#11 [Liars]

2.8K 199 10
                                    

"Papa telpon kamu, tuh." Ujar mama sambil menuangkan susu digelasnya ketika aku sedang menuruni tangga.

"Bener?!" aku langsung berlari secepat kilat ke meja makan.

"Papa kamu bilang hp kamu nggak aktif."

Oiya, mama kan tidak tahu insiden yang menimpaku kemarin. Dan aku sama sekali tak berencana untuk memberi tahunya. Biar kupikirkan bagaimana caranya aku mendapatkan hp baru. Mustahil aku akan menemukannya walaupun mencari ke ujung dunia.

"Iya, nggak sempet di charger."

"Yaudah, nanti pulang sekolah, kamu telpon papa kamu, ya."

"Iya."

Sesampainya di sekolah, pikiranku terus melayang-layang akan nasib hp-ku. Apa yang harus aku lakukan? Kemungkinan besar hp-ku tertinggal di bangunan tua itu. Seingatku, disana adalah kali terakhir aku memegang hp-ku. Jangan-jangan di ambil preman-preman itu? Memikirkannya membuatku yakin kalau preman-preman berotot menjijikkan itulah pelakunya. Tapi kalau aku mendatangi mereka namanya aku bunuh diri. Lagi pula, dimana aku bisa menemukan mereka?

"Marsya!" suara Dinda yang menggelegar membuat lamunanku buyar. Dia berjalan menghampiriku lalu merangkul pundakku. Badannya itu tinggi, bongsor. Bahkan ia hampir setinggi Langit. "Kenapa sih, mukanya ditekuk gitu?"

"Nggak, kok."

"Itu jelas-jelas ditekuk!" ujarnya sambil menunjuk-nunjuk wajahku. "Kemaren kamu ngobrol sama siapa?"

"Siapa?"

"Itu pas di rumah Langit."

"Oh, itu Kang Agus. Tukang sayur tapi kerja juga jadi tukang kebun di rumah Langit."

Dinda mengangguk-angguk. "Kamu kenal?"

"Iya, doong! Dia itu gebetannya pembantu aku di rumah."

"Oalah..."

"Kalo tukang sayurnya gebetan pembantu kamu, tuan rumahnya pasti gebetannya kamu! Iya kaaan!" godanya. Hah? Apaan?! Kok dia tahu?!

"Ih, apaan, siih!"

"Nggak usah ditutup-tutupin, deh!"

"Nggaaak!"

"Ehh, jangan takabur!"

"Yaudah.."

"Iya, kan, beneeer!"

"Dindaa!" aku mencubit pinggangnya hingga ia mengaduh masih dengan tawanya yang terbahak-bahak.

Setelah mereda, kamipun berhenti bicara untuk sesaat. "Aku kasih tau, ya. Langit itu anaknya bandeeel bangeeeet."

"Tau, kok."

"Ih, serius, deh. Kalau ditegur guru nggak mempan, dihukum, dijemur di lapangan, di setrap nyampe disuruh bikin surat perjanjian juga nggak mempaaan!" ujarnya berapi-api. Apa tujuannya sih, memberitahuku hal seperti itu? "Kemaren tuh ya, kan kamu pulang duluan, dia bilang, kamu suka sama dia. Tapi katanya rahasia."

"Dia bilang gitu?!" tanyaku tak percaya. Wajahku memanas, Langit itu demamnya sudah kelewat parah atau gimana?!

"Nggak usah sok kaget gitu, deh!"

"Nggak kok! Aku nggak bilang gitu!"

"Hus, kalo orangnya denger nanti marah, loh."

"Tapi aku beneran nggak bilang gitu!" Dinda terkekeh. "Bilang apa lagi dia?"

Dinda mencoba mengingat-ingat. "Katanya, ini rahasia."

"Kok kamu kasih tau aku?"

Dinda mengangkat bahu dengan wajah menyebalkan. "Kamu coba aja tanya dia. Aku juga nggak tau dia mau ngomong apa."

Belong To MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang