Chapter 15

244 21 0
                                    


Keesokan harinya, aku menemui Lina di depan kelasnya saat pulang sekolah. Aku berjalan melawan arus murid-murid yang berlarian ke luar kelas. Setibanya aku di depan kelas 5A, koridor itu sudah sepi. Lina melihatku saat ia keluar dari kelas.

"Hai Karin!" Sapanya sambil tersenyum kecil.

Aku mengambil tas keresek itu dari ranselku. "Lin, nih." Ujarku sambil memberinya keresek itu. "... Sebagai ucapan terima kasih." Tambahku.

Lina melihat ke dalam keresek itu, dan melihat sebuah sweater rajut berwarna ungu muda. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya. Ia memandangku dengan berseri-seri. "Ini buat aku?" Tanyanya tak percayaan.

"Iyaalah. Katamu sweater 'I am Luna' itu sweater-mu satu-satunya, jadi aku kepengin ngasi kamu sweater. Hehe." Jelasku.

Wajah Lina memerah sesaat, lalu ia memandangi sweater pemberianku. "Bukan satu-satunya sih... Aku punya yang lain, tapi kekecilan." Ujarnya seperti menahan malu.

"Iya-iya. Lagian aku nggak pengen kamu dibully Luna lagi" jelasku dengan nada berbisik.

Begitu mendengar ucapanku, Lina membuka sweater 'I am Luna'-nya. Di bawah sweater itu aku dapat melihat sebuah kaus berlengan pendek yang ketat. Lalu, Lina memakai sweater ungu muda itu. Raut mukanya menunjukkan bahwa ia sedang senang dan nyaman dengan sweater barunya itu.

"Ini keren, Rin." Ujar Lina dan memasukkan sweater lamanya ke dalam tas. Ia pun mendekatiku dan memelukku sebentar. "Makasi sekali lagi."

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Pandanganku mengikuti punggung Lina yang terbungkus sweater ungu muda menuruni tangga. Tak lama kemudian aku menyusul. Aku merasa bahagia karena telah memberi kebahagiaan kepada orang lain.

***

Aku memotret pemandangan rumah-rumah di depanku dan mengirimnya ke Sven. Aku sedang mencari rumahnya, karena kerja kelompok mengenai tugas sejarah akan berlangsung di rumahnya.

Karin: sent a photo
Karin: yang mana rumahmu? Disini ngga ada rumah nomer 22
Sven: itu loh yang orange muda.

Dan seketika Sven keluar dari rumah bercat orange muda itu dan menghampiriku. Ia hanya memakai jaket tipis dan sepatu rumah. Aku menghampirinya.

"Astaga pake keluar rumah segala. Kamu tau musim apa sekarang?" Tanyaku sarkastis, tapi aku tersenyum. Kami menuju rumahnya. "Lagian mana nomer rumahmu?"

"Udahlah gausah khawatirin aku. Daripada kamu celingukan gitu di jalan, mendingan kan aku jemput." Balasnya dengan nada sok menggoda sambil menepuk bahuku yang dilapisi jaket tebal. "Oh ya, nomor rumahku ketutup sama semak-semak." Tambahnya sambil menunjuk ke arah semak-semak yang tumbuh menjalar di tembok rumahnya.

"Kamu kebanyakan ngomong." Ujarku dengan ketus tiba-tiba, mengingat wajah Sven yang mendekatiku setahun yang lalu. Bruh, geli.

"Wah keras banget kamu yaah." Sven tertawa kecil sambil membuka pintu.

Ternyata, aku datang paling pertama. Aku memandang jam di HP-ku. 15.03. Janjinya jam 15.00. Mereka terlambat, duh. Aku pun duduk di sofa ruang tamu itu dengan canggung. Kini ibu Sven memasuki ruang tamu, ia memandangku dengan ramah.

"Karin ya? Mau minum sesuatu? Ada sirup apel, mau?" Tanyanya ramah sambil menatap Sven, sebuah kode yang menyuruh Sven untuk bangkit dan mengambilkanku minuman.

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang