"Iya nih, padahal baru ketemu, eh udah kangen aja sama lo."
Ujar Justin via telepon. Justin semakin kesini semakin sering saja menggodaku, malah sekarang ia sangat care padaku. Bahkan ya, bisa dibilang kita itu sudah seperti orang yang pacaran, namun belum ada status saja.
"Alay banget sumpah!" kataku sambil cekikikan.
Justin ikut tertawa dari ujung sana. "Lo lagi ngapain? Pasti lagi mikirin gue ya..."
"Pede banget sih, yang ada tuh lo kali yang lagi mikirin gue." kataku.
"Emang iya!"
Aku menahan senyum, "Nyebelin banget sih..."
"Kenapa? Gue nggak boleh mikirin lo?"
Aku berdehem, "Bukan, tapi lo nyebelin sih ngegodain gue terus!"
Justin tertawa lagi dari ujung sana, setiap tawa yang keluar dari mulut Justin membuatku merasa sangat bahagia. Entah kenapa.
"Gue tuh bukan ngegodain tau, gue cuma jujur aja."
Aku mengerutkan dahi, "Jujur apanya?"
"Iya, jujur kalau gue kangen lo, jujur kalau gue lagi mikirin lo."
Aku tersenyum sendiri. Justin, dia pandai sekali membuat aku seperti orang gila.
"Kok diem? Pasti lagi senyum-senyum sendiri ya..."
Menyebalkan, Justin selalu seenaknya saja menebak-nebak. Ya, walaupun tebakannya itu selalu tepat sasaran!
"Nyebelin!"
"Nyebelin tapi ngangenin, kan?"
"Ih, lo pede banget sih, dasar Kapil! Wlee.."
"Ah, Jutik mah nggak mau jujur nih..."
Tok..tok.. Seseorang mengetuk pintu kamarku.
"Ariana..." panggil Mami-ku.
"Justin, udah dulu ya, gue di panggil Mami nih." kataku pada Justin, setengah berbisik.
"Ok, bye darling!"
Aku tersenyum lagi dibuatnya, "Rese lo! Yaudah ya, bye." aku memutuskan sambungan telepon.
Aku segera membuka pintu kamar.
"Ada apa, Mi?"
"Itu diluar ada teman kamu."
Aku mengerutkan dahi, "Siapa?"
"Mami juga nggak tahu namanya, lupa, mendingan kamu temui dulu aja."
Aku berdehem, "Yaudah deh aku temui dulu. Makasih ya, Mi."
Aku berjalan keluar rumah. Dan betapa mengejutkannya ketika aku melihat yang berada didepan rumahku adalah...Ricky! Untuk apa lagi dia kesini?
"Hai, Ri.." sapanya dengan senyuman.
Aku memutar bola mata malas, "Lo ngapain lagi sih kesini, kan gue udah bilang, jangan ganggu gue lagi. Ngerti nggak sih!"
Ricky tersenyum, "Gue kesini bukan buat ganggu lo kok..."
Aku berdecak malas.
"Yang gue liat, lo sama Justin makin deket ya, semoga lo bisa sama Justin. Yang gue liat Justin orang yang baik." kata Ricky.
Aku menatapnya malas, "Bukan urusan lo, udah deh mendingan lo balik."
"Gue akan balik kok, tapi setelah gue ngomong semuanya sama lo." kata Ricky.
"Apa lagi sih?"
"Gue...mau minta maaf sama lo, maaf kalau selama ini gue selalu ganggu lo. Maaf, kalau selama ini gue cuma bisa jadi penghalang kebahagiaan lo."
Aku masih terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Lo tenang aja, habis ini gue nggak akan ganggu lo lagi, gue nggak akan ganggu lo sama Justin lagi. Tapi, lo harus tau, gue seneng banget bisa kenal sama lo, gue seneng bisa kenal sama orang sebaik lo, walaupun sekarang lo benci banget sama gue."
Aku masih diam, rasanya Ricky tulus sekali berbicara seperti itu.
"Gue...." Ricky menggantung ucapannya, "Gue sayang sama lo, Ri. Lo cinta gue."
Deg! Ricky....mencintaiku. Aku kira, dia hanya sekedar naksir saja denganku. Sejak dulu, walaupun dia selalu mendekatiku, tapi tidak sekalipun dia menyatakan perasaannya kepadaku.
Ricky tertawa kecil, "Gue tau ini konyol, gue bilang cinta sama lo disaat lo lagi benci-bencinya sama gue. Tapi ini emang udah waktunya gue buat ngomong. Gue tau kok, Ri. Cinta lo cuma buat Justin. Dan gue nggak akan maksa lo buat bales perasaan gue. Lo itu orang yang bisa bikin gue tersenyum. Dari SMP, gue udah mengagumi lo, tapi gue nggak pernah berani buat nyatainnya karena gue tau lo nggak akan nerima gue."
Oh my God. Aku nggak tahu perasaan Ricky sedalam itu padaku.
"Yaudah deh, gue pergi ya,"
Ricky pun pergi dengan motornya. Dan aku memasuki kamarku.
Ricky, mencintaiku?
Ya ampun, aku merasa bersalah sekali padanya, aku sudah terlalu kasar padanya. Padahal dia baik sekali padaku. Aku tidak pernah memikirkan perasaan Ricky. Aku mengabaikannya, padahal aku tau, diabaikan oleh orang yang disayang itu sakit. Aku merasa menjadi orang paling jahat didunia ini. Padahal sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah Ricky, Ricky tak pernah membuat salah padaku. Kenapa aku malah memojokkan Ricky. Aku bodoh! aku harus meminta maaf kepada Ricky.
Baru saja aku ingin menelpon Ricky, ternyata Ricky sudah menelponku duluan. Aku dengan segera mengangkatnya.
"Halo, Ricky?"
"Maaf, ini bukan Ricky."
Aku mengerutkan dahi. "Lho? Ini siapa?"
"Lo pacarnya, kan?"
"Pacar?"
"Iya, nama lo di kontak Ricky lovely, berarti lo pacarnya kan?"
Lovely? Ricky sepertinya benar-benar mencintaiku, tapi kenapa perasaanku jadi nggak enak gini ya.
"Terus Ricky-nya kemana?"
"Ricky jatoh dari motor."
Aku langsung terbelalak. "Jatoh dari motor, kok bisa?"
"Iya, dia tadi ikut balap motor."
Ya ampun, Ricky! Air mataku mengalir begitu saja, aku baru menyadari, aku menyayangi Ricky walaupun hanya sebagai seorang sahabat. Aku nggak bisa kehilangan orang yang aku sayang.
"T-terus, Ricky sekarang dimana?" tanyaku sambil sesegukan.
"Ricky sekarang di Burgham Hospital, ruang ICU."
"Yaudah, gue kesana sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING [Jariana]
FanficTerkadang, rasa cinta kita terhadap seseorang dapat dengan mudah menutup rasa cinta orang lain terhadap kita.