Prolog

996 46 0
                                    

Dari kejauhan, aku sudah bisa melihat bus biru yang berhenti di depan halte sepi itu. Kakiku otomatis berlari menuju halte itu, karena aku tau, bus itu takkan berlama-lama disana jika tak ada orang yang menungguinya. Seharusnya nggak sedingin ini, pikirku. Udara pagi yang dingin ini benar-benar menusuk paru-paruku dalam setiap hirupan. Ini baru awal bulan september, jadi musim panas masih berlaku di Jerman. Aku memasuki bus itu, men-scan tiketku (yang sudah kubeli sebelumnya (aku selalu menyediakan tiket naik bus untuk seminggu)) dan mencari tempat duduk.

Aku, Karin, seorang cewek blasteran indonesia-jerman kini naik bus menuju sekolahnya, dan mengawali hari pertamanya sebagai murid kelas 10. Dari kecil aku sudah tinggal di Aldingen, ya begitulah nama kotanya. Tapi, aku sering liburan ke Indonesia, untuk menjenguk keluarga dari ibuku yang tinggal di Bali. Aku cinta Indonesia. Klepon, ingatku. Klepon. Astaga. Sebuah jajanan khas Bali yang bulat dan hijau, terbuat dari ketan, dan berisi gula merah cair yang akan muncrat dimulut penikmatnya. Aku jadi kangen. Ah sudahlah, saatnya menikmati hari pertama sekolah. Semoga ada sesuatu yang menarik, batinku.

Bus terhenti. Aku tersentak dari lamunanku dan segera bangun dari dudukku lalu keluar. Aku memasuki Gymnasium (sejenis highschool di Jerman (berlangsung dari kelas 5-12)) itu, sebuah gedung besar berwarna abu abu. Banyak murid yang terlihat enggan memulai sekolah lagi (biasanya murid kelas 11 atau 12 sih), sementara adik kelas 5 atau 6 terlihat ceria bertemu teman-teman mereka. Sambil berjalan masuk, mataku mencari-cari seseorang: Anna. Mungkin sudah di kelas, pikirku. Tetapi Anna juga tidak ada di kelas 10c yang kudatangi. "Mana Anna?" Tanyaku pada Luna yang merupakan tetangganya.
"Dia sakit. Demam. Ibunya tadi membawakan surat ke rumahku." Jawabnya singkat dan kembali menatap layar HP-nya.
10% dari diriku berkata: semoga dia baik-baik saja.
90% dari diriku berteriak: teGanYA kAMU ninggalin aku SENDIRI diSini!
Huh. Bagus, sekarang aku harus makan siang sendirian. Biasanya aku selalu bareng Anna, karena dia satu-satunya teman dekatku. Yang lain? Sudah 'taken' semua. Aku tak sempat memikirkan itu lagi, bel berdering, semua duduk, dan Frau Schmidt, guru bahasa Jerman sekaligus wali kelas, memasuki kelas. Seseorang menyusul dibelakangnya. Murid baru?

"Guten morgen!" (Selamat pagi) sapanya dan diikuti semua murid. "Kita ada murid baru. Silahkan perkenalkan dirimu." Katanya seraya tersenyum ke arah murid baru itu. Murid baru itu cowok. "Ehm, aku Alex." Katanya dengan ragu.
"Umurku 15 dan... Um, yah, salam kenal." Tambahnya.
Guru wanita penyabar itu menaikkan alisnya. "Itu saja? Apa kamu tidak ingin bercerita tentang asal-"
"Tidak, terima kasih" potong Alex.
"Baik, silahkan duduk di meja yang di pojok itu." Kata Frau Schmidt. Cowok itu menuruti permintaannya.

Aku memandangi cowok baru itu. Nampaknya ia memiliki sesuatu yang 'Asiatis' pada dirinya. Entahlah. Kini cowok itu memerhatikanku juga. Aku menaikkan alisku (bagian tubuhku yang paling kubanggai, karena mereka rapi dan tebal). Cowok itu juga menaikkan alisnya. Sayangnya, alisku kalah tebalnya dengan alisnya. Aku pun memalingkan pandanganku. Saatnya belajar, pikirku seraya mengeluarkan buku-bukuku dan kotak pensilku yang isinya pulpen setengah mati semua.

Bahasa Jerman. Istirahat. Matematika. Istirahat. Bahasa Prancis. Makan siang. Saatnya ke cafetaria. Aku mengambil sebuah nampan dan piring lalu mengisinya dengan menu hari ini: sosis panggang dan salad. Hebat. Sambil meratapi kesendirianku, aku mencari tempat duduk. Sial, sudah penuh semua. Kecuali meja di samping gengnya Luna. Tapi aku nggak mau disana. Minder ah. Dimana ya? Pikirku. Kemudian seseorang menyenggolku. Aku berbalik, dan mendapati cowok baru itu dibelakangku.
"Gimana sistemnya disini? Aku nggak ngerti?" Tanyanya pelan.
Astaga goblok banget sih lo.
"Astaga." Umpatku berbahasa indonesia. Aku sering mengumpat dalam bahasa indonesia. Aku pernah bertengkar dengan seorang cowok di kelasku dulu, dan aku mengumpat "bangsat" tapi untungnya ia tidak mengerti.
"Lo orang Indonesia?" Tanyanya langsung BERBAHASA INDONESIA JUGA.
Aku kaget. Astaga. Orang Indonesia. Disini. Nanyain cara ngambil makan di cafetaria di sebuah Gymnasium sama aku.

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang