Chapter 18

217 14 0
                                    


     Liburan. Ya begitulah, dan sebentar lagi natal. Setelah natalan, Anna dan keluarganya akan pergi ski selama seminggu. Tapi itu masih jauh. Hari ini, aku dan Anna ingin menghabiskan malam minggu di pasar natal yang baru saja berlangsung selama beberapa hari di Ludwigsburg.

     Pasar natal, identik dengan lampu-lampu kuning hangat di seluruh stan-stannya, alunan musik lembut yang berasal dari suara pengamen yang memainkan biolanya, kehangatan bau camilan warna-warni yang tercampur dengan bau salju yang sedikit menusuk, dan tentunya seluruh suara canda-tawa dari semua pengunjungnya. Pasar natal ini, seperti namanya, berlangsung pada saat-saat menjelang natal. Isinya yaitu mulai dari stan-stan makanan khas natal, sampai ke permainan-permainan yang bisa dimainkan oleh semua pengunjung, baik muda maupun tua, dan pemenangnya  akan mendapat hadiah kecil.

     Di sini kami berada, di pasar natal yang sudah ramai ini. Aku tersenyum, dan bisa melihat betapa Anna mencintai pasar natal ini. Tanpa menolehnya pun aku sudah tau ia sedang tersenyum lebar. Anna menggosok-gosokkan tangannya dan meniupnya, walaupun ia memakai selop tangan. Ia juga memakai beanie dari wol yang tebal, dan syal. Bajunya juga berlapis-lapis, aku tau itu. Kalau sedang musim dingin, Anna bisa saja memakai 2 sweater di bawah jaket tebalnya. Dan di bawah sweater itu juga ada beberapa helai baju. Herannya, aku yang tak berselop tangan dan tak ber-beanie tak merasa kedinginan sedikitpun.

     "Aku cinta banget suasana ini. Kalau aku di sini tuh selalu dapet perasaan yang sama dari tahun ke tahun. Contohnya, setiap menjelang pasar natal aku tau bakal nyium wangi roti jahe itu. Dan kalau udah di sini nih, bahagianya karena aku sekarang bisa beli roti jahe itu dan memakannya." Jelas Anna. Senyum cewek itu begitu menaikkan pipinya, sehingga kacamatanya pun sedikit tergeser.

     Kami menuju stan terdekat yang menjual camilan. Anna langsung membeli sebuah roti jahe berbentuk hati, dan aku memilih untuk membeli sebuah lolipop karamel. Setelah itu, kami berkeliling di pasar itu, menjelajahi seluruh stan-stan di sana. Ketika kami melewati sebuah stan yang menjual dekorasi pohon natal, aku tertegun. Sesuatu telah menarik perhatianku.

      Yang menarik perhatianku adalah sebuah gantungan untuk pohon natal. Gantungan itu sangat kecil, bahkan lebih cocok dikategorikan sebagai liontin. Benda itu terdiri dari sebuah plat silver yang terukir indah, berisi sebuah batu biru ditenganya. Aku mengambil benda itu dan mengamatinya di telapak tanganku dengan terkagum-kagum. Mata penjual tersebut memandangiku.

    Aku mendongak, menatap ibu-ibu penjaga stan. "Ini sebenarnya liontin apa gantungan untuk di pohon natal?" Tanyaku setelah menyadari keberadaan sebuah lingkaran silver yang tersambung dengan 'liontin' itu. Namun, sebuah tali yang biasanya dipakai untuk gantungan pohon natal tersambung pada lingkaran itu.

     Ibu itu memerhatikan liontin itu dengan seksama. "Waduh, iyanih. Itu liontin. Saya juga lupa dari mana. Kamu pengen membelinya? 5 euro saja."

      Anna kini mendekat, memandangi liontin itu lewat bahuku. Untuk liontin seindah ini, harganya murah sekali, batinku. Aku pun merogoh kantong jaketku, mencari dompet, ketika Anna menahan tanganku.

     "Aku beliin kamu ya. Anggep aja sebagai talisman dariku." Ujar Anna dan langsung memberi ibu itu selembar uang 5€.

     Talisman. Alias jimat keberuntungan. Kayaknya aku emang perlu talisman kaya gini deh, pikirku. Hal itu membuatku tersenyum. "Makasi An, aku sayang kamu deh." Candaku sambil memasukkan liontin itu ke saku jaketku.

    Anna tertawa dan kami pun melanjutkan aksi keliling kami. Kami pun berhenti di salah satu stan minuman dan duduk di sana, lalu memesan dua cangkir teh panas.

     Setelah meminum seteguk dua teguk dari teh panas itu, aku baru menyadari keberadaan Luna dan geng-nya di sebuah meja berjarak kurang lebih 3 meter dari meja kami. Mereka sedang meminum teh juga, sebuah fenomena langka. Di sela-sela tawa mereka aku dapat mendengar perkataan Luna.

     "Dan kalian tau apa dibilang sama dia setelah itu?? Dia bilang 'Maaf, tapi aku ga bisa bantuin kamu beli rokok lagi', gitu! Gila ga sih, dia kerasukan apa ya?!" Ujar Luna tak percayaan.

     Ella dan dua cewek lainnya, yaitu Maddy dan Melissa, menggeleng kepala mereka. Alex, Marcel dan Paul, ketiga cowok yang ada di sana juga menggeleng kepala mereka. Maddy dan Melissa merupakan murid sekelasku yang juga termasuk geng Luna. Ella kemudian menyenggol Luna.

    "Wah jangan-jangan dia udah ga cinta sama kamu! Hahaha!" Kata Ella dengan tawa berlebihan yang terkesan dibuat-buat.

     "Shhh! Jangan bilang gitu depan Alex, nanti dia cemburu.." Luna merangkul Alex yang tersenyum.

     "Anyway, kamu juga bisa nyuruh orang lain kan buat beliin kamu rokok. Gampang mah." Kata Melissa meremehkan. Cewek berambut merah itu pun melihat sekitar, dan pandangannya tertancap padaku tiba-tiba.

      "Halah males deh. Udah bosen, saatnya nyoba hal baru!" Ujar Luna dan membenamkan wajahnya ke jaket Alex.

     Alex melihat pandangan Melissa yang terpaku padaku. Ia pun mendongak dari tehnya dan ikut memandangku, yang cepat-cepat memalingkan muka. Pura-pura meminum teh, aku mendekati Anna.

     "An, pulang yuk."

    Anna yang tadinya sedang memandangi seorang kakek tua yang memainkan lagu 'Jingle Bells' dengan biolanya, kini menolehku. "Kenapa?" Tanyanya. Kemudian ia melihat Alex yang memandangiku dengan mata sipit.

     Mataku lagi bertemu dengan mata hitam legam dari Alex. Ia mengangkat sebelah alisnya. Sepertinya ia menyadari sesuatu. Sesuatu yang seharusnya tak ia sadari.

     Aku menghentakkan cangkirku yang masih setengah penuh ke meja kayu itu, sehingga isinya hampir meluap. Lalu, aku bangun tergesa-gesa, dan pergi, tidak menunggu Anna. Untungnya kami sudah membayar tehnya tadi saat memesannya, sehingga aku bisa pergi dengan leluasa. Aku membelah kerumunan, hampir lupa dengan Anna.

     Entah dari mana, tangan Anna mencengkram pergelangan tanganku tiba-tiba, memaksaku berhenti. "Jangan pake ninggalin gitu juga kali!" Dengusnya kesal. Kami kembali berjalan, kini sudah sampai di pinggir pasar itu. "Kenapa sih kamu?" Tanya Anna lalu melepaskan tanganku pelan.

     Aku menatapnya, lalu menceritakan semuanya. Bahwa aku menyuruh Roby untuk berhenti membantu Luna, demi Alex. "Dan sekarang Alex nyadar kalau aku yang nyuruh Roby, dan dia bakal marah sama aku." Aku menarik kesimpulanku sendiri. Mata Alex yang terpicing dan menatapku dingin sudah cukup bagiku untuk menarik kesimpulan di atas.

     Anna memutar bola matanya. "Belum pasti dia tau itu. Palingan cuma ngira-ngira. Udahlah, tenang dong rin."

    Aku mengangguk, lalu kami pulang dengan bisu.

***

    Malam itu, aku menyadari bahwa plat silver pada liontin itu memiliki tombol kecil. Jika ditekan, liontin itu terbuka. Aku memandanginya dengan seksama, dan saat itu juga aku mendapat sebuah ide.

    Aku ke kamar orangtuaku, dan mencetak gambar Alex yang berlipstik saat kami skype-an dulu. Dulu. Aku mencetak foto Anna juga. Kedua foto itu sengaja kucetak sangat kecil, sehingga keduanya muat di liontin itu. Aku mencari-cari sebuah kalung silver. Setelah menemukan sebuah kalung yang cocok, aku mengganti liontin lamanya dengan liontin baruku, yang berisi foto Alex dan Anna. Lalu, kalung itu kupakai di leherku.

Hey readers!
Pertama-tama yaa, bagi kalian yang udah setia ngikutin ceritaku sampe sini: terima kasih!! Danke!! Merci beacoup!! Thank you!! Suksma!! Arigatou!! (Dah kehabisan bahasa) makasi banget udah baca ceritaku sampe disini, dan barangkali juga ngevote.

Kedua, maaf kalo aku updatenya ga teratur belakangan ini. Aku berusaha untuk update secara teratur untuk kedepannya ya. Hehe, maaf.

Ketiga; itu tadi foto Anna. Sebelumnya aku pernah upload fotonya dia juga, tapi error, jadi aku upload lagi di chapter ini ya. Btw yang jadi Anna itu Leighton Meester (coba google, cantik banget.) dan kalau kalian tertarik sama siapa yg jadi Karin, Luna/dll, kalian bisa tanyain ya, lewat mana aja terserah hehe

Keempat: oke author notenya kepanjangan. Oke intinya see you againnnn!

-Tamy

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang