Chapter 1

740 41 0
                                    


Aku terdiam sekitar 30 detik.

  "Jadi kamu ambil aja nampan di sana tuh, terus piringnya, sama sendok sama garpunya ada di kotak-kotak silver itu, trus ngantre dah. Nanti ditanya kamu mau apa aja bilang aja, dikasi dah. Menu hari ini sosis panggang sama salad. Boleh tambah roti atau pudding." Jelasku datar. Jelasku datar berbahasa jerman. Karena aku belum mencerna fakta bahwa tadi cowok itu berbicara bahasa indonesia.

Cowok itu mengangguk dan pergi mengambil nampan. Aku pun duduk di sebuah meja yang baru ditinggal sepasang cewek yang tadinya makan di sana. Aku melahap makananku.

"Hei, kamu tadi lupa ambil air, nih." Kata cowok baru berbahasa indonesia itu seraya memberiku segelas air putih. Ia pun duduk di seberangku.

"Makasi." Balasku. Kemudian kita makan. Suasananya canggung, tapi lebih baik canggung sama orang baru yang juga canggung daripada canggung sendiri di tengah kerumunan orang.

Cowok baru itu selesai lebih dulu. "Jadi kamu orang indonesia?" Tanyanya lagi.

Aku mengunyah sosisku dan memandanginya dengan pandangan yang paling datar yang kumiliki. Aku tak terburu-buru dalam menjawab pertanyaannya, malah aku memerhatikan cowok baru ini. Kulitnya sedikit kecoklatan, sedikit sekali. Matanya hitam legam, begitu juga rambutnya. Rahang dan tulang pipinya tercetak begitu jelas dan tajam. Sangat seksi. Bibirnya yang kemerahan menyunggingkan senyum ramah, hampir sedikit nakal. Ia tinggi sekali, kira-kira melebihi 15 cm dariku. Tubuhnya lumayan berotot, aku yakin dia memiliki sixpack.  Kini aku kembali memandangi matanya yang juga memandangku. Matanya begitu intensif, aku bahkan takut dia akan membaca pikiranku. Dia berkedip. Wow, dia bisa berkedip, pikirku. Bulu matanya yang panjang dan lentik bertemu sekilas, menutupi pupil matanya yang indah. Rasanya aku ingin menyentuhnya, memastikan bahwa dia benar-benar nyata.

    Kemudian aku mengangguk. "Aku bukan orang Indonesia asli, aku blasteran Jerman-Indonesia." Jelasku, menjawab pertanyaannya.

    "Oh, pantes." Jawabnya. Kami berbahasa indonesia.

   "Kamu?" Tanyaku. Aku mulai penasaran. Biasanya aku tidak penasaran dengan orang yang baru kukenal, tapi berbeda kali ini.

    "Aku blasteran Indonesia-Jerman juga. Ayahku orang jerman, ibuku dari surabaya. Dari kecil sampai kelas 9 aku tinggal di Surabaya, tapi sekarang aku pindah kesini sama ortuku buat nerusin sekolah." Jelasnya lumayan panjang. Ia meneguk seteguk air. "Makanya tadi aku ga tau sistemnya disini gimana, soalnya kan kalo di Indo mau makan di kantin bayar, lah disini ternyata enggak." Tambahnya.

"Ohh..." Sahutku. Mau tidak mau, sekarang aku menceritakan sedikit tentang riwayat hidupku juga.

"Karin? Namamu bagus banget. Nama panjangnya?" Tanyanya setelah mendengar ceritaku.

"Karina Monika Fuchs" kataku. "Aku benci nama tengahku. Menurutku tidak cocok." Tambahku.

"Rubah." Kata Alex sambil tersenyum kecil.

"Rubah? Kamu kira gampang merubah nama?" Dengusku kesal.

Alex tertawa. "Bukan, maksudku, fuchs itu kan rubah dalam bahasa Indonesia. "

Mau tak mau aku tertawa. Selera humornya bagus juga. "Terus nama lengkapmu siapa?" Tanyaku.

"Alex Neumann." Sahutnya. Kemudian kami berdua nyengir, karena neumann itu berarti 'orang baru', neu berarti baru dan mann berarti pria/orang.

"Cocok denganmu" kataku menyimpulkan hasil cengiran tadi.

   Aku menyelesaikan makananku, lalu kami merapikan nampan kami bersama-sama. Setelah itu bel berdering lagi, dan kita menuju kelas untuk pelajaran bahasa jerman lagi.

***

  Keesokan harinya, Anna masih sakit. Kemarin sepulang sekolah aku menyempatkan untuk menjenguknya, sepertinya keadaannya membaik, begitu kata ibunya. Tetapi, rupanya belum cukup baik untuk sekolah. Pagi itu aku menghampiri tempat dudukku di kelas dan seperti biasa mengeluarkan HP untuk bermain Doodle Jump sebelum pelajaran dimulai.

     Murid di kelasku tak banyak, awalnya hanya 24 orang, kini ditambah Alex jadi 25 orang. 13 cowok dan 12 cewek. Setengah dari cewek dikelasku merupakan anggota dari 'geng'-nya Luna, jadi sebaiknya aku tidak terlalu dekat dengan mereka, karena aku tau Luna tak terlalu suka padaku, walaupun ia bersikap biasa saja di hadapanku. Lagi pula, mereka bisa disebut berandalan dan nakal. Aku hanya ingin melihat sisi baik mereka, oleh karena itu lebih baik tak mengenal mereka dengan lebih dekat, kan?
Murid cewek di kelasku yang non-geng-Luna semuanya terlalu pendiam dan nerdy. Harus kuakui Anna juga termasuk sedikit nerdy. Tapi, di antara semua cewek di kelasku, aku paling dekat dengannya. Lalu aku? Aku merasa cewek yang paling 'seimbang' kepribadiannya. Bukan bermaksud menyombongkan diri, tapi begitulah faktanya.

   Membahas tentang 12 cowok di kelasku (tidak termasuk Alex, karena dia baru): 3 dari mereka telah mencoba menciumku di sebuah pesta ulang tahun, saat kerja kelompok, ataupun saat widya wisata. Jadi, setelah aku mendorong mereka menjauh agar tidak menciumku, tak ada yang berbicara lagi denganku, entah karena gengsi atau malu. Kemudian, 2 dari mereka udah pernah menembakku tapi aku menolah mereka mentah-mentah, dan mereka menghindariku sejak itu. Kemudian sisanya, yaitu 7 cowok, mereka baik-baik saja. Sampai sekarang. Tapi aku tak terlalu dekat dengan siapa pun dari mereka.

    "Hey rubah!" Seru seseorang tiba-tiba, mengagetkanku sehingga permainan Doodle Jump-ku yang hampir mengalahkan highscore sebelumnya jadi jatuh.

Dengan kesal aku berbalik badan, melihat Alex yang menaruh tasnya di meja disampingku. "Hey orang baru"

Ia mengintip layar HP-ku. "Doodle Jump? Astaga jangan main game itu, aku pernah dengar seseorang masuk rumah sakit jiwa karena ketergantungan main doodle jump." Katanya dengan mimik serius.

Aku tertawa kecil. "Kamu kira aku percaya? Hahaha, nggak. Yang bakal rumah sakit jiwa itu orang yang asal ngomong, kayak kamu misalnya."  Jelasku sambil mencubit lengannya. Aku tiba-tiba merasa salah mencubit tangannya, karena aku bisa dibilang nggak kenal sama dia, baru dari kemarin. Dasar sok dekat kamu rin, batinku.

Untuk menutupi ke-sok-dekatanku tadi aku berkata, "itu tempat Anna, kamu seharusnya duduk di belakang" aku tak bermaksud berbicara sedingin itu, tapi sudah terlanjur.

   Alex nampaknya tidak tersinggung sedikit pun. "Tapi hari ini ada baiknya aku duduk samping kamu, soalnya hari ini ada bahasa prancis, dan aku belum terlalu bisa itu. Kamu kan bisa jadi bantuan, ya gak?"

"Oke deh" sahutku.

Dan ketika pelajaran itu berlangsung, ternyata Alex sangat pintar bahasa prancis.

    

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang