Chapter 19

243 19 10
                                    


     Dua hari sebelum natal. Hari ini aku sedang sendiri di rumah, tiduran dengan malas di sofaku, memakai sweatpants dan sebuah sweater yang kebesaran, sambil memegang semangkuk kacang mente karamel. Dalam sweater-ku, aku bisa merasakan permukaan liontin yang dingin menyentuh kulitku. Sejak malam pasar natal itu, aku tak pernah melepasnya, kecuali untuk mandi. Aku menggapai rimut di sebelahku, dan menyalakan TV. Yang muncul adalah sebuah zombie menyeramkan yang sedang pecah isi perutnya.

    Melihat adegan dari seri The Walking Dead itu, nafsu memakan kacang mente karamelku hilang dalam sekejap. Dalam hati, aku menyalahkan diriku sendiri karena telah menghidupkan televisi. Aku pun memutuskan untuk tetap menonton, dan tetap memakan kacang-kacang menteku itu. Terlihat zombie yang walaupun tadi perutnya sudah pecah dan keluar isinya, kini berjalan dengan terpincang-pincang mendekati sebuah rumah di tengah hutan itu.

    Dengan waktu bersamaan ketika zombie itu menabrak pintu rumah itu, sebuah ketukan terdengar di pintu rumahku sendiri. Aku terlonjak. Kenapa tidak menekan bel aja? Pikirku.

     Dengan berjingkrak-jingkrak, aku mendekati pintu dan membukanya perlahan. Dan di depan pintu itu tidak berdiri sebuah zombie yang isi perutnya berhamburan keluar, melainkan seorang... Cogan.

    Alisku naik, dan entah kenapa aku ingin menutup pintu ini kembali ketika melihat Alex. Tapi, aku teringat bahwa aku telah diajarkan tata krama, sehingga aku membuka pintu itu lebih lebar.

     "Ehm, hai, eh, kenapa enggak mencet bel aja?"

    "Belnya rusak." sahut Alex.

  Aku kini ingat, bahwa bel di rumahku memang sudah rusak dari seminggu yang lalu, namun keluargaku belum memiliki rencana untuk memperbaikinya sama sekali. "Oh, iya."

    "Kamu ngijinin aku masuk gak?" Tanya Alex tak sabaran.

    Aku cepat-cepat membiarkannya masuk dan menutup pintu. Alex pun membuka sepatunya. Lalu, seakan-akan ini rumahnya sendiri, ia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sofa. Suara-suara menjijikkan dari zombie yang ditusuk kepalanya masih terdengar. Aku membiarkannya.

   "Ngapain kesini?" Tanyaku.

   "Kamu suka nonton ini?" Alex menghiraukan perkataanku. Dagunya menunjuk ke layar TV itu.

     Aku mendengus. "Ngapain kesini?" Ulangku.

    Kini ia menatapku. "Duduk dulu, ga santai banget sih."

     Yang jadi tamu di sini siapa? Kok pake nyuruh duduk segala, batinku. Namun, tanpa menanggapi kata-katanya, aku duduk di ujung sofa yang lagi satu.

    "Kita perlu bicara."

     "Aha, oke."

     Alex menatapku, dagunya ditopang oleh kedua tangannya yang bertumpu pada lututnya. Ia kelihatan tegang, berbeda denganku, yang dengan santainya bersender di sofa ini. Walaupun begitu, dalam hati aku sama saja tegangnya seperti Alex.

     "Kamu yang nyuruh Roby, kan?" Tanyanya tak memandangku. Ia malah memandangi layar TV, dimana seorang pria berambut panjang sedang menggiring gerombolan zombie memakai sebuah sepeda motor.

     Aku terdiam sejenak, memikirkan reaksiku. "Nyuruh apa?" Reaksiku memang bodoh.

    "Udahlah rin ngapain kamu sok ga tau gitu." Ujar Alex, masih memandang layar TV, seakan-akan zombie-zombie itu lebih menarik daripada aku.

    Aku menautkan alisku. "Kamu kira aku suka punya percakapan gini? Kamu bahkan ga mandang aku. Hello my eyes are here!" Aku menunjuk kedua bola mataku, dan akhirnya Alex memandangku. Aku pun melanjutkan perkataanku. "Ya, aku nyuruh Roby buat berhenti jadi babunya Luna."

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang