Jika kamu merasa ini bukan untukmu, tidak apa-apa untuk menolak. Yang penting, jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari."
Nadi menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan.
Ia masih belum tahu apa yang akan ia pilih. Tapi satu hal yang pasti-apapun keputusannya, itu harus datang dari dirinya sendiri.
Nadi terdiam cukup lama setelah mendengar jawaban ibunya. Kata-kata itu memang masuk akal, tetapi justru membuatnya semakin berpikir keras.
"Kalau aku menerimanya, aku tidak tahu ke mana jalan ini akan membawaku," gumamnya. "Tapi kalau aku menolaknya, aku takut akan menyesal."
Ibunya tersenyum lembut, seakan sudah bisa menebak isi hati putrinya. "Bukankah hidup memang selalu penuh ketidakpastian? Yang bisa kita lakukan hanyalah mengambil langkah pertama, lalu menjalani apa yang terjadi setelahnya."
Nadi menghela napas panjang. Ia tahu ibunya benar.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan bicara dengan Abigail. Aku perlu tahu lebih dalam sebelum mengambil keputusan."
Ibunya mengangguk. "Itu keputusan yang bijak."
Dengan hati yang masih ragu namun lebih mantap, Nadi menggenggam amplop itu erat. Besok, ia akan menemui Abigail dan mencari tahu segala yang perlu ia ketahui. Keputusan memang belum dibuat, tetapi satu hal pasti-ia tidak akan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja tanpa pertimbangan yang matang.
Keesokan harinya, Nadi duduk di sebuah kafe, menunggu kedatangan Abigail. Ia telah mengirim pesan singkat tadi pagi, meminta waktu untuk bertemu dan mendiskusikan lebih lanjut mengenai tawaran yang diberikan pria itu.
Tidak butuh waktu lama sebelum Abigail muncul. Seperti biasa, pria itu mengenakan pakaian yang rapi dan tampak tenang. Ia menarik kursi di depan Nadi dan duduk dengan santai.
"Kamu sudah memikirkannya?" tanya Abigail tanpa basa-basi.
Nadi mengangguk, meletakkan amplop di atas meja. "Aku ingin tahu lebih banyak sebelum mengambil keputusan."
Abigail tersenyum tipis, seakan sudah menduga jawaban itu. Ia melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap Nadi dengan serius.
"Apa yang ingin kamu ketahui?" tanyanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
CRIMINAL LOVE
General FictionSETELAH BACA WAJIB VOTE SERTA FOLLOW‼️ Bedakan mencintai tulus dari hati dan mencintai hanya karena nafsu. Akibat dari perasaan yang keras dan susah membedakannya, akhirnya jatuh ke dalam jurang manusia tak berotak.