Jangan lupa ya bantu vote:-)
.
.
.
.
.Berawal pada siang itu. Disaat sekolah sudah mulai sepi tak berpenghuni. Aku yang baru saja selesai mengerjakan laporan jurnalistik tidak sengaja melihat dia. Pria berseragam sama sepertiku, berparas tampan, dengan asiknya dia memainkan bola basket. Men-dribble bola kesana kemari dan...hap! Sekali lagi bola basket dengan mudahnya masuk ke dalam ring. Namanya Justin, ya, lebih lengkapnya Justin Bieber. Siapa yang tidak tahu dia, anak kelas dua belas kapten basket sekolahku. Tentu saja dia seniorku. Aku baru saja kelas sebelas. Kemampuannya dalam memainkan basket tidak perlu diragukan lagi.
DUG!
Terdengar suara benturan yang agak keras. Seketika saja Justin sudah tergeletak tak sadarkan diri di tengah lapangan. Sebuah bola basket baru saja berhasil mendarat di kepalanya, aku tidak terlalu paham bagaimana kejadiannya karena aku tidak terlalu memperhatikan.
Good! Sekarang apa yang harus aku lakukan? Aku mengarahkan pandanganku ke seluruh sudut sekolah, tidak ada siapapun. Hanya aku? Lalu aku harus menolongnya? Tapi, aku tidak mengenalnya. Atau aku pulang saja? Ah! Bagaimana aku ini tega sekali membiarkan orang pinsan di tengah terik matahari yang panas ini. Lagi pula, menolong tidak perlu pilih-pilih kan? Kenal atau tidak harus ditolong.
Ok, akupun menghampiri Justin yang masih saja belum sadar. Aku membungkuk, dahiku berkerut, sungguh aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Tunggu! Bagaimana kalau dia mati? Aku bisa di tuduh sebagai pembunuhnya. Ah, apa lebih baik aku pulang saja ya?
Aku menelan ludah, aku putuskan untuk mengeceknya terlebih dahulu. Aku mencari denyut nadinya ditangannya. Akhirnya kepanikanku hilang setelah aku menemukan denyut nadinya. Dia masih hidup. Syukurlah, kalau dia meninggal kan kasihan para penggemarnya yang kebanyakan adik kelas.
Aku menampar-nampar pelan pipinya, "Bangun!"
Terik matahari yang sangat menyorot membuatku tak tahan berada di lapangan itu. Tapi bagaimana caraku membawanya ke ruang UKS? Huft, terpaksa aku harus merangkulnya.
***
Brug! Aku menjatuhkan tubuh Justin ke atas kasur ruang UKS.
"Huft," helaku. Sungguh, Justin sangat berat sekali.
Aku membenarkan posisi kaki Justin. Lalu, aku melihat dahi Justin yang memar, itu pasti karena benturan bola basket yang sangat keras.
Aku mencari obat-obatan untuk mengobati luka Justin di kotak obat. Aku meneteskan obat merah ke kapas dan memberikannya pada luka Justin dengan perlahan. Aku menutup lukanya dengan kasa dan plaster.
Tanpa sengaja, aku memperhatikan setiap lekukan di wajah Justin. Sungguh semuanya tersusun indah. Sungguh, dia memang mengagumkan, pantas saja banyak adik kelas yang mengaguminya. Dan aku rasa...aku mulai mengaguminya. Tiba-tiba saja mata Justin seperti berkedip. Aku tersadar dan dengan segera memalingkan pandanganku dari wajahnya.
Justin membuka matanya perlahan. Entah mengapa aku menjadi tegang. Ya, aku baru kali ini berhadapan dengannya. Sebelumnya aku tidak pernah mengenalnya dekat seperti ini.
"Gue dimana?" tanya Justin.
"Oh, lo di...UKS Kak. Tadi lo pinsan di lapangan."
Dia mengernyitkan dahinya, sepertinya ia mengingat-ingat kejadian ketika dia pinsan. "Oh, iya. Lo yang bawa gue kesini?"
Aku mengangguk pelan.
"Serius? Emangnya lo kuat?" tanya Justin.
"Mau gimana lagi, nggak ada orang disitu selain gue, jadi ya, gue bantuin lo walaupun sejujurnya lo berat banget." kataku tanpa menyaring kata-kataku terlebih dahulu. "Eh, sorry Kak, nggak maksud buat ngehina lo." kataku merasa bersalah.
Justin tertawa kecil, "Selaw aja kali. Btw, thanks for helping me."
"Sama-sama." kataku sambil tersenyum tipis.
"Nama lo siapa?"
"Ariana, Kak."
"Ariana Grande? Koordinator ekskul jurnalistik, kan?" tanya Justin. Tanpa aku sangka dia tahu aku.
"Iya, Kak. Kok tahu?"
"Iya gue sering liat lo aja di buletin sekolah. Hehe."
Aku tersenyum, "Ya ampun, gue jadi malu."
"Selaw aja, kenalin nama gue..."
"Justin Bieber." kataku memotong ucapan Justin.
Justin nyengir kuda, "Lo tahu?"
"Yaiyalah, siapa yang nggak kenal sama lo, kapten basket yang jago banget."
"Masa sih? Jadi malu..." kata Justin sok imut. Aku hanya tertawa saja melihat tingkah Justin yang mengocok perut. "Btw, nggak usah panggil gue Kak, panggil Justin aja."
Aku berdehem, "Ok.."
Justin memegang luka di dahinya yang telah ku tutupi dengan plaster tadi. "Ini siapa yang ngobatin?"
"Gue..." kataku takut-takut. "Sorry ya lancang, abisan gue takut luka lo keburu parah."
Justin tersenyum manis, sungguh itu membuat hatiku meleleh. "Justru gue mau terimakasih."
"Oh, gue kira lo mau marah." kataku nyengir kuda.
Justin menatapku sambil tersenyum. Aku semakin tenggelam dalam kekaguman ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING [Jariana]
FanfictionTerkadang, rasa cinta kita terhadap seseorang dapat dengan mudah menutup rasa cinta orang lain terhadap kita.