Rasanya mau menangis. Papa yang tak bisa mengizinkan aku pergi dengan motor Langit akhirnya rela mengantar aku dan Langit menggunakan mobil. Dia duduk didepan sementara aku dan Langit dibelakang. Meskipun begitu, papa masih tetap ceria di dalam mobil. Ia bercerita ini dan itu sementara Langit menyimak dengan baik dan benar seolah sehabis ini ia akan diberikan ujian tertulis dan lisan oleh papa. "Aku salah bawa motor." Bisik Langit ketika kami masih dimobil.
"Yang aku pelajarin hari ini. Jangan bawa motor kalau ada papa kamu." Ujarnya masih dengan berbisik. Aku terkekeh.
Papa masih terus bercerita, apa mulutnya tidak berbusa setelah ia bercerita selama ini secara non-stop?
Kami pergi ke suatu mall besar di Bandung. "Ayo nonton, ayo nonton itu!" ujar papa ketika melihat poster besar agen 007 dipampang di depan bioskop.
"Kamu mau nonton?" tanyaku pada Langit. Dia langsung menggeleng kuat-kuat. Aku berusaha menahan tawaku. Nonton bareng papa sama saja bunuh diri.
"Mau ke tokok buku pah." Kataku pada papa.
"Yaudah, nanti telfon papa kalo udah selesai." Ujarnya lalu menghambur ke dalam bioskop dan langsung mengantri. Rasanya seperti punya adik ketimbang serang papa..
"Maaf ya, papa aku kayak gitu."
"Nggak apa-apa, baik kok."
"Mau langsung ke toko buku?" Langit mengangguk. Setelah dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku jalan berdua dengan Langit! Ini adalah salah satu hari paling bersejarah dalam hidupku.
Intinya, kami pergi ke toko buku, mencari buku Langit yang kemarin rusak, lalu melihat-lihat sebentar, ketika di kasir, aku hendak membayar bukunya itu karena kemarin ia yang meminta tapi ia menolak. "Jangan lukain harga diri aku." Ujarnya ketika aku bermaksud membayar bukunya. Menurutnya perempuan tak boleh mmbayarkan belanjaan laki-laki.
"Kesitu yuk?" ajakku ketika melihat semacam toko penjual dessert dan minuman yang sepertinya baru buka.
"Aku ke toilet dulu." Aku mengangguk.
"Cepetan, aku tunggu disini."
Langitpun berlalu. Aku melihat isi mall. Rasanya bukan seperti ada di Bandung. Rasanya sama saja seperti di Jakarta. Aku memutuskan untuk membeli minuman yang tak jauh dariku lalu kembali ke tempat dimana tadi aku menunggu Langit.
Dimana sih, Langit, kok lama banget? Saat aku sedang mencari-cari Langit, aku terkejut bukan main ketika melihat Tasya, Rani dan Lina (kedua temanku dulu waktu di Jakarta) sedang melihat-lihat sebuah toko pakaian dari luar. Aku dan Rani bertemu pandang, dia menatapku sebentar lalu menepuk bahu Tasya dan berbisik-bisik.
Aku menelan ludahku. Apa yang harus kulakukan? Tasya pasti tahu kalau waktu itu Radit menemuiku. Tasya menoleh, kami saling bertatapan. Dia menatapku dengan tajam, lalu ia berjalan ke arahku, sementara Rani dan Lina terlihat seperti ajudan yang mengekor disisi kanan-kiri Tasya.
Ketika dia sudah dekat, aku hanya bisa tersenyum tipis. "Ha-" belum selesai menyapanya, dia sudah menamparku. Pipiku rasanya panas dan perih. Aku langsung menyentuh pipiku.
"Lo tau cabe nggak, sih?!" bentak Tasya. Aku berkedip-kedip, masih belum sadar apa yang sebenarnya terjadi. "Masa bodo lo mau nganggep gue apa sekarang, kan gue udah bilang, Radit tuh punya gue!" aku menatap Rani dan Lina, mereka menatapku dengan tajam. Aku rasanya ingin tertawa, bukannya dulu kami sedekat urat dan nadi? Oh, jadi cuma aku yang beranggapan begitu?
"Ngomong apaan, sih?" kataku akhirnya. "Aku nggak tahu kamu ngomong apa."
"Lo itu tukang ngerebut pacar orang! Dasar cabe, PSK, cewe penggo-" Tasya belum menyelesaikan kalimat berdarahnya itu, sampai seseorang merebut minumanku dan langsung menyiram tepat ke wajah Tasya hingga ia basah kuyup. Aku langsung menengok dan menemukan Langit dengan wajah datar melemparkan tempat minumanku yang telah kosong ke lantai.

KAMU SEDANG MEMBACA
Belong To Me
Teen FictionDia adalah laki-laki yang selalu membuatku kehilangan kata-kata, laki-laki yang selalu membuatku lupa dimana seharusnya aku berada, laki-laki yang selalu membuatku lupa aku hanya gadis biasa. Tuhan, hidupku tidak mudah, hidupku tidak selalu menyenan...