Chapter 17

43.8K 2.6K 44
                                    

.......

"Mereka jauh lebih tau dari pada aku Rei. Aku juga sudah memberi tahu semua hal dari yang terbesar sampai yang terkecil pada mereka. Aku yakin, tanpa bantuan dariku pun mereka bisa! Bukannya Rumah sakit itu memang Rumah sakit penanganan kanker? Lalu kalo sudah ada yang ahli kenapa aku masih disini? Lagian aku juga ada finza. Dia membutuhkanku...!" Jelasnya panjang lebar. Dan ku lihat dia sempat melirikku saat ia menyebut nama Finza.

"Finza... ini juga sudah kita bahas sebelumnya dan bahkan kita sudah tau solusinya kan?"

"Tapi jauh lebih baik kalau aku selalu ada disampingnya... Finza hanya punya aku, dia sudah tidak memiliki ibu..." sial. Lagi - lagi dokter Andre melirikku sembari menekan kata - kata Ibu. "... jadi aku gak mau kalau dia merasa dirinya sendirian..." lanjutnya.

"Okey, what ever..." balas Ali yang sepertinya kesal. Ia berbalik memunggungi dokter Andre sehingga posisinya menghadap padaku. Sementara hal itu di pergunakan dokter andre untuk menatapku. Apa - apa'an ini sebenarnya.

"Sorry kalo gue mengecewakan kalian.. permisi!!" Dokter Andre berbalik berjalan menuju pintu dan sebelum dia benar - benar keluar, dia sempat menoleh padaku, pun aku menunduk menghindari kontak mata dengannya dan setelah ku dengar pintu kamar kami tertutup baru aku berani mendongak kembali.

Ali maju dua langkah dan menggapai ku. "Jangan khawatir. Mama dan papa akan disini bersama bunda. Seharusnya memang kita tidak mengandalkan Rizky!!" Katanya.

Aku bisa melihat wajah kesal Ali namun aku juga tidak ingin karna ini pertemanan mereka menjadi renggang. "Udahlah... gak papa kok. Lagian dokter andre benar. Finza akan lebih butuhin dia.."

Ali mengangguk saja. Namun sepertinya fikirannya masih kalut. "Dan kalo boleh aku minta.... tolong jangan seperti ini terus. Dokter andre itu temen kamu. Nggak baik kalau kalian terus - terusan saling tidak bertegur sapa..."

Lagi ia mengangguk dan kali ini sembari membingkai kedua pipiku. "Iya...." katanya lemah, seperti tidak ikhlas namun dia memberikan senyumnya meski aku tau itu senyuman terpaksa.

"Yaudah, kita siap - siap aja. Kita harus kerumah sakit terlebih dulu..." lanjut Ali.

"Gak bisa..." jawabku. Dia menoleh menampakkan wajah tidak mengerti.

"Gak bisa?" Ulangnya.

"Kita perlu ransel li. Baju kamu terlalu banyak dan gak cukup kalo harus masuk ransel ku.." ia tersenyum setelah mendengar jawaban itu.

Menghela nafas Ali berjalan ke kasur sembari menatap baju - bajunya yang sudah ku tumpuk rapi dan siap packing. "Kenapa bisa sebanyak ini ya?" Aku tidak tau dia bertanya pada siapa, padaku atau dirinya sendiri.

"Kamu terlalu banyak membeli pakaian..."

"Karna aku tidak membawa pakaian ganti. Kamu tau itu..."

"Terus sekarang gimana??"

"Tunggu Roy dulu..."

"Apa??" Aku menyipitkan mata bermaksud agar dia mengulang ucapannya.

"Iya. Tunggu roy... supir pribadi papa yang papa sewa untuk beberapa bulan.."

"Dan namanya roy juga?" Tanya ku mencoba memastikan.

"Iya. Dia orang indonesia...!"

Oh. Kok bisa kebetulan gitu ya? Aku mengangguk mengerti.

"Sebenarnya namanya ROSIMIN. Dia tampan, tinggi dan tegap. Kalo dia jadi tentara cocok tuh. Makanya aku kasih dia panggilan Roy. Masak ganteng -ganteng di panggil Rosimin..." jelasnya yang kali ini berhasil mengundang gelak tawaku.

When????Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang