Keesokan harinya, aku berangkat dengan senang hati ke sekolah. Bukan karena aku rindu sekolah, bukan karena aku mau belajar, bukan karena aku disuruh mama, tapi karena aku ingin bertemu dengan seseorang. Seseorang yang selalu memenuhi pikiranku. Dan seolah tak ada celah, dia tidak mau keluar dari pikiranku.
Aku baru mau melangkah masuk ke kelasku, tapi di pintu kelasku terpajang perempuan tinggi berparas cantik yang sangat kubenci. Aku berniat untuk mengabaikannya. "Chaca." Aku menoleh ketika ia memanggilku. Melihat wajahnya saja sudah membuatku kesal. Dia tersenyum manis. "Boleh ngomong sebentar?"
Aku menatapnya sebentar, lalu akhirnya mengangguk. Dia ikut mengangguk sambil tersenyum, dengan kepalanya ia menyuruhku untuk berjalan mengikutinya. Aku menatap punggungnya dari belakang. Apa yang dia mau katakan? Dia membawaku ke... coba tebak, yep, toilet perempuan.
"Ada apa?" tanyaku berusaha terdengar sewajar mungkin, aku sekalian melepas tasku dan meletakkannya di sebelah wastafel, tasku berat, sih.
Dia tersenyum. "Aku mau minta maaf." Aku terdiam. "Aku tahu, kelakuan aku yang kemaren-kemaren itu nggak lebih dari sekedar sampah. Aku udah bikin kamu sedih, jadi aku mau minta maaf."
Aku tidak tahu tipuan apa lagi yang akan ia gunakan, baru kemarin dia mencaciku dan sekarang dia sudah begini? Tapi hati dan pikiranku tak pernah sejalan. Aku mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Aku udah buat kamu salah paham sama Radit."
Dia tertawa. "Nggak, nggak, aku sama Radit udah putus. Udah lama banget." Aku hanya mengangguk. "Kita bener-bener udah nggak ada perasaan apa-apa lagi." Aku kembali mengangguk.
Dia menunduk, dia memainkan kukunya, lalu ia mengangkat kepalanya sambil tersenyum manis padaku. "Kamu cocok banget sama Radit." Ujarnya. "Kamu tahu, pas aku-" dia berdeham sebelum melanjutkan kata-katanya. "Pas aku, berusaha ngedeketin dia, dia nolak aku mentah-mentah, katanya, cuma ada kamu yang ada dihati dia. Tapi aku maksa dan akhirnya bikin dia jadi kasian sama aku. Kamu tau kan, kalo Radit tuh sayang banget sama kamu?"
Aku berusaha membuat ekspresiku seterjaga mungkin, semoga aku diberi kekuatan agar tidak meludah ke wajahnya atau menamparnya. Aku tahu apa modus dia meminta maaf dan mengatakan ini dan itu. Dia ingin aku menjauh dari Langit. Membuatku berpaling darinya lalu kembali mengejar-ngejar si buaya darat itu. Aku menggeleng. "Perasaan aku sama dia udah ilang, kok."
"Nggak mungkin, Cha. Kita semua tau gimana sayangnya kamu ke dia, kamu cuma nyangkal aja. Aku tau kamu masih sakit hati, tapi mau sampe kapan?"
"Aku udah nggak sakit hati, bahkan sakit hati aku nggak nyampe seminggu." Dia menatapku bingung. "Kamu tau kenapa? Karena, cowok yang waktu itu ketemu sama kamu di mall, udah janji untuk buat sakit hati kemaren sebagai sakit hati tercepet yang pernah aku alamin. Dan dia udah nepatin janji itu."
Wajah Tasya seketika berubah, dia menatapku dengan tajam dan aku tahu dia sedang marah. Tapi dia menghembuskan nafasnya, lalu kembali memasang wajah bersahabat. Wow, berapa muka yang kamu punya? "Emangnya kamu siapanya Langit?" tanyanya.
Aku terdiam. Iya, ya. Aku siapanya? Aku menatapnya sebentar, dan ia menatapku dengan angkuh seolah ia menang. "Kamu bisa tanya Langit." Jawabku akhirnya.
Dia tertawa. "Oh, jadi nggak ada apa-apa... cuma temen biasa, toh. Aku pikir ada apa."
Aku kesal sekali melihatnya begitu. "Nggak masuk? Udah mau bel."
"Tau, kok." Jawab Tasya. "Cha," panggilnya.
"Kenapa?"
"Kalo kubilang, aku suka Langit gimana?" tanyanya. "Kita kan temen, kamu mau bantuin aku deketin dia, kan?"
"Jangan minta aku."
"Kenapa? Kamu kan deket sama dia, kalian juga nggak ada apa-apa, kan?"
"Soalnya itu berarti kita saingan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong To Me
أدب المراهقينDia adalah laki-laki yang selalu membuatku kehilangan kata-kata, laki-laki yang selalu membuatku lupa dimana seharusnya aku berada, laki-laki yang selalu membuatku lupa aku hanya gadis biasa. Tuhan, hidupku tidak mudah, hidupku tidak selalu menyenan...