ALLUNA
MASALAH MASA LALU
Hari ini aku menghabiskan waktu makan siang ku bersama Bagas. Pertemuan ini tidak sengaja. Jika aku tidak menumpahkan caramel frappucino ku ke kemeja putih bersihnya, aku tidak akan berakhir duduk manis disini bersamanya.
Caramel frappucino ku sudah berganti dengan green tea latte. Aku sudah tidak minat untuk meminum caramel frappucino, padahal aku sudah membayangkannya sejak semalam.
Bagas hanya memandang ke luar sejak tadi. Hujan sepertinya lebih menarik daripada diriku. Demi Tuhan sudah satu jam kami seperti ini. Diam seperti orang bisu. Dia ini bagaimana sih, katanya mau bicara. Penting. Tapi, setelah aku dengan ikhlasnya meluangkan waktuku dia malah hanya diam saja.
"Aku pergi kalau nggak ada yang mau kamu omongin"
Aku buru-buru berdiri tapi Bagas mencekal pergelangan tanganku. Memberiku isyarat untuk kembali duduk manis seperti tadi melalui mata tajamnya.
Aku mendengus, tapi tetap menuruti perintahnya untuk kembali duduk.
"Kamu bahagia Lun?"
Aku mengangkat satu alisku. Apa maksudnya? Saat ini? Aku bahagia. Apa dia tidak bisa melihatnya?
"Apa kamu bahagia dengan hidupmu sekarang bersama Bagus?"
Aku mengangguk pasti.
Aku bahagia hidup bersama Bram. Hidup bersamanya adalah pilihanku. Aku tidak pernah menyesali pilihanku ini. Kami baik-baik saja. Masalah perselingkuhan itu... ah.. sudahlah, lupakan saja. Itu bukan salah Bram, aku tau. Tapi aku masih jengkel dengannya jadi aku masih mendiamkannya.
"Apa sama sekali nggak ada sisa perasaanmu buat aku?"
"Gas.." Aku mendesah kecewa.
Seharusnya aku tadi tidak usah menuruti permintaannya untuk duduk bersama disini. Pembicaraan ini sensitif. Aku tidak suka.
Aku sudah memaafkannya tentang masalah itu. Aku sudah tidak mempermasalahkan tentang pernikahan kami yang batal karena kecelakaannya dan Dewi. Demi Tuhan, luka itu sudah lama sembuh. Aku sudah hidup bahagia dengan Bram dan kuharap dia juga bisa mencari kebahagiannya sendiri. Apa yang terjadi diantara kami adalah masa lalu.
"Aku mau kita kembali seperti dulu Lun.." Bagas meraih tanganku ke dalam genggamannya. "Apa itu berlebihan? Aku.."
"Jelas itu berlebihan" kataku dengan nada tinggi. Cepat-cepat aku menarik tanganku dari genggamannya dan menyembunyikannya di bawah meja. Ngeri jika Bagas menariknya kembali. "Aku istri kakakmu sekarang. Apa yang terjadi diantara kita itu masa lalu Gas"
Bagas diam. Matanya kembali menatap keluar jendela.
"Semua ini salahku Lun. Kalau saja waktu itu aku nggak mabuk dan berpikir lebih jernih. Pasti sekarang ini kamu sedang mengandung anakku. Bukan anak Bagus. Kalau saja aku.."
"Gas.." lagi-lagi aku mendesah kecewa. "Sudahlah.. semua itu masa lalu. Jadikan masa lalu itu sebagai pelajaran jangan dijadikan kenangan. Kalau kamu jadikan kenangan kamu akan stuck disini selamanya"
"Begitu?"
"Aku bahagia dengan hidupku sekarang. Aku harap kamu juga bisa bahagia dengan kehidupanmu sekarang Gas. Jangan buat aku jadi orang jahat karena menahan kebahagianmu"
Bagas tersenyum sinis. Jari tangannya yang panjang bermain di sekitar bibir gelas berisi kopi hitam pesanannya yang aku yakin kini sudah tidak hangat lagi.
Kami kembali diam. Memandangi air hujan yang turun semakin deras di luar coffee shop. Sepi. Siapa juga yang mau berjalan keluar rumah jika keadaannya seperti ini. Mereka semua pasti akan lebih memilih di rumah dan bergelung dalam selimut yang hangat.
"Kamu tau Lun?" Bagas kembali membuka suara, membuatku mengalihkan pandanganku dari luar jendela untuk kembali fokus padanya. Matanya sendu, membuatku tidak tega. "Cinta itu rapuh. Membingungkan. Ketika cinta itu begitu kuat dan meyakinkan seseorang disaat yang bersamaan dia begitu lemah dan tidak diinginkan"
Aku mendengus, mulai lelah dengan drama ini. Bagaimana lagi aku harus memberitahunya bahwa aku ingin semua ini selesai. Maksudku, selesai dengan jalan yang baik. Kita berdamai. Aku sudah melupakan semua itu. Itu adalah masa lalu.
"Setahun yang lalu.." katanya pelan. "Did you love me?"
"I did" jawabku cepat.
Serius ya. Aku tidak akan mengelak. Aku memang mencintainya, tapi itu dulu. Saat semuanya masih baik-baik saja. Saat aku merasa bahwa Bagas adalah pusat duniaku. Sekarang semuanya sudah berbeda.
Dulu, bagiku Bagas adalah segalanya. Sebut saja aku bodoh tapi aku akan melakukan apapun untuknya. Dulu, Aku mencintainya, sangat.
Bahkan ketika pernikahan kami batal pun aku hampir gila karenanya. Aku kira aku sudah tidak bisa lagi mencintai seseorang. Cinta itu omong kosong. Ketika pernikahan kami batal itu menyakitkan. Sangat. Bayangkan saja bagaimana rasanya ketika pernikahan mu akan berlangsung sebentar lagi tapi kamu malah menemukan calon suamimu menghamili wanita lain.
Apa iya kamu akan tetap menutup mata dan memaksakan keadaan kalau semuanya baik-baik saja. Secinta-cinta nya aku dengan Bagas, aku tidak mungkin menikah dengannya dan membiarkan wanita lain yang mengandung anaknya berjuang sendirian. Aku memang jahat. Tapi aku tidak sejahat itu.
"Jika aku tidak melakukan kesalahan itu, apakah kamu masih mencintaiku?" suara Bagas kembali menyadarkanku. "Pasti semua masih baik-baik saja. Kamu masih akan tetap mencintaiku dan kita bisa hidup bersama"
"Nggak" aku mengkoreksi kalimatnya. "Kalau aku mencintaimu, aku pasti akan menunggumu untuk berpisah dengan Dewi dan kembali padaku. Tapi aku nggak melakukannya"
Aku memainkan sedotan green tea latte ku, menimang-nimang kata apa yang seharusnya ku keluarkan dari mulutku dan mengakhiri ini semua dengan cepat.
"Kamu cinta Bagus?" Tanyanya pelan nyaris seperti bisikan.
"Aku mencintainya. Sangat" kataku tegas tanpa keraguan. "Aku rela menukar apapun agar dia tetap berada di sampingku"
Bagas menatapku tajam. "Secepat itu kamu mencintainya? Aku jadi ragu kalau kamu mencintaiku dulu"
"Kamu ragu pun sekarang sudah nggak ada gunanya. Aku nggak peduli. Toh kamu bukan siapa-siapa ku sekarang" aku menghela nafas lelah. "Aku cinta kamu Gas, dulu. Aku hampir gila waktu tau kamu menghamili wanita lain padahal kita akan menikah. Aku selalu berusaha untuk menahan kamu agar tetap berada di sampingku"
"Aku bahkan sempat berpikir bahwa aku tidak akan pernah bisa mencintai lagi. Kamu tau, ketika kamu mencintai seseorang terlalu dalam rasanya sangat menyakitkan. Aku sempat berpikir bahwa pernikahanku dengan Bram hanyalah formalitas. Aku tidak mungkin membuat keluarga besar kita menanggung malu. Undangannya sudah disebar waktu itu, kalau kamu lupa"
"Maaf" katanya pelan.
"Mencintai itu bukan pilihan Gas. Tapi bertahan dengan seseorang itu pilihan. Seperti aku yang memilih untuk bertahan bersama kakakmu dan akhirnya aku mencintainya. Sangat"
Perasaanku menghangat ketika aku membayangkan wajah Bram yang tersenyum. Oh.. jangan biarkan Bram tau tentang hal ini. Kepalanya akan menjadi sebesar balon udara dan dia akan mendadak bertingkah manja, itu merepotkan.
"Aku sudah memafkanmu. Jadi bisakah kita berdamai dengan masa lalu kita?"
Aku memandang Bagas tepat di manik matanya, menunggu-nunggu jawaban yang keluar dari mulutnya. Tapi Bagas tidak kunjung menjawab. Pria itu lebih memilih bungkam dan itu membuatku kecewa.
"Aku anggap diammu itu berarti iya. Kita berdamai dengan masa lalu kita" aku segera beranjak dari tempat dudukku. Aku akan kembali ke butik. Hujan deras tadi kini sudah mulai reda.
"Lun.." panggil Bagas ketika aku sudah beberapa langkah menjauh dari meja kami.
"Ini menyakitkan, sungguh" Bagas memejamkan matanya, aku masih diam di tempatku berdiri. Aku tau kalimatnya belum selesai. "Tapi aku lega mendengarnya darimu secara langsung. Aku akan mencobanya, berdamai dengan masa lalu kita dan menjadikannya sebagai pelajaran"
Aku tersenyum dan segera beranjak pergi. Ku harap Bagas bisa menemukan kebahagiannya sendiri, secepatnya.
30 November 2015
KAMU SEDANG MEMBACA
Alluna (COMPLETED)
ChickLitApa jadinya jika kamu batal menikah? Undangan sudah disebar dan segala persiapan sudah matang. Tinggal menunggu hari saja, tapi mempelai prianya malah lari dengan wanita lain. Alluna mengalaminya. Dia tidak bunuh diri atau menangis meraung-raung sep...