Alluna-WAR

167K 11K 235
                                    

ALLUNA

WAR

Bram marah. Aku apa lagi. Terserah ya kalau dia masih mau marah-marah nggak jelas seperti itu. Aku tidak peduli.

Oke. Itu bohong.

Mulutku yang bilang tidak peduli, tapi hatiku peduli. Ini benar-benar membuat frustasi.

Aku sudah tanya kenapa dia marah. Tapi bukan jawaban yang kudapat melainkan lirikan sinis dari Bram.

Sekarang dia mengendarai mobil seperti orang kesetanan. Salip sana salip sini, mirip seperti supir bus antar kota. Aku tidak takut, cuma sedikit ngeri saja. Bagaimana kalau tingkah konyolnya ini membuat kami celaka. Aku menghela nafas lelah. Seharusnya tadi aku tidak usah mengikutinya.

Untuk mengurangi suasana yang mencekam aku menyalakan radio tapi dengan gerakan yang tak kalah cepat Bram mematikannya.

Aku memberengut. Semakin kesal dan siap meledak. Serius deh. What the hell is he doing? Berapa sih umurnya? Jangan-jangan aku menikahi anak-anak yang terjebak dalam tubuh laki-laki usia 30 tahun. Kekanakan sekali.

Aku itu bukan tipe wanita yang akan berurai air mata ketika pasangannya marah. Aku juga bukan tipe wanita yang mau mengalah dengan pasangannya -kecuali terpaksa-. Jadi, kalau dia mau marah dan menungguku sampai minta maaf padanya ya silahkan saja. Selamat makan hati. Aku tidak akan minta maaf karena aku tidak tau dimana letak kesalahanku.

Harusnya aku yang marah disini. Coba, bagaimana perasaan kalian jika pasangan kalian marah tanpa sebab yang jelas. Dia mirip nenek-nenek PMS. Aku ini bukan cenayang ya, keluargaku juga tidak memiliki keturunan cenayang jadi aku tidak akan tau apa penyebab dia marah jika dia tidak mengatakannya padaku.

Aku diam ketika akhir-akhir ini dia mendiamkanku. Aku tidak protes. Aku tidak marah. Aku tau pekerjaannya sedang menumpuk setinggi Gunung Rinjani di kantor. Dia sibuk dan aku tidak mau mengganggunya. Lihat saja, dia selalu berangkat pagi dan pulang malam. Mending kalau pulang badannya utuh. Ini tidak, badannya luka-luka.

Dia itu kerja atau ikut tawuran sebenarnya.

Aku berniat baik siang ini. Membawakannya makan siang dan berharap kami bisa makan siang bersama lalu mendiskusikan tentang sifat anehnya belakangan ini. Kata mama, kalau kamu butuh penjelasan dari laki-laki jangan langsung diintrogasi. Beri dulu dia makan yang enak. Kalau perutnya kenyang maka semuanya lancar. Semacam sogokan.

Tapi Bram beda. Dia tidak bisa disogok dengan makanan yang enak, padahal aku sudah memasakkannya sepenuh hati. Bram malah marah lalu pergi tanpa memakan masakanku. Lalu sekarang nasib makanannya bagaimana? Entahlah. Mungkin sudah dicerna oleh ususnya Dave.

"Bisa kita diskusikan sekarang?" Tanyaku begitu kami tiba di penthouse.

Kami sudah pulang ke penthouse. Papa bilang pamali kalau rumah ditinggal lama-lama. Nanti ada hantunya. Kan ngeri. Jadi aku putuskan untuk pulang ke penthouse.

Bram melirikku sekilas. Dan tanpa berkata apapun dia langsung masuk ke ruang kerjanya tidak lupa dengan pintu yang dibanting keras.

Hell.. Dia mau menguji kesabaranku ternyata. Aku berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Tarik nafas.. buang.. tarik nafas... buang... Sabar Alluna. Kasian anak kamu kalau kamu marah-marah.

Aku mengingat-ingat apa saja yang harus dilakukan untuk mengendalikan marah. Aku sempat ikut kelas anger management bersama Rengganis. Ini usulan Robertus. Kami mudah marah dan meledak-ledak. Itu alasannya.

Pertama. Pusatkan emosimu dengan emosi yang lain. Rasa senang misalnya.
Kedua. Tanggapi orang yang marah dengan sikap yang lembut, hindari memberikan komentar provokatif.
Ketiga. Pikirkan akibat yang timbul dari kemarahan yang kamu buat. Bram bunuh diri misalnya. Meskipun itu tidak mungkin.
Keempat. Emm.. aku agak lupa. Coba kuingat-ingat dulu.

Alluna (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang