Aku dan Yasmin duduk dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Yasmin mengecek hp-nya, ia menghela nafas. "Mereka dateng." Ujarnya. Aku menjadi was-was. Memangnya apa yang akan kukatakan? Anggap saja aku pengecut. Jujur aku takut, aku tidak pernah punya masalah apapun dengan teman-temanku dan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya.
Aku menatap ke arah tangga sambil menggigit-gigit kecil bibirku. Tuhan, tolong beri aku kekuatan. Kekuatan melebihi kekuatan yang biasa kumiliki. Kumohon. Atau aku akan benar-benar mati. Jantungku rasanya mau melompat keluar dari sarangnya, aku bahkan bisa mendengar detak jantungku sendiri. Aku takut. Aku takut aku tidak bisa menghadapi ini semua. Aku takut aku akan berakhir menyedihkan.
Nafasku tercekat ketika dua wajah yang saling berangkulan itu muncul. Yasmin menoleh ke belakang, melihat kedua teman kami datang. Mereka berdua masih tertawa-tawa seolah tak ada beban atau setitik rasa bersalah, mereka belum tahu kalau aku ada disini. Aku menunduk, menyembunyikan wajahku dibalik buku menu yang besar. Aku bisa mengintip kalau mereka sudah dekat. "Yasmiiiin!" ujar Tasya riang lalu melompat-lompat memeluk Yasmin dari belakang, sementara Radit berjalan dengan tenang dibelakangnya. "Oh, temen kamu?" tanya Tasya ketika melihatku.
"Bukan," jawab Yasmin. "Temen kita." Lanjutnya.
Aku menarik nafas. Aku menyelipkan rambutku dibelakang kedua telingaku. Lalu aku menurunkan buku menu sambil tersenyum. "Hai." Sapaku.
Tasya nampak terkejut bukan main, sama halnya dengan Radit yang baru saja tiba. Nggak kuat! Mau pulang! Tasya buru-buru tersenyum, wajahnya terlihat bingung dengan senyum paksaan yang menghiasinya. "A.. Wah... Chaca?"
Aku tersenyum. "Kebetulan, yah?"
Aku melirik Radit. Dia hanya terpaku diam. "Ka, kamu.." Tasya melirik ke arah Yasmin dengan bingung, lalu kembali menatapku. "Kamu disini! Aku kangen bangeet!" ujarnya lalu menghambur ke arahku dan memelukku. Aku bisa mencium bau parfum mobil Radit. Dia melepaskan pelukannya. "Kenapa nggak bilang?"
"Kebetulan ketemu aja." Jawabku. Aku menatap Radit. "Kamu nggak telfon aku?" tanyaku padanya.
Radit nampak panik. "Ya, iya, aku, tadi... sibuk."
"Rapat OSIS, ya?" tanyaku.
Radit melirik Tasya. Lalu ia mengangguk-angguk. "Iya.."
"Jauh yah, di Bandung. Padahal cuma rapat dadakan." Kataku sambil tersenyum. Tasya dan Radit hanya mematung sementara Yasmin menutup matanya sambil komat-kamit.
"Ah, kamu bicara apa?" Tasya tertawa, ia menarik kursi lalu dari meja lain lalu duduk disebelahku. "Kamu udah makan? Mau makan lagi? Radit kamu traktir, dong! Chaca udah disini nih, eh, tunggu! Yasmin, keluar, yuk? Nanti kita jadi nyamuk, hihihi." Ujarnya.
Tasya, kamu itu lebih menyedihkan dari pada Cinderella. Yasmin nampaknya sudah panas. Dia bangkit dari duduknya, mengejutkan kami bertiga. "Lo semua bego, ya?!" bentaknya. "Lo berdua pikir Chaca nggak punya otak? Jujur aja udah! Kalian nggak sadar kalau bau busuk dari hati kalian itu udah kecium sampe keluar, hah?!" bentaknya, ia lalu bergegas pergi. Meninggalkan kami bertiga.
Tasya terdiam. Raut wajahnya gelisah. Aku menghela nafas. "Berkat kalian, sekarang aku udah nggak bisa bedain mana sampah mana manusia. Berkat kalian, aku bisa liat muka-muka orang bermuka dua. Aku bisa aja ngatain kalian kata-kata rendahan semacam anjing atau yah, berengsek. Tapi bahkan anjing atau kata berengsek itu jauh lebih tinggi dari tempat kalian sekarang."
Radit hanya terdiam, Tasya juga. "Tasya," panggilku. Aku sempat terkejut karena nada bicaraku sangat tenang. Tasya menoleh, raut wajahnya ketakutan. "Anggep aja kita nggak pernah kenal, selamat tidur nyenyak." Kataku. Aku berdiri. Oh, aku melupakan orang ini. "Oh, ya, Radit. Kamu itu cowok paling hebat yang pernah aku temuin," sindirku. "Kamu juga nanti malem tidur yang nyenyak, yah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong To Me
Novela JuvenilDia adalah laki-laki yang selalu membuatku kehilangan kata-kata, laki-laki yang selalu membuatku lupa dimana seharusnya aku berada, laki-laki yang selalu membuatku lupa aku hanya gadis biasa. Tuhan, hidupku tidak mudah, hidupku tidak selalu menyenan...