Chapter 10

210 20 1
                                    


Aku mencabut headphones-ku. Rasanya tak cocok memakai headphone dan mendengar lagu dj di taman yang sepi ini. Aku pun menduduki bangku basah itu, tak memperdulikan celanaku yang basah dibuatnya.

Ini awal bulan Desember. Ya, musim salju telah tiba, dan aku bisa melihat jejak-jejak sepatuku di atas lapisan salju yang masih tipis itu. Ini hari Sabtu, dan aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman sepi ini. Terakhir kali aku ke sini bersama Alex. Alex, dulunya teman terdekatku sampai-sampai rasa suka tumbuh akibat saking dekatnya. Aku mengingat Alex yang mengamati daun merah yang ia tangkap. Aku berusaha mengingat kejadian itu dengan perasaan biasa saja. Hal ini telah kulatih selama beberapa minggu terakhir, dan hasilnya bisa dibilang... Lumayan.

Tapi setiap kali melihat Alex, aku melihat Alex yang pedulian, aku melihat Alex yang menggiringku ke rumahnya dan membuatkanku teh, aku melihat Alex yang berbau kayu manis dan lemon. Bukan Alex yang kini tak berbicara sepatah katapun padaku. Tetapi, realita selalu menamparku jika Alex menatapku. Menatapku dengan datar. Tanpa ekspresi. Hanya datar. Dan itu selalu membuatku memalingkan muka darinya.

Jalan-jalan sendiri ke taman memang kesannya melankolis sekali. Maunya aku mengajak Anna, tapi anak rajin itu mengatakan bahwa ia harus belajar untuk ulangan bahasa prancis senin depan, jadi apa boleh buat. Duduk di bangku basah itu sepertinya keputusan yang buruk. Celanaku kini basah, membuat pantatku begitu dingin. Belum lagi ini musim salju, sekarang dinginnya mencapai 6 derajat.

Tapi matahari bersinar, setidaknya itu menghangati wajahku sedikit. Pohon-pohon di taman itu, yang dulunya dipenuhi daun-daun jingga dan merah, kini di selimuti lapisan salju yang sangat tipis.

   Nanti musim salju yang mendatang kita main selancar es ya

    Lagi. Aku mengingat kata-katanya, lagi. Kenapa selalu teringat? Aku jadi kesal pada diriku sendiri.

     Aku bangung, mencegah supaya pantatku tak membeku. Tanganku kumasukkan kedalan saku jaket tebalku, lalu aku berjalan menelusuri jejak kakiku sendiri, pulang. Udara dingin memasuki paru-paruku dalam setiap langkah. Tiba-tiba aku melihat tubuh seorang cowok yang sedang berjalan di jalan setapak taman ini juga.

    Diantara 1000 cowok yang berpeluang kutemui hari itu, aku berpapasan dengan Alex. KENAPA? Selalu saja Alex. Aku memutuskan untuk mengacuhkannya saja. Toh ia pasti juga akan melakukan hal yang sama.

   Tapi ia tidak melakukan hal yang sama. Ia berhenti saat berpapasan denganku. Secara refleks, aku berhenti juga. Kami berdiri dengan canggung, tak menatap satu sama lain. Hingga, aku memutuskan untuk menatapnya, dan aku sedikit terkejut saat menyadari bahwa Alex telah menatapku terlebih dahulu.

Karena Alex tak berbicara sepatah kata pun, aku kembali berjalan. Tak sampai 3 langkah, Alex berbalik. "Rin."

Tubuhku membeku. Sebenarnya sudah beku karena udara yang dingin ini, tapi panggilan Alex membuatku benar-benar beku. Aku berbalik, menolehnya. "Apa?" Tanyaku, berusaha mengatakannya dengan nada netral.

Alex sepertinya juga tidak tau harus berkata apa. Matanya memandangku, dan aku sepertinya melihat setitik rasa sedih di dalam kedua matanya tersebut. Setelah beberapa saat, ia berdeham. "Aku cuma pengen... Pengen nyapa kamu" ucapnya ragu. Ia sama sekali bukan seperti Alex yang ku kenal.

Aku mengangkat kedua alis dan bahuku bersamaan. "Okelah, bye." Balasku dengan sangat, sangat netral.

Kakiku pun secara otomatis melanjutkan langkah-langkahnya. Ternyata aku bisa akting sangat netral di depannya, pikirku.

***

"Bon matin!" Ujar Mrs. Daniella, guru bahasa prancis kami. Beliau pun mengeluarkan setumpukan kertas dari tas kulitnya yang berwarna merah itu, lalu membagikannya kepada kami. Beberapa menit kemudian, kelas hening, hanya terdengar goresan-goresan pulpen di atas kertas.

Ulangan hari itu lumayan gampang. Setelah selesai mengubah ke-20 kalimat itu menjadi kalimat dalam masa depan dan masa lalu, aku menoleh ke Alex. Aku tak dapat mengontrol diriku. Alex sedang bengong mengamati kertasnya, sambil sesekali memainkan pulpennya. Kemudian setelah beberapa saat, ia dengan cepat menulis jawabannya di kertas itu, seakan-akan jawaban itu cepat hilang jika tidak ditulis langsung.

Anna menyikuku. Aku cepat-cepat berbalik. "Iya, iya, aku bakal stop merhatiin dia" bisikku cepat-cepat.

Anna memutar matanya. "Bukan gitu, aku cuma pengen bilang, aku ada berita. Nanti aku ceritain." Ujarnya, membalas bisikanku.

Aku mengangguk, lalu bangkit dan menaruh lembaran yang penuh tulisan bertinta biru dari pulpenku itu di atas meja Mrs. Daniella yang menyambut kertas itu dengan sebuah senyuman. Anna mengikuti prilakuku. Tak lama kemudian, bel tanda istirahat berdering, dan kami keluar dari kelas, sementara siswa-siswa lainnya dengan terburu-buru mengumpulkan kertas mereka.

Aku dan Anna tiba di perpustakaan, dimana kami selalu bertukar 'berita'. Aku bersender pada sebuah rak buku. Anna sepertinya melihat sebuah buku yang menarik di rak itu, lalu mengambilnya dan mulai membolak-balikkan halamannya.

Aku memutar bola mataku. "An, kita kesini bukan untuk baca buku." Kataku sambil menyilangkan tanganku di dadaku.

Anna itu menutup buku bersampul biru tua itu. "Ya, tapi aku bakal minjem buku ini." Ujarnya sambil memandangi buku itu.

Aku mengintip judul buku itu. 'Rahasia Raja-Raja Yunani' begitu judulnya. Aku kembali memandangi Anna. "Oke, jadi apa beritanya?"

"Aku tadi dengar diskusi gengnya Luna. Katanya orangtua Alex cerai." Bisiknya dengan tatapan serius sambil memeluk buku itu.

Mataku menatap mata Anna. Ia tidak bercanda. Kata-katanya membuatku teringat perdebatan yang disertai teriakan yang kudengar di rumah Alex beberapa bulan yang lalu. Aku bingung harus berkata apa terhadap berita itu. "Apa yang harus aku bilang sekarang?" Tanyaku sambil mengangkat bahu. "Kalau orangtuanya udah nggak cocok lagi satu sama lain, ya mau gimana lagi.." Sahutku. Kasian Alex, bisik sebuah suara kecil di hatiku.

Kami balik ke kelas setelah Anna memberitahu penjaga perpustakaan bahwa ia meminjam bukunya itu. Kami sedang hendak memasuki kelas, saat terdengar suara bentakan.

"YA, OKE. AMBIL AJA, AKU GAK PERLU!"

Itu suara Alex. Sedetik kemudian, Alex dengan marahnya melangkah ke luar kelas, lalu menuruni tangga dan ia lenyap. Beberapa detik kemudian, Luna berlari keluar kelas, menuruni tangga, dan sepertinya ia mengikuti Alex.

Saat memasuki kelas, aku melihat semua orang di sana berwajah tegang. Aku menghampiri Ella, orang yang wajahnya paling tidak tegang.

"Ada apa ini?" Tanyaku sambil menatap satu persatu orang di kelas itu.

"Alex dan Marcel." Sahut Ella. Kini aku melihat Marcel yang mukanya merah kembali duduk dengan kesal. "Mereka bertengkar." Jelas Anna.

"Kenapa?" Tanya Anna, menanyakan hal yang baru saja ingin kutanyakan.

"Marcel kan minjem filmnya Alex, udah dari seminggu enggak dikembaliin." Jelas Ella.

"Dan nggak tau kenapa, Alex cepat emosi gitu tiba-tiba. Padahal masalahnya sepele." Tambah Kiara dengan wajah takut.

Bel berdering. Selama pelajaran berlangsung, Alex dan Luna nggak kelihatan batang idungnya. Entah kemana, tapi yang jelas ransel mereka masih ada di kelas.

Kayaknya Alex lagi frustasi banget, karena ortunya cerai, pikirku. Yah, mungkin memang karena itu ia begitu cepat marah karena hal kecil.

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang