Chapter 4

1K 121 0
                                        

Bel pulang sekolah telah berbunyi. Semua siswa-siswi berhamburan keluar kelas. Begitupun dengan aku.

"Ariana..." panggil seseorang dari belakang. Aku menoleh. Ternyata itu Ricky. Dia dengan cepat menghampiriku. "Mau balik? Bareng gue yuk?"

Aku berdehem, "Sorry, Ky. Gue masih ada urusan, gue mungkin baliknya nanti sore."

"Urusan apa?"

"Jurnalistik."

Ricky membulatkan mulutnya tanda paham.

"Lo duluan aja, nggak apa-apa." kataku.

"Yaudah deh, kalau gitu, gue duluan ya. Bye."

Aku tersenyum lalu Ricky pun menghilang dari hadapanku.

***

Aku berdiri di samping lapangan basket. Justin melihat ke arahku sambil melambaikan tangannya, akupun balik melambaikan tanganku sambil tersenyum. Lalu, Justin menghampiriku.

"Hei," sapa Justin.

Aku tersenyum.

"Lo sendiri?" tanya Justin, akupun mengangguk. "Berarti yang liput basket elo?" tanya Justin antusias.

Aku mengangguk, "Sebagian anak jurnalis ikut tour ekskul pramuka, dan sebagiannya lagi ikut anak KIR buat liput olimpiade. Jadi, terpaksa gue yang liput basket, soalnya cuma gue yang nganggur."

"Yakin terpaksa?" goda Justin.

Aku berdecak, "Udah ah, sana lo latihan."

Justin tersenyum sambil berlari kembali ke lapangan.

***

Tiga hari berturut-turut aku bersama Justin, menemaninya berlatih basket untuk turnamen. Ralat...maksudku aku meliput dia berlatih basket. Hehe. Dan ini adalah hari terakhirnya latihan basket, karena besok adalah hari H-nya.

Justin menghampiriku yang tengah duduk di kursi panjang yang sengaja di buat agar pemain basket dapat beristirahat. Ia baru saja selesai berlatih. Aku memberikannya sebotol air mineral, dengan sigap dia mengambilnya lalu meminumnya sampai terdengar glek-glek dari tenggorokannya, mungkin ia sangat haus dan lelah.

Ia duduk disampingku sambil mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Aku kasihan melihatnya bergenang keringat seperti itu. "Capek banget ya, sampai keringatnya banyak banget." kataku sambil membantunya mengelap keringat diwajahnya.

Aku terhenti ketika merasa janggal, benar saja Justin menatapiku sambil tersenyum-senyum. Dan disitulah, mataku bertemu dengan matanya, dan rasanya...aku seperti tenggelam di dalam lautan cintanya. Aku tersadar lalu buru-buru memalingkan wajahku yang bersemu dari wajahnya.

"Kok berhenti sih?" goda Justin.

Aku memberikan handuk kecilnya kepada Justin. "Nih lap aja sendiri, lo kan punya tangan."

Justin meraih handuk kecil dari tanganku sambil tertawa jahil. Pasti ia menertawai wajahku yang merah padam, menyebalkan.

"Menurut lo, besok gue bakal kalah atau menang?" tanya Justin.

Aku memutar bola mataku. "Kalah. Biar gue nggak usah ribet-ribet bikin artikel."

"Dih, gitu ya lo..."

Aku tertawa, "Bercanda kali,"

"Cieee mau bercanda sama gue nih ceritanya..." lagi-lagi Justin menggodaku.

"Au ah."

"Kalau gue menang lo mau ngasih apa?" tanya Justin.

Aku mengerutkan dahi, "Maksud lo?" tanyaku tak mengerti dengan apa yang Justin bicarakan.

"Iya, lo mau ngasih apa sama gue kalau gue menang? Gift atau apa gitu?"

Aku menatap Justin heran, "Kenapa jadi gue yang ngasih lo hadiah? Kan nih ya, kalau lo ikut turnamen, dan nanti lo menang, lo bakal dapat hadiah kok dari panitianya, piala mungkin. Jadi lo tenang aja..."

Justin menggeleng, "Beda."

"Apanya yang beda?"

"Iya itukan pasti buat sekolah pialanya, gue mau nya dari lo..." kata Justin sambil merayuku, "Biar gue makin semangat nih besok tandingnya..."

Aku berdehem, "Ok, if you be a winner tomorrow, i will give you a gift."

"Are you seriously?" kata Justin dengan berbinar-binar. Akupun mengangguk. "Promise?" tanya Justin sambil menawarkan jari kelingkingnya padaku.

Aku menatapnya sambil tersenyum. "Promise!" kataku sambil mengaitkan jari kelingkingku pada jari kelingking Justin. Dan ketika itu pula Justin memberikan senyumannya padaku.

"Yeay, gue semangat banget kalau gini mah." kata Justin girang. Dan itu, membuatku bahagia. Sangat.

"Eits, tapi ada satu syarat!" kataku menghentikan kegirangannya.

"Syarat?" tanya Justin.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

"What?"

Aku tersenyum miring. "Kalau lo menang...." aku menggantungkan ucapanku.

"Kalau gue menang kenapa?"

"Lo..." jadi pacar gue, lanjut batinku. Justin masih menunggu kelanjutan ucapanku. "Traktir gue makan!" kataku akhirnya.

"Traktir makan?"

Aku mengangguk, "Keberatan?"

"Yaelah, makan doang. Selaw aja kali."

"Deal?" aku menawarkan tanganku.

Justin menjabat tanganku dengan mantap. "Deal!"

Aku dan Justin saling bertatapan sambil tersenyum. Sungguh, anak ini menyenangkan, bukannya membuatku hilang rasa padanya, dia malah membuatku semakin mencintainya. Kau menyebalkan, Justin.

Aku melepaskan tanganku yang sedaritadi belum Justin lepaskan. "Lama banget deal nya." ledekku.

Justin tertawa kecil, "Biar makin mantep!" kata Justin.

"Yaudah ah, gue mau balik." aku menggendong tasku untuk bersiap pulang.

Justin pun melakukan hal yang sama sepertiku. Menggendong tasnya. "Yaudah yuk, gue anter."

Aku mengangguk setuju.

***

Justin menghentikan mobilnya didepan rumahku.

"Yaudah, gue duluan ya, Justin." kataku.

"Ok,"

"Thanks ya udah dianterin."

Justin melempar senyumannya kepadaku. Manis. Aku membuka pintu mobil, lalu aku menoleh lagi ke arah Justin.

"Kenapa?" tanya Justin.

Aku tersenyum, "Semangat ya besok."

"Thanks Jutik." kata Justin.

Aku mengerutkan dahiku, "Jutik? Apaan tuh?"

"Jurnalis cantik." kata Justin dengan senyumannya yang mampu meluluhkan para kaum hawa.

Aku tersipu malu. Menahan senyum. "Dasar Kapil!"

"Apaan tuh?"

"Kapten centil!" kataku sambil menjulurkan lidah lalu keluar dari mobilnya.

Aku sudah berada didepan gerbang, "Yaudah sana pulang, Kapil!"

"Ko ngusir sih..."

"Bodo." kataku sambil menjulurkan lidah.

"Yaudah, gue balik ya, eh, Jutik. Jangan kangen lo ya..." kata Justin.

"Males banget iw."

Justin tertawa lalu meluncurkan mobilnya.

FEELING [Jariana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang