Seorang gadis cantik, tengah berdiri di balkon kamarnya. Memandang langit dengan cahaya rembulan bersinar terang, bintang bagaikan figuran yang menghiasi langit malam. Senyum manis terukir di bibir tipisnya. Siapa saja yang melihat senyuman itu, pasti akan meleleh detik itu juga. Senyum maut bagi para kaum adam.
Ia beranjak ke kamar, mengambil beberapa novel untuk di baca. Mungkin langit malam akan lebih indah bila ia menikmatinya dengan setumpuk novel yang beragam. Duduk di ayunan, mencari sandaran yang pas, membuka novel dan mulai membaca. Tak lupa semilir angin malam juga ikut andil dalam aktivitasnya sekarang. Detik berlalu menjadi menit, jarum jam terus berputar, menit berubah jam. Menghabiskan sisa malam membaca novel amat menyenangkan.
Tepat di belakang gadis itu, berdirilah seorang laki paruh baya. Hatinya terenyuh melihat anak gadisnya tak sedikitpun mengeluh. Hasil tes menunjukkan bahwa ia tak bisa lebih lama lagi. Tak sepatutnya laki-laki menangis seperti ini. Tapi, tak semua lelaki harus berpura-pura tegar, tak menunjukkan perasaannya kepada semua orang. Tak menunjukkan kelemahannya dihadapan semua orang. Apakah sang Ayah akan terus bertutup diri atas penderitaan anaknya? Apakah sang Ayah akan terus berpura-pura tegar dihadapan anaknya? Melihat kondisi putri tercinta yang umurnya termakan dengan penyakit, hidup sebatang kara seorang diri. Perjuangan hidup penuh yang dilakukan putrinya. Tak membuahkan hasil, inilah takdir. Tak ada yang bisa mengubahnya.
Satu tetes air mata lolos begitu saja dari kelopak mata, jatuh tepat di puncak kepala putrinya. Sang anak menyadari setetes air mata turun menjatuhi puncak kepala, menengadahkan dan melihat sosok Ayahnya sedang menangis. Gadis itu bangkit, memeluk Ayahnya. Memeluk begitu erat, seakan tak rela jika harus berpisah. Hanya dengan cahaya rembulan, Ayah dan anak ini menyalurkan rasa sakit yang sama. Sama-sama takut kehilangan dan sama-sama takut menyakiti satu sama lain. Mahendra melerai sesi pelukan yang amat sakit. Menangkup wajah putrinya mencium keningnya dengan penuh sayang.
"Ayah, kenapa kau menangis? Siapa yang membuatmu menangis. Apakah aku yang menyebabkanmu menangis seperti ini?" Tina mengusap air mata Ayahnya.
"Tidak, bukan kau sayang. Ayah hanya terharu melihatmu seperti ini."
"Kau lucu sekali Ayah, semua orang bila melihatku seperti ini pasti mengatakan "aku sangat sedih melihatmu" tapi kau malah terharu." Jawabnya dengan tawa kecil.
"Kau bodoh sekali. Mana ada Ayah yang terharu melihat anaknya seperti ini hem? Aku terharu, disaat seperti ini kau masih bisa tertawa." Mahendra duduk di samping anaknya, menerawang jauh di atas langit penuh bintang.
"Ayah, kau terlalu berlebihan."
"Memang aku sangat berlebihan? Menurutku tidak."
"Ayah.."
"Ada apa sayang?"
"Tina sayang Ayah..." ucapnya begitu lirih dalam pendengaran Mahendra. Tapi, Mahendra menanggapi perkataan anaknya dengan sebuah lelucon. Ia tak ingin Tina menderita dengan memikirkan dirinya.
"Kalau begitu sini peluk Ayahmu yang ganteng ini."
"Dan rentangkan kedua tanganmu untuk memeluk anakmu yang cantik ini." Mereka berpelukan, lagi.
"Tina, Ayah ingin bertanya padamu."
"Silahkan. Kau ingin bertanya apa?"
"Apa kau mencintai Karel?"
JLEB
Karel? Apakah ia mencintainya?
Apakah ia mencintai dan menyayangi pemuda yang telah berjanji padanya?
Apakah ia akan merelakan janji yang diucapkan pemuda itu?
Tina benar-benar pusing bila membayangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Atas Nama Sahabat
Teen FictionSeorang gadis yang hidup dengan penyakit yang kemungkinan sedikit harapan untuk hidup. Berjuang demi kebahagiaan orang sekitarnya. Tanpa memikirkan dirinya sendiri. Menjadi mak comblang antara pemuda yang ia cintai dan gadis yang sudah dianggap saud...