17. Menghindari Sang Beruang

130K 8.6K 109
                                    

"Hallo, Kak Max."

"................"

"Adri menginap di rumahku malam ini, Kak."

"................."

"Iya, ada tugas yang mendadak harus dikumpulkan besok. Jadi kita kerjakan malam ini."

".................."

Stephanie terdiam cukup lama sebelum ia kembali bicara, "ponselnya mati, Kak, dia nggak bawa charger."

Aku terkikik mendengar alasan yang dikatakan oleh Stephanie. Mukanya terlihat seperti menahan tangis.

".................."

"Di...diaa...sedang di kamar mandi, Kak," dustanya sambil melirikku. Dia terdiam cukup lama sambil mengangguk-angguk.

"................."

"Ya, Kak akan kusampaikan."

Stephanie menutup ponselnya seraya bernapas lega.

"Dia nggak ngomel 'kan?" tanyaku saat melihat Stephanie yang baru pulih dari tegangnya.

"Nggak ngomel nenek lo!! Panas kuping gue, tahhuuuu!!!" Teriaknya dengan kesal.

"Memangnya dia ngomong apa?"

"Banyaaaakkk. Salah satunya, aku harus kasih tahu dia kalo kamu udah keluar dari kamar mandi!"

"Please, Stephhhh, aku nggak mau ngomong sama dia."

"Kamu harus bicara sama dia, Dri, nggak mungkin juga kan kamu menghindar dari dia terus," saran Tania.

"Tapi nggak sekarang!! Aku males ngomong sama pembohong kayak dia."

"Kamu nggak bisa ngejudge dia gitu aja, Dri. Kamu 'kan belum mendengar penjelasan dia. Siapa tahu itu temannya," Vania ikut-ikutan bersuara seperti saudara kembarnya.

"Bodo ah! Aku malas!" Aku beringsut turun dari ranjang besar milik Stephanie dan keluar kamar. Lebih baik aku mencari makanan di dapur.

Aku baru akan menyantap irisan brownies keduaku saat Stephanie muncul di dapur sambil mengulurkan ponselnya. 'Max' Ucapnya tanpa suara. Aku hanya menggeleng. Dia langsung melotot padaku. Mau tak mau kuambil juga ponsel itu.

"Halo."

"Chérie, apa tugas kalian sudah selesai? Aku jemput ya?"

"Belum, Kak, masih banyak. Bukankah Steph sudah bilang aku menginap di sini."

"Tapi aku khawatir. Kamu baru sembuh."

"Kak, aku baik-baik aja! Steph juga udah kenal aku dari bayi! Dia tahu apa yang harus dia lakukan kalau aku sakit!" jawabku ketus. Lagi-lagi bayangan dia dan wanita cantik itu melintas di kepalaku membuatku kesal.

"Ada apa? Kamu marah?"

"Tidak! Tugasku banyak dan harus segera dikerjakan. Bye!"

Aku langsung mematikan ponsel Stephanie dengan kesal.

"Kamu bener-bener cemburu ya?" tanya Stephanie dengan pandangan menyelidik.

"Ih! Nggak bakalan!" aku menyantap lagi brownies yang kurampok dari kulkas.

"Tapi kamu bener-bener seperti orang lagi cemburu, Dri."

"Apaan sih, Steph! Gue nggak naksir dia! Gue nggak suka dia! Gue nggak cemburu!" bentakku benar-benar marah.

Leherku sakit menahan tangis. Bahkan segelas airpun tak bisa menghilangkan sakitnya. Aku kembali ke kamar dan meringkuk di sofa di sudut kamar. Si kembar menghampiriku dan duduk di kanan kiriku. Stephanie yang baru datang menyeret kursi belajarnya dan duduk di depanku. Menggenggam kedua tanganku erat.

Mr. Ice (Sudah Cetak & Playstore)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang