Aku berjalan di koridor sekolah. Entah, aku juga tidak tahu hendak kemana. Aku tidak mempunyai tujuan. Mataku langsung tertuju pada seorang pria yang berada tepat satu meter dihadapanku. Ya, Justin. Sekarang aku mempunyai tujuan! Wajahku langsung sumeringah ketika melihatnya yang tampan. Aku berjalan menghampirinya.
"Hai, Justin Kapil..." sapaku dengan senyum termanisku.
Justin hanya melirikku sebentar, lalu matanya kembali menatap teman-temannya yang sedang bermain basket.
"Lo nggak ikut main?"
Justin melirikku, sebentar. "Kan lo liat sendiri gue main atau nggak. Ngapain masih ditanya."
Aku menelan ludah. Justin benar-benar jutek sekali padaku. "Justin, lo marah ya sama gue?" tanyaku to the point. Habisnya, aku tidak tahu lagi harus basa-basi apa dengannya.
Justin berdecak, lalu ia menggeleng.
"Tapi...lo ngejauh dari gue!" kataku dengan wajahku yang sudah murung.
Justin tertawa kecil tanpa melihat kearahku, "Perasaan lo aja kali."
"Nggak. Lo emang ngejauh dari gue Just."
Sepertinya Justin mengabaikan keberadaanku.
"Justin, gue lagi ngomong sama lo. Liat gue dong!" pintaku pada Justin.
Namun Justin tetap menghiraukanku. Ia malah asik memperhatikan teman-temannya. "Shoot, Ji!" teriak Justin pada salah satu temannya yang sedang bermain basket.
Aku benar-benar tak dianggap olehnya! "Liat gue, Justin!" aku menarik wajah Justin agar menghadap kearahku, berhasil juga aku membuatnya melihatku. "Lo marah sama gue, Just?"
Dia hanya menggeleng tanpa ekspresi.
"Apa lo marah karena malam itu lo liat gue sama...Ricky?" tanyaku frontal.
Justin tertawa kecil, lalu ia kembali memperhatikan kawan-kawannya. Arght, rasanya ingin ku culik kawan-kawannya agar pandangan Justin tetap padaku.
Aku menarik kepala Justin lagi agar dia melihat wajahku, "Justin...lo jangan salah faham, lo harus dengerin gue, gue...gue cuma temenan sama dia. Gue sama dia nggak ada hubungan apa-apa. Dia emang sering deketin gue, tapi...gue nggak suka sama dia, Just." jelasku.
Justin tersenyum tipis. "Lo nggak perlu jelasin itu semua sama gue. Kita kan cuma teman." kata Justin, lalu ia berjalan pergi.
Nyes! Sakit sekali rasanya ketika Justin bilang kita kan cuma teman.
"Justin..." teriakku.
"Justin!!!"
"Just..."
Plak! Sebuah bola basket berhasil mendarat di kepalaku. Saat itu pula, aku tak sadarkan diri.
***
Aku membuka mataku, dan aku melihat diriku sedang berada diruangan yang berwarna putih, dan ruangan ini tak asing bagiku, ya, ini UKS sekolah, tempat dimana aku jatuh hati pada Justin.
Aku menoleh kearah kanan, dan terdapat seorang pria yang duduk tepat disamping ranjangku, aku langsung tersenyum dan mengubah posisiku menjadi duduk. Tiba-tiba saja aku merasakan sakit dikepalaku, aku memegangi kepalaku. Oh ya, aku baru ingat, aku baru saja tertimpa bola basket. Hmm, tepat seperti Justin dahulu.
"Lo nggak apa-apa?" tanyanya.
Aku tersenyum, "Justin, lo nolongin gue?"
"Ya, masa gue liat orang pinsan nggak ditolongin. Kan dulu lo juga nolongin gue..." kata Justin.
Aku tersenyum, "Just, lo jangan marah lagi ya sama gue. Lo jangan ngejauhin gue lagi." kataku memelas.
Justin hanya diam, dia hanya menatap mataku yang sedang sayu. Tapi beberapa detik kemudian dia tertawa. Oh my God! Aku benar-benar merindukan tawa indahnya, dan sekarang ia memberikannya lagi padaku. Aku benar-benar sangat bahagia sekali. I miss you so much, Justin!
"Ariana, lo lucu banget sih, muka lo nggak usah dimelas-melasin gitu napa." kata Justin sambil terus tertawa.
Aku ikut tertawa, "Habisnya gue sedih beneran tau."
Justin menghentikan tawanya, kali ini digantikan dengan senyuman hangatnya, ya, aku sudah cukup lama tak melihat senyuman ini. I like your smile and all about you, Justin!
Ia menatapku dengan hangat sambil menggenggam kedua tanganku, aku pun balik menatapnya. Deg! Deg! Deg! Tiba-tiba saja tempo degupan jantungku menjadi dua kali lebih cepat. Rasanya seperti ingin copot. Aku tersenyum (lagi) padanya.
"Gue nggak akan jauhin lo lagi, Jutik.." ujar Justin.
Jutik. Akhirnya kata itu keluar lagi dari bibir indahnya. Aku menyukai panggilan itu, walaupun agak sedikit aneh.
Aku tersenyum, "Beneran?"
"Iya, gue janji!" kata Justin mantap. Jujur, aku sangat senang mendengarnya. I love you so much, Justin.
"Makasih ya, Kapil." kataku sambil tertawa kecil.
Justin menatapku jahil, "Lo nggak mau ya kehilangan gue?" goda Justin.
Aku tertangkap basah, Justin benar. Aku memang tidak mau kehilangannya. "Ih, nyebelin!" kataku sambil menahan senyumku.
"Btw, sakit nggak kena bola basket?" tanya Justin sambil memegang lukaku.
Aku langsung meringis sakit, "Udah tau sakit, malah dipegang." kataku sambil memukul Justin pelan.
Justin tertawa.
"Tapi nggak apa-apa deh, yang penting bisa balikin lo kayak dulu." kataku frontal, aku sudah tidak perduli jikapun Justin akan tahu bahwa aku menyukainya, toh, disembunyikan seperti apapun juga nantinya cepat atau lambat akan ketahuan, apalagi orangnya seperti Justin. Tahu saja perasaan orang.
Justin menatapku jahil, "Ciye..." aku hanya menahan senyumku. "Btw, dulu gue pinsan lo yang bawa gue kesini, sekarang lo pinsan gue yang bawa lo kesini. Udah gitu, sebabnya sama lagi, sama-sama kena bola basket. Apa jangan-jangan...kita jodoh?" ledek Justin.
Aku menatapnya geli, "Apaan sih, Justin!"
Justin tertawa terbahak-bahak.
"Tapi ya, lo itu konyol tau nggak, main sendiri eh basketnya kena sendiri. Dasar konyol!" kataku sambil tertawa.
"Nggak usah dibahas kali." kata Justin, sepertinya dia malu. Aku semakin tertawa terbahak-bahak.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING [Jariana]
FanficTerkadang, rasa cinta kita terhadap seseorang dapat dengan mudah menutup rasa cinta orang lain terhadap kita.