Dengan lincah jari-jemariku ini memainkan mouse sensor di laptopku. Dengan serius, aku me- scroll timeline media sosial milik seorang pria tampan yang selama tiga bulan ini menetap dihatiku. Ya, pria itu pria yang tiga bulan lalu pinsan di tengah lapangan basket, pria itu pria yang ku tolong, pria itu pria yang membuatku habis nafas karena menggotong tubuhnya yang berat. Hm, aku selalu ingin tertawa lucu jika mengingat itu semua. Kejadian itu berlalu begitu cepat, kalau saja aku peri ajaib, rasanya ingin ku ulangi lagi kejadian itu. Sungguh, pria itu sangat membuatku gila selama tiga bulan ini. Benar, pria itu...Justin Bieber.
Tanpa aku sadari, bibirku ini tersungging ketika melihat foto yang menunjukan wajah tampan milik Justin. Matanya, hidungnya, bibirnya, semua terlihat indah. Sekali lagi aku tersenyum membaca caption yang terdapat pada foto itu.
Yang merasa lebih ganteng dari gue coba retweet.
Aku menggelengkan kepala. Aku men- scroll ke bawah lagi meninggalkan foto tersebut. Jari ku berhenti menari diatas mouse ketika aku terpaku pada sebuah tweet yang dibuatnya sekitar tiga hari yang lalu.
Gue mungkin telat. Kayaknya dia akan jadi milik orang lain sebentar lagi.
Tidak biasanya Justin membuat tweet tentang perasaannya seperti ini. Biasanya dia hanya membuat tweet-tweet konyol yang dengan mudah membuatku tertawa geli. Tapi kira-kira tweet ini dia tujukan untuk siapa ya? Tiba-tiba saja senyumanku ini pudar ditimpa kesedihan. Apa Justin sedang menyukai seseorang? Lalu, bagaimana dengan perasaanku yang sudah tumbuh tiga bulan belakangan ini?
Dering handphone membuatku tersadar dari pikiran-pikiranku yang entah sudah berfikir kemana-mana.
Aku melirik handphone sambil berdecak. Nomor tidak dikenal. Malas sekali aku untuk mengangkatnya. Aku membiarkan handphone-ku berteriak-teriak menyuruhku mengangkat telepon. Sungguh aku sedang tidak mood untuk bicara. Mungkinkah ini karena tweet Justin yang tadi? Ah, kenapa semua selalu berhubungan dengan Justin. Apapun yang aku lakukan selalu aku kaitkan dengan Justin.
Handphone-ku tak kunjung diam, dia terus berteriak dan sungguh itu membuat telingaku ingin pecah. Dengan terpaksa, aku mengangkat panggilan dari nomor tak di kenal itu.
"Halo, ini siapa?" sapaku dengan malas.
"Hai Ariana, ini gue, Justin."
Deg! Tiba-tiba saja aku membeku, "S-siapa? Coba ulangi" kataku gugup sekaligus memastikan bahwa aku tidak memiliki masalah pendengaran.
"Gue Justin. J-U-S-T-I-N."
Benar! Aku tidak salah dengar. Tapi apakah ini nyata? Baru saja aku dibuat turun mood oleh pria itu, dan sekarang? Dia menelponku. Ini nyata? I can't believe. Betapa menggembirakannya ini. Sepertinya hari ini harus aku lingkari didalam kalender sebagai hari bersejarah dalam hidupku. Mmm. Apa aku berlebihan? Ah sudahlah yang pasti aku senang hari ini.
"Halo. Ariana? Lo masih disana, kan?"
Suara lembut Justin membuatku tersadar dari lamunanku. "M-m. Ya, ada apa?"
"Ini lho gue mau ngomongin masalah basket sama jurnalistik. Yang gue pernah bilang sama lo."
Lagi-lagi aku terlalu percaya diri. Sadar Ariana, Justin itu nggak akan nelpon kalau urusan itu nggak penting. Please, nggak usah kepedean!
"Ri.."
Aku menghela nafas. "Oh, itu. Mm. Iya gue inget."
"Hari ini lo lagi sibuk nggak?"
Aku memutar bola mataku. "Nggak sih."
"Kalau gitu, kita omongin ini di cafe aja gimana? Kalau di telepon kan nggak enak."
Justin ngajak aku ke cafe bareng dia? Oh my God. Apa lagi ini. Ini semua bikin aku bahagia banget. Iyaaaaa, walaupun aku tahu sih ini karena dia mau ngomongin masalah ekskul, tapi nggak apa-apa, yang pasti aku anggap aja hari ini aku hangout bareng Justin.
"Ri..."
"Eh i-iya?"
"Lo kenapa sih dari tadi diem mulu, lo lagi sakit?"
Aku menggeleng, ya aku tahu Justin tak bisa melihat gelengan kepalaku. Jadi aku sambung dengan jawabanku, "Ng-nggak kok, Kak."
"Gue kan udah bilang nggak usah panggil gue kakak."
Aku menepuk jidatku. Kenapa tadi aku manggil dia 'Kak? Stupid. Bikin suasana jadi kaku aja. Aku mengutuk diriku sendiri.
"Tuh kan, lo diem lagi."
Aku tertawa kecil, "S-sorry,"
"Yaudah, jadi gimana bisa ke cafe nggak?"
"Bisa." jawabku antusias.
"Wih semangat banget..."
Damn. Tuh kan, Ariana emang stupid. Kan ketahuan banget kalau aku senang nggak ketulungan dia ajak ketemu di cafe. Stupid stupid stupid!
"Y-ya harus semangat, kan buat urusan jurnalistik itu harus semangat." kataku beralibi sambil diselingi ketawa garingku.
"Ck, salut deh sama koordinator jurnalistik yang satu ini. Udah cantik, semangat, baik lagi."
Aku seketika terpaku. Justin tadi bilang aku cantik? Yang benar saja. Justin memang pandai membuatku melayang tinggi tanpa sayap. Fucking love.
"Apaan sih lo, Just. Bisa aja."
Terdengar tawa kecil Justin dari handphoneku yang membuatku semakin tenggelam di dunia cinta.
"Kita ketemu jam berapa?" tanyaku yang sengaja membalikan percakapan ini kembali ke topik utama.
"Satu jam lagi, ya.."
"Ok."
"Lo mau gue jemput nggak?"
Aku tersenyum, "Emangnya lo tahu rumah gue dimana?"
"Nggak sih," kata Justin sambil tertawa, membuatku ingin ikut tertawa bersamanya.
"Dasar!"
"Lo kirimin aja alamat lo, nanti gue jemput."
"Nggak usah repot-repot. Kita ketemu di cafe aja, ya.."
"Yakin nggak mau di jemput?"
Mau banget Just sebenarnya, tapi aku harus tetap terlihat biasa saja. Jangan terlalu menunjukkan kalau aku menyukainya. Ralat...mencintainya. "Yakin."
"Ok, kalau gitu sampai ketemu, bye.."
"Bye."
Tut..tut..
Sambungan terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING [Jariana]
FanfictionTerkadang, rasa cinta kita terhadap seseorang dapat dengan mudah menutup rasa cinta orang lain terhadap kita.