Chapter 14

232 23 2
                                    


    Mr. Röhmer memandangi tumpukan kertas yang dijepret menjadi satu itu dengan seksama. Alex pun berdiri dengan canggung di depannya, dan aku dapat melihat bahwa ia gugup, tapi berusaha menyembunyikannya.

    Setelah memerhatikan tugas Alex selama beberapa menit, guru itu memandang Alex. "Kamu buat ini sendiri?" Tanyanya, memberi tekanan pada kata 'sendiri'.

    Alex mengangguk.

"Ini bukan tulisanmu." Ucap Mr. Röhmer dan menyilangkan tangannya.

   Kenapa aku yang panik. Tiba-tiba, otakku berpikir keras mencari solusi, dan memperkirakan apa yang terjadi selanjutnya. Dengan cepat, aku menaikkan tanganku.

   "Mr. Röhmer, aku ijin ke kamar mandi sebentar!" Ujarku dengan nada mendesak. Guru itu memandangku sekilas, lalu menggangguk. Aku pun cepat-cepat bangkit dan keluar kelas.

    Saat aku berada di luar kelas, aku berlari. Berlari secepat mungkin menyusuri koridor, menuruni tangga, dan berhenti di lantai 2. Dengan nafas terengah-engah aku berhenti di depan kelas 5A.

   Di kelas itu sedang berlangsung pelajaran bahasa inggris. Sambil menoleh Ms. Wilda, aku berkata bahwa aku ingin berbicara dengan Luna. Aku menunjuk cewek di urutan bangku terdepan, yang memakai sweater 'I am Luna'. Cewek itu cepat-cepat bangun, dan kami menghiraukan pandangan bingung Ms. Wilda.

   Masih terengah-engah, aku menatap cewek itu, sambil memegang bahunya. "Tolong." Ucapku sambil mengatur nafas.

   "Namaku bukan Luna, namaku Lina." Kata cewek itu. "Ini satu-satunya sweater yang kupunya."

    Aku memandang Lina dengan bingung. Pantas saja Ms. Wilda bingung saat aku mengatakan bahwa aku ingin berbicara dengan Luna.

   "Sweater ini dulunya punya kakakku, Luna." Jelas Lina, membuatku mengerti. "Bukan Luna yang itu." Tambahnya.

    "Oke oke. Tolong dengerin aku, aku Karin. Kamu diajar Mr. Röhmer?" Tanyaku. Aku berbicara cepat sekali, tapi untungnya cewek itu mengerti.

    "Iya..." Sahutnya.

  Mendengar itu, aku yakin Mr. Röhmer pasti mengenali tulisannya. Guru itu mampu mengingat semua hal terdetail.

  "Li-Lina, kamu kan yang buatin Alex tugas sejarah itu?? Mr. Röhmer curiga dengan tulisannya, dan pasti dia bakal nanya kamu, dan tolong..." Aku menatap cewek itu dalam-dalam. "Tolong jangan bilang bahwa kamu yang buat itu." Aku menyelesaikan kalimatku.

   Cewek itu menatapku sambil diam, sepertinya sedang memilih antara membocorkan Alex atau menuruti permintaanku.

   "Please." Aku setengah berbisik. Aku tak bisa berlama-lama di sini, siapatau Mr. Röhmer berpikiran untuk langsung menemui Lina. Lina masih diam. Kini aku pun berlutut di depan adik kelasku itu, sehingga wajahku sejajar dengan wajahnya. "Lina tolong, aku tau mungkin kamu kesal sama Alex, atau sama Luna, karena dia maksa kamu, aku tau mereka sialan, aku bisa ngerti kamu, tapi tolong, jangan bocorin Alex. Alex lagi terdesak, keadaannya dia ju-"

   "Iya, iya. Aku nggak bakal bilang ke Mr. Röhmer." Ujar Lina memotong perkataanku.

   Aku lega seketika. Aku bangkit, sambil memberikan Lina senyum terbaikku. "Makasi. Makasi banget Lina. Aku harus balik sekarang. Tolong pegang janjimu!" Seruku ketika aku berbalik dan lari menaiki tangga. Entah kenapa, aku yakin bahwa aku dapat memercayai Lina.

   Setibanya di kelas, aku melihat Mr. Röhmer bangkit dan keluar kelas. Aku tau, ia akan menemui Lina. Dengan wajah tenang aku kembali duduk di samping Anna. Alex pun kembali duduk di bangkunya. Ia tampak khawatir.

   "Argh!" Gerutu Alex kesal sambil menjambak rambutnya sendiri. Dalam hati aku berharap semoga semuanya baik-baik saja.

    Anna pun menjelaskan perihalnya kepadaku. "Mr. Röhmer curiga dengan tulisan Alex. Ia berasumsi bahwa orang lain telah membuatkan Alex tugas itu. Sekarang dia akan menemui orang yang ia curigai itu. Ia mengatakan sesuatu tentang kelas 5A." Jelas Anna.

    "Aku tau." Sahutku dengan singkat, masih memandang Alex.

   "Kenapa kamu tau? Rin kamu dengerin aku ga sih?" Tanya Anna kesal sambil menyikuku.

    Aku menatapnya. "Nanti kujelaskan."

    Beberapa menit kemudian, Mr. Röhmer kembali ke kelas yang menjadi hening seketika. Aku melihat raut muka Alex yang ketakutan. Kali ini, dia bahkan tak berusaha untuk menutupi rasa takutnya itu. Luna yang merasa terlibat pun terlihat tegang.

    "Saya kira kamu menyuruh seseorang untuk mengerjakan tugas ini buat kamu, Alex, namun saya salah. Maaf, karena saya terlalu curiga padamu." Jelas guru itu sambil menatap Alex dari depan kelas. "Saya mengira seorang anak kelas 5A yang tulisannya mirip dengan tulisanmu mengerjakannya, namun ternyata tidak. Dia tak tahu menahu tentang hal ini. Maaf." Tambah Mr. Röhmer dan menyelipkan tugas itu ke dalam mapnya.

     Dalam hati, aku sangat berterimakasih pada Lina. Diam-diam, aku pun menoleh ke Alex. Ia masih tegang, tapi raut mukanya menjadi lebih lega dari saat ke saat, menyadari keberuntungannya.

    Pelajaran pun berlangsung seperti biasa. Pada akhir pelajaran, Mr. Röhmer mengeluarkan sebuah kaleng berisi gulungan kertas-kertas kecil.

   "Sebelum semester ini berakhir, saya ingin memberi kalian tugas proyek, yang akan kalian kerjakan berkelompok. Tugas ini saya harapkan selesai pada awal bulan Februari. Masing-masing dari kalian akan mengambil satu kertas undian di sini, dan nomor yang tertulis di kertas kalian adalah kelompok kalian." Jelasnya sambil menunjuk ke dalam isi kaleng tersebut.

    Satu-persatu murid pun maju ke depan dan mengambil sebuah gulungan kertas kecil. Aku pun kini memegang gulungan kertasku yang terasa lembut di antara jari-jariku, dan menunggu komando dari Mr. Röhmer untuk membukanya.

    "Sekarang, silahkan dibuka, dan berkumpullah bersama kelompok kalian masing-masing." Ujar Mr. Röhmer.

   Aku membuka gulungan kertas itu. Semoga sekelompok dengan Anna, batinku. Aku mendapat nomor 5. Dengan penuh harap aku menoleh ke kertas Anna, tapi sayangnya ia mendapat kelompok nomor 2.

    "Kelompok lima??" Tanya Kiara tiba-tiba yang muncul di belakangku. Aku mengangguk. "Kelompok lima di sini!" Seru Kiara.

    Aku dan Kiara menunggu orang berdatangan. Sven pun menghampiri kita sambil tersenyum dan menunjukkan kertasnya yang berisi angka 5. Argh, Sven. Kenapa harus dia?pikirku sambil mengingat bahwa saat aku kelas 9, dia pernah mencoba untuk menyiumku di pesta ulang tahun Jenny. Sven rupanya menyadari keberadaanku juga, namun ia biasa saja. Bahkan sepertinya ia tersenyum padaku. Tinggal 2 orang lagi, karena setiap kelompok terdiri dari 5 orang. Dan tak lama kemudian, kedua orang itu datang.

Alex dan Luna.

Hebat, benar-benar kelompok yang sempurna, pikirku secara ironis. Sven, yang pernah hampir menciumku, Kiara yang agak pendiam dan malu-malu, Luna yang, ya taulah, dan Alex.

     Kelompokku, kelompok 5, mendapat tugas membuat sejenis scrapbook mengenai sejarah perkembangan Rumania. Kelompok lain mendapat tugas sejenis, namun dari negara eropa yang lain. Aku memandang ke kelompok dua, kelompok Anna. Anna melihat anggota kelompokku, lalu menggelengkan kepalanya sedikit sambil memandangku dengan iba. Aku hanya nyengir, mengatakan bahwa aku baik-baik saja.

Semoga aku baik-baik saja.

Hey readers!
Maaf kalo chapter-chapter terakhir agak ngebosenin... Tapi di chapter berikutnya, bakal terjadi sesuatu yang heboh (semoga). Hehe.
Jangan lupa vote+comment ya! Karena, kritik&saran sangat diperlukan.
Makasi, see you next time❤️

-Tamy

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang