Alluna - MOVE

178K 13.6K 63
                                    

ALLUNA

MOVE

"Lun.. ada yang mencarimu"

"Siapa? Sudah buat janji? Aku merasa nggak ada janji hari ini untuk bertemu siapapun"

Rengganis, rekan kerjaku, berdecak pelan.

"Astaga Alluna! Apa suamimu sendiri juga harus membuat janji kalau mau bertemu sama kamu"

Bram? Dia disini? Mau apa laki-laki itu datang ke sini. Di jam kerja seperti ini pula.

Aku berdiri dan segera menghampiri Bram. Ya.. dia disana. Duduk manis di atas sofa berbahan beludru yang memang disediakan untuk customer butik kami.

Matanya memandang ke segala arah meneliti, senyum lebar segera terbentuk diwajahnya ketika ia melihatku sedang memandangnya, mengawasi.

Bram berjalan menghampiriku, mirip seperti anak TK yang berjalan menghampiri ibunya.

"Kamu sibuk Al?"

"Ini jam kerja Bram. Tentu saja sibuk"

Bram mengerucutkan bibirnya. Harus kuakui laki-laki ini imut ketika mengerucutkan bibirnya seperti itu.

Aku melirik beberapa pegawai butik yang memandang Bram memuja dan segera mengalihkan pandangan mereka begitu aku menatap mereka. Bram memang tampan. Aku juga memgakui hal itu. Minus dengan senyum bodohnya, tentu saja.

"Jangan merajuk Bram. Kamu mau apa?"

"Aku mau mengajakmu ke apartemen baru kita. Kamu bilang akan lebih baik jika kita tinggal sendiri daripada terus-terusan tinggal di rumah Ayah"

Ya itu benar. Sudah terhitung tiga minggu sejak kami menikah dan kami masih tinggal di rumah Ayah dan Ibu.

Jangan salah paham. Bukannya aku tidak senang tinggal disana. Aku senang. Yang jadi masalahnya adalah, akhir-akhir ini ibu sering membuatkanku jamu yang rasanya sungguh tidak usah ditanya. Nasib baik jika ibu hanya memberikannya padaku, lah ini... ibu menungguiku hingga menghabiskannya. Hingga tetes terakhir.

Mama juga sering berkunjung ke rumah ibu. Tau apa yang mereka sodorkan padaku? Baju-baju seksi kurang bahan. Aku bukannya tidak tau apa fungsi baju-baju itu. Aku sudah dewasa dan aku paham masalah seperti ini. Hanya saja semua hal itu membuatku risih. Kalian tau, seperti mereka menguntit urusan ranjangku.

Kami memang belum melakukannya. Ingat, aku bilang belum bukan tidak. Pernikahan ini bukan mainan dan bukan sekedar kontrak yang nanti akan selesai pada batas waktunya.

Bram sudah mewanti-wanti ku tentang hal ini, bahwa dia serius dengan pernikahan kami. Dan aku menghargai itu. Setidaknya aku akan berusaha belajar tentangnya, memahami seperti apa itu Bagus Bramasta Ragasiwi. Aku berusaha percaya padanya. Yah... jika kembarannya berengsek belum tentu Bram memiliki sifat yang sama berengseknya kan?

"Oke.. tunggu disini. Aku ambil tas ku dulu"

"Kamu bilang sibuk"

"Jadi kamu mau aku kembali bekerja?"

"Alluna.."

"Bramasta.."

Dan disinilah aku sekarang. Di apartemen yang dia sebut-sebut yang sebenarnya bukan apartemen. Ini penthouse. Jauh lebih mewah dibanding apartemen. Dengan segala kemewahan ini, aku jadi curiga. Sebenarnya apa pekerjaan Bram. Dia tidak pernah menjawab pertanyaanku, jadi jangan salahkan aku jika aku tidak tau.

"Kamu suka apartemen..."

"Penthouse" selaku cepat. Dan dia hanya tersenyum lebar, seperti biasa.

"Oke. Penthouse. Kamu suka Al?"

Aku mengangguk. Aku suka. Benar-benar seleraku. Warna hijau mendominasi penthouse ini, warna kesukaanku.

Kalian tau, Bram itu seolah-olah tau segalanya tentang ku. Dia seperti sudah mengenalku sangat lama. Kadang aku merasa tidak adil, aku harus belajar mati-matian untuk memahaminya tapi dia sudah tau segalanya tentang diriku.

"Kamar utamanya masih kosong Al. Aku sengaja, aku mau kamu yang memilih perabotannya"

Dia masih tersenyum. Kadang aku heran, apa giginya tidak kering karena terus-terusan tersenyum seperti itu. Apa dia juga terus tersenyum seperti itu jika sedang bersama wanita lain.

"Kita beli sekarang, bagaimana?"

Aku menyipitkan mataku, memandangnya dari atas ke bawah. Dia mengajak beli perabotan rumah tangga yang aku yakin jumlahnya tidaklah sedikit seperti mengajak beli nasi padang. Seolah-olah uang akan keluar setelah dia membuang nafasnya.

Oke itu berlebihan. Tapi aku benar-benar curiga sekarang. Apa sih pekerjaannya? Uang yang dia dapat itu halal kan?

"Bram..?"

"Ya Al. Kenapa?"

"Kamu bukan mafia kan?"

Dia tertawa terpingkal-pingkal. Bahkan sampai memegangi perutnya dan ada air mata keluar dari sudut matanya. Lucu, eh?

"Kenapa kamu berpikir seperti itu?" Dia bertanya, masih dengan sisa-sisa tawa yang sepertinya susah sekali untuk dihentikan.

"Kamu sangat-sangat kaya. Mudah sekali untuk mengeluarkan uang seolah-olah setiap kamu membuang nafas akan keluar uang. Penthouse ini, aku tidak bisa membayangkan harganya. Tapi kamu dengan mudah membelinya. Kamu beli penthouse seolah-olah kamu sedang beli sabun mandi. Tinggal comot"

"Aku memiliki saham di sini Al. Pekerjaanku ya seperti itu, kamu harus berkunjung ke kantorku sesekali dan aku bukan mafia"

Aku menghembuskan nafas lega. Setidaknya uang yang dia dapatkan halal. Dan akan kupastikan, aku akan mengunjunginya di kantor untuk memastikan bahwa Bagus Bramasta Ragasiwi bukanlah seorang mafia.

3 Oktober 2015

Alluna (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang