"Aya, menghadaplah ke sana dan bernyanyilah untukku," suruh ayahku dengan lembut.
Aku mengiyakan dan mulai bernyanyi, sambil berusaha menengok apa yang ayahku lakukan.
"Hei, hei, tidak boleh mengintip ya," sahut ayahku saat dia mengetahui aku berusaha mengintip. Aku pun tersenyum sambil melanjutkan nyanyianku.
"Kau bernyanyi dengan sangat bagus, Aya!" kata ayah memujiku setelah aku selesai bernyanyi.
"Ayah, apakah aku boleh menengok sekarang?" tanyaku dengan polos.
"Tunggu sebentar," jawabnya. Aku mendengar ayah bergumam tidak jelas, sepertinya ayah sedang membuat sesuatu.
"Yes! Sudah selesai!" katanya senang, lalu tiba-tiba aku merasakan ada sesuatu di kepalaku.
"Mahkota bunga?" tanyaku ketika melihat apa yang ayah letakkan di atas kepalaku, "Apakah ini terlihat bagus di kepalaku?"
"Ya! Aku pikir itu sangat cocok untukmu," jawab ayahku tersenyum.
"Yaay!" aku pun berteriak kegirangan, "Terimakasih ayah!"
"Maaf, ayah tidak bisa selalu bermain denganmu, Aya," kata ayah dengan sedih, walaupun dia tetap tersenyum.
"Ayah..." aku menatapnya, "tidak apa-apa ayah! Aku senang aku bisa bermain denganmu hari ini!"
Jujur, aku ingin sekali sering-sering bermain dengan ayah, tapi aku tidak mau membuat ayah sedih.
"Oh, kalian sedang bermain ternyata," kata ibuku yang tiba-tiba datang.
Aku pun langsung berlari menghampiri ibuku dan memamerkan mahkota bunga buatan ayahku dengan senang.
"Lihat! Ayah membuatkanku mahkota bunga, ibu!"
"Indah sekali! Kau terlihat sangat cantik dengan mahkota itu, Aya," kata ibuku lembut, "Jadi kau bermain dengan ayahmu seharian?"
"Ya!" jawabku sambil mengangguk mantap.
Aku pun menengok pada ayahku, "Kita harus bermain lagi lain kali, ayah!"
"Iya, kau benar. Tapi lain kali, ibumu juga harus ikut," jawab ayahku tersenyum sambil menatap ibuku.
"Wow, aku tidak sabar untuk itu," kata ibuku sambil terkikik, namun-"Uhuk! Uhuk!"
"Ibu!" aku langsung khawatir mendengar ibuku terbatuk-batuk seperti itu.
"Maafkan aku, hanya batuk ringan," jawab ibuku yang sepertinya terlihat lesu lalu terbatuk-batuk lagi.
"Jangan memaksa dirimu kalau kau tidak enak badan!" kata ayahku dengan khawatir, "Ayo, kita suruh Maria mengambilkan obat. Kau akan merasa lebih baik."
"Tidak, aku bisa mengambilnya sendiri," balas ibuku dengan suara bergetar.
"Ibu, apakah kau sakit? Kau baik-baik saja kan?" tanyaku khawatir.
"Ibu tidak apa-apa, Aya. Jangan cemas, " kata ibuku tersenyum menenangkanku, "Aya, jangan cemberut begitu. Kalau aku tidak bisa melihat senyummu, aku jadi cemas, Aya."
"Ibu..." walaupun aku cemas, tapi aku senang mendengar perkataan ibuku. Akhirnya aku pun mengangguk dan tersenyum lagi.
"Ayo sekarang kita makan malam, aku membuat steak hamburger malam ini. Kesukaanmu, Aya!" ajak ibuku bersemangat.
"Horeee! Aku suka hamburger buatan ibu!" kataku berjingrak senang lalu melirik ayahku, "Hamburger ibu adalah makanan yang paling enak. Benar kan, yah?"
"Hahaha, tentu saja! Hamburger buatan ibumu adalah makanan terenak di dunia!" sahut ayahku sambil tertawa.
Kita sangat bahagia saat itu. Memang Maria juga sudah ada di saat itu. Tapi walaupun begitu, kita bertiga adalah keluarga yang bahagia sampai... saat ibuku meninggal karena sakit.
Kebahagiaan yang kami punya itu pun juga pergi bersama ibuku...
"Aaaakh!!!"
Aku terbangun dari tidurku karena teriakan yang cukup keras itu. Rasanya aku tidak rela bangun karena masih ingin merasakan indahnya kebahagiaan di dalam mimpiku.
Tapi, suara teriakan itu seperti suara ayah. Aku yakin itu suara ayah. Pasti ada sesuatu yang terjadi, aku harus melihat ayah.
*****

KAMU SEDANG MEMBACA
Mad Father [Slow Update]
HorrorAya Drevis, gadis lugu berumur 10 tahun yang imut dan cantik harus berurusan dengan banyak mayat hidup alias monster di rumahnya karena ayahnya, Alfred Drevis. Ayah Aya bisa dibilang adalah seorang ilmuwan gila. Dia menggunakan hewan, bahkan manusi...