Alluna - FAKE

144K 11.4K 613
                                    

ALLUNA

FAKE

Anak itu adalah suatu anugrah. Setiap orang yang sudah menikah pasti ingin memiliki anak. Begitu juga aku.

Aku mengelus perutku yang masih datar. Kapan ya, ada makhluk mungil yang berada di dalam sini.

"Mbak Alluna?"

Aku menatap wanita yang sedang duduk di kursi roda itu dan tersenyum. Dia Dewi. Istri Bagas.

"Dokter bilang dia masih harus dirawat disana. Kondisinya tidak begitu baik" katanya sedih sambil menatap bayi mungil yang berada di inkubator.

Aku ikut memandang bayi mungil itu. Wajahnya sangat mirip dengan Dewi. Hanya bentuk bibirnya yang mirip dengan Bagas. Cantik.

"Dokter bilang dia rentan terkena infeksi"

Ya, bayi yang lahir prematur memang rentan terkena infeksi karena organ-organnya yang belum terbentuk sempurna. Si bayi harus berjuang untuk mendapatkan pertumbuhan yang lebih baik.

"Ini semua salahku mbak. Kalau saja aku lebih hati-hati pasti dia tidak harus menderita seperti ini"

"Ini bukan salah kamu Wi. Semua sudah ada jalannya masing-masing. Sudah ada yang mengatur"

"Termasuk gagalnya pernikahan mbak Alluna dengan mas Bagas?"

Aku terdiam dan berpikir. Ya, tentu saja termasuk hal itu juga. Gagalnya pernikahanku dengan Bagas. Tapi toh semua itu bukan masalah. Aku mendapatkan yang jauh lebih baik dari Bagas. Ketika Tuhan mengambil sesuatu dari kita, pasti Tuhan akan selalu memberikan gantinya, bahkan lebih baik.

"Ini salah mbak. Seharusnya Mbak Alluna yang bersama Mas Bagas dan aku yang bersama Mas Bagus"

Aku sedikit terkejut. Ini salah? Kenapa harus Dewi yang bersama Bram? Aku tau mereka bersahabat. Sangat dekat, kata Bram seperti itu.

Aku juga tau semenjak orang tua Dewi meninggal, Ayah dan Ibu menjadikan Dewi anak angkat mereka. Tapi.. jika dia bilang seharusnya dia yang bersama Bram, apakah hubungan mereka lebih dari seorang sahabat?

"Mau bicara di tempat lain?"

Dewi mengangguk dan aku lebih memilih untuk mendorong kursi rodanya ke taman. Taman rumah sakit cukup ramai. Jadi akan banyak orang yang bisa melerai kami kalau-kalau aku menjambak rambutnya karena kelewat emosi.

"Kami bertiga bersahabat. Mbak Alluna pasti tau itu" Dewi akhirnya buka suara setelah kami terdiam cukup lama. Suasana canggung seperti ini membuat kepalaku pusing.

"Mereka selalu memanjakanku seolah aku adalah adik kandung mereka. Mereka selalu menjagaku. Jika ada orang yang menggangguku maka mereka berdua dengan sigap akan melindungiku"

Aku tersenyum kecut. Enak sekali pasti ada di posisi Dewi saat itu. Berbeda jauh dengan masa kecilku yang selalu sendiri. Aku sulit berteman dengan orang lain. Mungkin karena pribadiku yang keras dan ketus ketika berbicara.

"Berbeda dengan mas Bagas yang terkadang suka seenaknya sendiri. Mas Bagus adalah orang yang sangat pengertian. Dia adalah anak tertua. Dia selalu merasa bahwa menjaga dan melindungi kami adalah tanggung jawabnya"

Dewi tersenyum. Wanita ini adalah wanita yang manis. Jika aku adalah laki-laki aku pasti akan memuja senyumannya.

"Waktu itu, dia bahkan rela dipukuli preman demi melindungi mas Bagas. Waktu itu dia juga rela dimarahi Ayah karena ketauan membolos sekolah dan memilih untuk menemaniku seharian di makam Ayah dan Ibuku"

"Mas Bagus itu sangat mudah untuk dicintai mbak"

Ya, itu benar. Dengan segala tingkah manisnya laki-laki itu sangat mudah untuk dicintai.

"Termasuk aku yang dengan begitu mudahnya mencintai mas Bagus sampai sekarang"

Percayalah, mendengarkan cerita wanita lain tentang suamimu dan mendengar mereka bilang kalau mereka mencintai suamimu secara terang-terangan adalah hal yang paling menyebalkan di dunia ini selain menunggu seseorang.

"Tapi kamu istri Bagas sekarang. Kalian bahkan sudah memiliki anak"

Lagi-lagi Dewi tersenyum. Senyum yang terasa menyebalkan. Manis tapi menyebalkan.

"Mas Bagas akan menceraikanku nanti, ketika keadaan anak kami sudah membaik"

Jadi dia tau? Dia tau kalau dia akan diceraikan dan dia senang dengan kenyataan itu? Satu hal yang aku tau sekarang. Bagas dan Dewi sama gilanya. Mereka berdua tidak waras.

"Janur kuning yang sudah melengkung itu bukan halangan untuk mendekati seseorang kan mbak? Seperti kata kebanyakan orang. Perjaka memang menggoda tapi suami orang lebih menantang"

Aku mendengus. Antara kesal dan geli secara bersamaan. Orang ini pasti kecanduan dangdut sampai-sampai berkata seperti itu. Lagu itu pasti sudah merasuk ke dalam otaknya. Enak saja dia bilang suami orang lebih menantang.

"Baiklah kalau kamu maunya begitu" Aku mengibaskan rambut panjangku dengan gaya seelegan mungkin. Bersikap manis juga sepertinya sudah tidak ada gunanya. Dia sudah mengibarkan bendera perang di hadapanku, hari ini. "Kamu kejar Bram sebisa kamu. Kita lihat nanti, apakah kamu bisa membuat Bram jatuh ke pelukan kamu"

Aku menepuk-nepuk bahunya seolah memberi semangat. Memberikan senyum terbaikku padanya. Senyum mengintimidasi.

"Suster, tolong antarkan adik ipar saya ke kamarnya" Aku memanggil seorang suster yang melintas di depan kami. Aku tidak akan mengantarkannya ke kamar. Salah-salah mengendalikan emosi aku justru akan mendorongnya jatuh dari kursi roda.

"Istirahat ya Wi. Supaya kamu punya tenaga ekstra untuk mengejar Bram" Bisikku di telinganya kemudian tersenyum.

Aku segera pergi meniggalkan rumah sakit ketika suster mulai mendorong kursi roda Dewi.

Jika dia ingin menantangku, maka mari kita beri tahu kepadanya siapa itu Alluna Queen Kharisma. Dia sudah salah memilih lawan.

19 Oktober 2015

Alluna (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang