Chapter 17

228 12 0
                                    


    Aku menggigit bibir bawahku dan memandangi rumah bercat kuning itu. Aku sudah memikirkan ini matang-matang, dan aku akan melakukannya. Aku harus. Kakiku mulai bergerak. 1 langkah, kemudian aku tertegun. Kepalaku berteriak agar aku cepat meneruskan langkahku. 2, 3, 4 langkah. Kini aku berada di depan pintu coklat tua itu.

    Terakhir kali aku kesini bersama Alex, dan menyerangnya habis-habisan dengan pistol air berisi adonan menjijikkan. Namun, rasa tegang yang kualami saat itu dan sekarang sama. Sebelum aku dapat merubah pikiranku, aku memencet bel rumah itu.

    Seorang wanita yang sudah tentu merupakan ibu Roby membuka pintunya. Aku tertegun sebentar, lalu tersenyum. Namun ekspresi muka wanita itu tetap datar, mata kecilnya memandangiku dengan curiga.

     "Halo, aku di sini untuk bertemu Roby... Apa dia ada di rumah?" Tanyaku dan berusaha untuk tetap tenang.

    Wanita itu mengangguk dan membiarkanku masuk, lalu menutup pintu untuk mencegah hawa dingin masuk. Lalu, ia memandang ke arah ruang tamu, di mana sedang terdengar bunyi-bunyi tembakan dan ledakan, dan suara-suara pria berteriak.

     "ROBY! Ada yang ingin menemuimu!" Teriak ibu Roby dengan lantang. Urat di leher wanita kurus itu berkedut saat ia berteriak.

    Suara tembakan dan ledakan dari game yang sepertinya dimainkan Roby berhenti. 2 detik kemudian, ia berada di tempat kami berada. Ia memandangku dengan curiga. Ibu Roby mengangguk ke arahku, lalu menghilang ke dapur.

     "Mau apa kamu?"

    Aku menelan ludah. "Aku perlu ngomong sesuatu sama kamu. Apa ada tempat dimana kita bisa ngomong tanpa terdengar oleh-"

     "Tentu." Potongnya. Lalu ia mengayunkan tangannya ke arah tangga. Ia menaikinya, dan aku mengikutinya. Kami berdua pun memasuki kamarnya, dan Roby duduk di ujung tempat tidurnya. Dagunya mengarahkanku untuk duduk di kursi meja belajarnya.

     Aku membuka jaket tebalku. Lalu, dengan gugup aku memandang cowok pirang yang kusebut bajingan ini. "Ini tentang Luna... Dan Alex."

     Mendengar itu, Roby terlihat seperti menajamkan telinganya. Ia juga menegakkan tubuhnya sedikit.

     Merasa mendapat respon positif, aku melanjutkan perkataanku. "Luna dan Alex, seperti yang kamu ketahui pastinya, mereka ngerokok. Dan kamu tau, mereka baru lima belas tahun. Aku curiga ada orang yang bantu mereka beli rokok."

     "Dan kamu kira orang itu aku?" Tanyanya mencemoohkan.

     Mendengar itu, kakiku menjadi lemas seketika. Tulang-tulangku menjadi pudding. "I-iya."

     Kami terdiam sesaat. Keheningan yang begitu mencekat, menyerap segala harapan yang ada dalam diriku. "Kamu bener. Ya, orang itu aku."

     Jantungku melompat. Segala harapan yang mulai luntur tadi kini muncul kembali, dengan porsi 2 kali lipat lebih banyak. "Kamu ga bercanda kan?" Tanyaku tak percayaan.

     Ia menggeleng pelan. Siapa sangka, orang yang pernah melecehkanku di kamar mandi sempit itu kini seruangan lagi denganku. Kalau ia mau, bisa saja ia mengapa-apakanku lagi. Tapi ia takkan melakukannya. Aku memikirkan kata-kata yang sebentar lagi akan kukatakan.

    "Kenapa kamu membantu mereka?" Tanyaku. Roby bereaksi dengan memicingkan matanya.

     Ia mengangkat bahu. "Kenapa emangnya? Aku disuruh Luna."

      Aku mencondongkan tubuhku ke depan. "Rokok itu ga cuma buat Luna kan? Buat Alex juga! Kalo cuma buat Luna aja sih ngga apa, aku ga peduli. Tapi ini-" Aku terdiam, tak tahu bagaimana cara mengekspresikan pikiranku dalam bentuk kata-kata.

    "Kamu peduli banget sama Alex ya?" Nada bicaranya lebih seperti menyatakan sebuah fakta, bukan bertanya.

   Aku hanya berkedip dan menatapnya dalam-dalam. Lagian, rasanya aku tak perlu menjawab, kan?

     "Iya kan. Sampe kamu rela ke rumahku, aku yang pernah ngelecehin kamu, cuma buat nanyain hal gini." Ucapnya.

     "Aku tau kamu berengsek, tapi tolong jangan nambah berengsek." Aku menyilangkan tanganku. "Tolong, jangan bantu mereka. Gaada manfaatnya jugaan kan? Yang ada kamu sendiri yang susah."

    Roby menopang kepalanya dalam tangannya. Lalu, ia pun berdiri dan berjalan ke jendela. Dari jendela, hanya terlihat kabut abu. "Aku bisa aja berhenti beliin rokok untuk Alex. Jadinya aku beli satu kotak aja."

     Aku menimang-nimang perkataannya. "Tapi kalo gitu pasti aku dapet masalah sama Luna."

      Roby mendengus. "Kenapa kamu peduli banget sama Alex? Sampe segininya? Udahlah, relain aja dia sama Luna!"

     Perkataan Roby rasanya seperti jarum kecil yang menusuk hatiku. "Aku rela dia sama Luna. Asalkan mereka engga ngerokok dan mabuk-mabukan bareng." Kata kata itu terlontar dari mulutku begitu saja. "Kamu juga, ngapain segitu niatnya bantu Luna sih?"

    Roby kembali duduk. "Aku suka sama Luna. Aku bakal ngelakuin apapun kalo itu demi dia."

      Aku menahan nafas. Hening sejenak. Roby menopang dagunya, ia tak memandangku. "Kalo gitu... Berarti kita di posisi yang sama." Aku mengambil nafas dalam-dalam. "Jadi seharusnya kamu ngerti perasaanku sekarang."

    Roby menggeleng pelan. "Ngga bisa. Luna bakal marah sama aku."

    Aku berdiri. "Roby! Hal yang kamu lakuin sekarang cuma ngerugiin dia aja! Kalo kamu emang peduli sama Luna, seharusnya kamu tau apa dampak 'bantuan'-mu itu"

     Roby masih saja menggeleng pelan, dan aku pun mulai putus asa. Aku mondar-mandir dalam kamarnya. "Berengsek!" Aku mencoba memukul lengannya. Namun, ia menepisnya dengan gampang.

    "Roby. Aku mohon." Bisikku. "Apa yang harus aku lakuin biar kamu mau bantu aku?"

     Roby terdiam, matanya memandangiku penuh tanya. Jangan sampai ia memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan hal negatif, pikirku menyesali perkataanku. Aku menelan ludah dan menguatkan diriku saat Roby mulai membuka mulutnya.

    "Aku tau kamu nganggep aku bajingan. Dan sekarang kamu pasti ngira aku bakal minta kamu untuk nyerahin keperawananmu ke aku atau apa, nggak. Aku cuma cowok bodoh yang suka main ps." Jelasnya sambil mengangkat bahu. "Aku ga minta balasan apa-apa. Aku bakal berhenti beliin Luna, dan Alex, rokok."

    Mulutku terbuka. Apa yang aku denger tadi? Mungkin Roby memang benar. Walau tampangnya seperti preman, ia hanyalah cowok malas yang suka menghabiskan waktunya bermain PS. Aku masih belum percaya bahwa Roby ternyata tidak seperti yang kubayangkan.

    "Hah... Terus pas pestanya Ella? Kamu bajingan. Titik." Kataku bersikeras.

     "Luna yang nyuruh aku. Aku minta maaf." Ia menjulurkan tangannya.

      Apa cowok ini berkepribadian ganda? Dan itu yang nyuruh Luna? Cewek apaan tuh? Kini semua amarahku tertuju pada Luna. Aku mengingat kata-kata Luna: 'Gimana rasanya minum whisky, rin?'. Perutku mendidih dibuatnya. Aku berusaha menutupi itu, dan menjabat tangannya, menerima permintaan maafnya. "Diterima. Tapi tetap aja kamu masih bajingan... Dikit." Kataku, belum mampu memaafkannya sepenuhnya.

     Roby pun mengangguk.

  "Kamu janji? Ga bakal beliin mereka rokok lagi?" Tanyaku.

   Cowok itu memikirkannya sekali lagi, lalu ia menatap ke luar jendela, lalu ke aku. "Iya, aku janji."

***

   Setelah itu, aku pulang, berharap semoga Roby menepati janjinya.

   Seandainya aku kenal Roby sebelum kejadian itu, aku pasti ga bakal mandang dia seburuk ini. Memang, satu perbuatan buruk yang dilakukan oleh seseorang benar-benar berpengaruh terhadap cara orang lain memandangnya, walaupun barangkali ia telah melakukan sangat banyak perbuatan baik sebelumnya.

PurposeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang