Chapter 13

187 18 0
                                    


   "Frau Schmidt, aku ijin ke toilet sebentar." kataku sambil mengangkat tanganku dan memandang wanita separuh baya itu dengan pandangan memohon.

   Guru bahasa jermanku mengangkat alisnya. "Tentu." Ujarnya. Aku langsung bangun dari tempat dudukku, dan berjalan menuju toilet sendirian. Aku lebih memilih ke toilet sendirian daripada ditemani oleh seseorang.

  Aku tak pergi ke toilet untuk kencing, melainkan untuk mencari tau apakah Luna benar-benar sakit perut atau tidak.

  Saat membuka pintu toilet itu, dugaanku benar. Hidungku mencium bau rokok dari kabin paling belakang. Asap tipis pun mengepul dari atasnya. Entah kenapa, aku memiliki keberanian untuk menghampiri kabin itu, dan menarik pintunya sehingga sosok Luna yang sedang menulis sesuatu sambil merokok pun terekspos. Sepertinya ia sedang mengerjakan PR.

   Tubuhnya terkejut sedikit saat melihatku. Tapi, detik berikutnya cewek itu kembali memasang wajah cool-nya. Ia pun menutup pulpennya, dan menutup buku tulis yang tadinya ia tulisi, lalu kedua jarinya kini menjepit rokok yang tadinya menganggur di sudut mulutnya. Rokok itu terlihat sedikit kemerahan pada pangkalnya, sudah pasti karena lipstiknya. Matanya menatapku sinis.

   "Di toilet ini ada 5 kabin, dan rasanya empat diantara kelimanya kosong. Dan kamu liat kan kabin ini lagi dipakai, jadi saranku kamu make kabin lain." Ujarnya sambil menatapku seolah-olah aku seorang anak berumur 5 tahun yang tak tau bagaimana cara mengunci kabin toilet.

   "Aku nggak ada niat buat make toilet." Sahutku. "Kalo kamu cukup pinter, seharusnya kamu sadar kalo kelamaan di toilet, apalagi sambil ngerokok bakal buat orang pada curiga, ya ga sih?"

    Alis Luna bertautan. Ia memandangku sesaat. "Sebenernya apa maumu, dateng-dateng kesini nganggu aku nggak jelas? Ga punya kerjaan?"

   Aku menyadari bahwa tindakanku tadi ceroboh. Apa yang aku pikirin tadi? Bodoh banget aku, nyamperin Luna ga jelas gini. "Liat dirimu Lun. Ngerokok di toilet, sambil nulis, apalah itu, seneng ngebully adik kelas, terus sekarang kamu mau buat Alex jadi orang yang kayak gitu juga?" Sahutku. Aku tau perkataanku ini tak berhubungan dengan pertanyaan Luna sedikitpun, namun aku tak peduli. Luna pantas mendengarnya.

    Luna menyipitkan matanya. Sontak, ia bangun, menginjak rokoknya, dan memeluk buku dan pulpennya erat, lalu keluar dari kabin itu. Aku bersender di pintu kabin itu sambil menyilangkan tanganku. Luna menaruh bukunya di wastafel, dan kini ia memandangku, sambil bersender ke wastafel itu juga. Tangannya disilangkan di dadanya.

   "Karin. Liat ya, aku tau kamu pasti ada masalah 'percintaan' sama Alex dulu." Ujarnya dengan nada dingin yang membuat bulu kudukku berdiri. "Tapi bukan berarti kamu bisa nyalahin aku seenaknya kayak gini. Aku gini, ya trus what's the matter? Alex ga segoblok itu, dia ngelakuin hal-hal gitu juga karena pilihannya sendiri!" Jelas Luna dengan nada menggertak.

    "Oyaa? Bukannya agak aneh ya, sejak dia terus sama kamu dia berubah! Apa itu seratus persen dari dia sendiri??" Tanyaku. Rasa kesalku terhadap Luna yang terkubur begitu lama kini mendapat kesempatan untuk meluap. Hati dan perutku terasa panas, begitu juga dengan wajahku. Aku tak tahan melihat wajah Luna yang selalu sok santai begitu.

   Setelah mendengar kata-kataku, Luna menghampiriku dengan perlahan. Kini wajah cewek itu begitu dekat dengan wajahku, aku dapat mencium bau parfumnya yang tercampur dengan bau rokok.

   "Orang berubah, rin. Itu terjadi setiap hari. Seharusnya kamu tau." Bisiknya. Ketika ia berbicara, bau rokok itu semakin keras. "Dan kalo kamu nggak suka dengan Alex yang berubah ini, masalahnya ada di kamu, bukan di aku ataupun Alex." Tambahnya dengan nada yang biasanya ia gunakan untuk menindas adik kelas.

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang