8. Hari Terakhir di Indonesia (2)

45 2 0
                                    


"Aku tidak menyangka ternyata seorang dosen Psikologi malah memiliki gangguan kejiwaan" Ucapku datar seraya memerhatikannya yang sedang sibuk menyajikan makanan.

"Simpan saja ocehanmu, Nona. Sekarang tolong bantu aku" Jawabnya yang sama sekali tak menatap ke arahku.

"Bantu apa? membawamu ke Psikiater? dengan senang hati, Tuan"

"Bawa makanan ini ke meja makan"

Aku mendengus kesal dan membawa piring-piring yang berisi makanan itu menuju meja makan yang berada di dekat ruang keluarga. Namun mataku sepertinya mengalami gangguan karena terlalu banyak berada di dekat Arka.

"Meja makanku hilang atau aku yang buta?" Gumamku setengah berteriak karena tak mendapati meja makanku di tempatnya.

"Meja makanmu ada di balkon" Teriak Arka dari arah dapur.

Aku langsung melesat menuju balkon dan benar saja disana sudah bertengger meja makanku dengan beberapa lilin di atasnya.

"Kenapa ada lilin?" Tanyaku heran.

"Biar tidak diganggu serangga"

Aku pikir biar lebih romantis. Eh, dasar Tania bodoh! mana mungkin!

"Kau siapkan minum. Aku mau memeriksa email sebentar" Ujar Arka sambil melenggang meninggalkanku sendirian.

Setelah menyiapkan minum -kali ini aku membuatnya di teko besar agar aku tidak perlu repot lagi jika kehabisan minum- aku pun berjalan menuju balkon apartemenku. Sayangnya aku tidak punya Wine lagi, jadi there is no alcohol for tonight.

Pemandangannya sungguh indah. Aku disuguhkan pemandangan sore yang mulai dihiasi kerlap-kerlip lampu jalan maupun sederatan gedung disekitar apartemenku.

Langit juga tampak begitu indah dengan matahari yang mulai kembali ke tempat peristirahatannya dan digantikan oleh kehadiran bulan yang sudah tidak sabar untuk menerangi malam.

"Takjub?" Tanya seseorang yang berdiri di sampingku. Rambutnya bergerak-gerak karena hembusan angin sore.

"Aku bakal kangen suasana ini"

"Ku pastikan di London lebih indah dari ini"

"Tapi di sana tidak menawarkan kehangatan seperti di sini"

"Kehangatan dalam konteks apa?"

"Masyarakat, mungkin. Aku senang sekali kalau berbelanja ke pasar tradisional karena orang-orang di sana ramah"

"Apa aku termasuk dalam orang-orang tersebut?"

"Kamu kan enggak berdagang di pasar tradisional" Jawabku setengah tertawa namun ternyata Arka malah tertawa lebar.

"Jaga diri di London. Di sana tidak ada yang mengawasimu seperti di sini" Ujarnya masih dengan tatapan lurus ke depan seakan tak jemu menikmati pemandangan langit.

"Aku bahkan belum pergi" Dengusku.

"Apa salahnya dengan berpesan terlebih dulu?"

"Dasar tak mau kalah"

"Dan jangan menangis lagi. Untuk alasan apapun, jika kau bisa menahan air matamu, maka tahanlah." Ujarnya dengan menatap langsung ke manik mataku. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya untuk sesaat.

"Kalau aku sudah tidak kuat, apa yang harus ku lakukan?" Tanyaku dengan senyum getir dan membuang pandangan darinya.

"Carilah orang yang dapat menyerap tangismu dan menggantikannya dengan kebahagiaan"

"Bijak sekali. Kau sendiri sudah menemukannya, Tuan?" Tanyaku dengan nada menyindir.

Ia diam. Menatap lurus ke depan. Menatap Matahari yang sudah terbenam hampir seluruhnya. Kemudian ia menatapku dalam dan tersenyum simpul.

Ain't You Love Me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang