Chapter 14

768 87 0
                                    

Bel masuk baru saju berbunyi lima menit yang lalu. Aku dengan segera duduk di bangkuku. Tidak lama kemudian Mr. Roberto datang ke kelas dengan muka garangnya.

"Good morning!" sapa Mr.Roberto

"Morning, Sir!" jawab seluruh murid kelasku, kecuali aku. Aku hanya melamun saja sambil bertopang dagu.

Huft, hari ini rasanya tidak mood sama sekali untuk sekolah. Rasanya, aku hanya ingin tidur di kasur empukku saja. Di sekolah, tidak ada apapun yang membuatku bahagia. Lebih baik aku tidur saja dirumah. Itu lebih indah dibandingkan apapun sepertinya.

"ARIANA GRANDE!" Teriak Mr. Roberto.

Aku dengan segera tersadar dari lamunanku.

"Kamu melamun?" tanyanya

Aku hanya tersenyum nyengir. "M-maaf, Mister!"

"Maju! Kerjakan soal nomor lima!" pinta Mr. Roberto.

Hah? Soal nomor lima? Memangnya Mr. Roberto tadi sudah menjelaskan apa saja? Aku melirik papan tulis, ah ya, papan tulis memang sudah penuh. Damn! Aku tidak tahu apa-apa sekarang, aku tidak sedikitpun mendengarkan penjelasannya tadi.

"ARIANA GRANDE!" Panggil Mr. Roberto dengan nada tinggi.

"I-iya." dengan segera aku maju ke depan kelas.

Aku berdecak sambil memperhatikan soal nomor lima. Aku mengingat-ingat cara yang harus aku jalani untuk mengerjakan soal ini. Soal ini tidak asing, sepertinya aku pernah mengerjai soal semacam ini.

"Ariana, quickly!"

"Nomor berapa, Mister?" tanyaku, sungguh ini hanya untuk mengulur waktuku saja.

Mr. Roberto menggeram, "Kau..."

Aku menyeringai, "I-iya, tenang Mister, i know the number! Dont worry.."

Akhirnya Mr. Roberto menurunkan emosinya lagi, untunglah, dia tidak jadi menerkamku.

Aku memperhatikan soal itu lagi, huft, untunglah aku masih mengingat caranya. Dengan segera, aku mengerjakan soal itu. Dan, yap, kurang dari tiga menit.

"Sudah, Mister." ujarku

Mr. Roberto mengoreksi soal yang ku kerjakan, wajahnya menegangkan. "Ya, benar." kata Mr. Roberto.

Aku langsung menghembuskan nafas lega, hm, untunglah, kalau saja aku tidak bisa mengerjakan soal tadi, mungkin aku akan diberikan hukuman yang lebih berat. Contohnya, membersihkan toilet sekolah yang jumlahnya lebih dari lima belas ruangan. Bayangkan saja bagaimana lelahnya!

"Baiklah, silahkan duduk Ariana."

Aku tersenyum. "Terimakasih Mister!"

"Jangan melamun lagi!"

Aku menyeringai "Iya, Mister!"

***

Akhirnya bel istirahat berbunyi juga. Aku dengan segera membenahi buku-bukuku. Kantin adalah tujuan utamaku sekarang. Baru saja aku hendak pergi namun tak jadi karena Sarah--teman sekelasku--menghampiriku.

"Ayo, Ri.." ajak Sarah.

Aku mengerutkan dahi, "Ayo kemana?" tanyaku heran.

Sarah berdecak, "Ariana, hari ini kan kita meeting jurnalistik!"

Aku menepuk jidatku. Ya, sekarang memang ada meeting jurnalistik, dan Sarah adalah salah satu anak jurnalis. Oh my God, kenapa aku bisa lupa seperti ini? Ck, sepertinya otakku ini sudah rusak. "Oh iya, gue lupa."

"Erh, gimana sih lo." ujar Sarah.

"Yaudah, ayo kita ke ruang jurnalistik."

Aku dan Sarah pun keluar kelas untuk ke ruang jurnalistik.

"Jadi gimana, Ri?" tanya salah satu anak jurnalis. Iya, saat ini aku sedang meeting bersama anak-anak jurnalis. Ya, kita membicarakan topik untuk buletin bulan depan.

Aku mengangkat alis, "Apanya?"

"Ya, gimana lo setuju nggak sama usulan Daniel?" Tanya Nadine.

Aku berdehem, "Emang tadi Daniel ngusulin apa?" tanyaku sambil menyeringai.

Semua anak jurnalis menghembuskan nafas.

"Lo lagi banyak fikiran ya, Ri?" tanya Daniel

"Iya, dari tadi kayaknya lo bengong mulu." kata Sarah.

Aku berdehem, "S-sorry ya teman-teman. Iya, hari ini gue emang lagi banyak fikiran. Jadi gue nggak bisa konsentrasi. Hm, meeting nya kita udahin dulu ya, nanti kita omongin lagi minggu depan. Gapapa kan?"

"Oh yaudah deh kalau gitu." kata Nadine.

"Yaudah, lo mau balik ke kelas nggak, Ri?" tanya Sarah.

"Nanti aja deh, kalian ke kelas duluan aja, gapapa kok." ujarku sambil tersenyum.

"Yaudah kita duluan ya, Ri. Bye." ujar Daniel.

Akhirnya semua anak-anak jurnalistik pun pergi dari ruang jurnalistik. Sekarang, hanya aku disini. Aku duduk sambil bertopang dagu.

Kenapa sih aku hari ini? Fikiranku melayang kemana-mana. Aku nggak bisa konsentrasi untuk melakukan apapun. Sepertinya masalahku ini sudah terlalu mengaturku, aku tidak ingin seperti ini terus.

"Sendirian aja..." celetuk seseorang yang tiba-tiba datang.

Aku menjadi tersadar dari lamunanku, lalu aku menoleh. Ternyata, Justin yang berada disitu. Aku hanya bisa menghembuskan nafas malas.

"Ri, lo kenapa sih akhir-akhir ini berubah banget?" tanya Justin.

Aku hanya diam tak berekspresi.

"Lo kayak ngejauh gitu dari gue..." lanjut Justin.

Kring....bel masuk berbunyi. Yah, thanks God. Akhirnya aku ada alasan untuk pergi dari sini. Aku bangun dari kursiku dan hendak beranjak pergi. Justin menahan lenganku, dengan segera aku menepisnya. Oh ya, aku baru ingat. Aku merogoh sakuku dan mengambil sebuah benda, ya, cincin pemberian Justin. Aku memberikannya kepada Justin, "Nih gue balikin!"

"Tapi, Ri..."

Aku menghiraukan Justin, aku pergi begitu saja.

***

Aku sedang menunggu angkot di tempat biasa, ya, di depan gerbang sekolah. Tiba-tiba Justin berhenti dihadapanku dengan mobilnya.

Ia membuka kaca mobil, "Ri, ayo gue anter pulang."

Aku mengabaikan Justin dan tetap memperhatikan jalanan, ya, melihat angkot yang datang.

Justin menekan klakson mobilnya, aku menjadi melihat ke arahnya, "Ayo, Ri..." kata Justin.

Aku mendengus sebal, kenapa sih lo nggak bantu gue buat lupain lo, Justin! Batinku berteriak dengan kesal.

"Ri..."

Akhirnya angkot yang ku tunggu-tunggu datang juga, akupun langsung masuk kedalam angkot dengan mengabaikan Justin yang terus-terusan memanggil-manggilku.

FEELING [Jariana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang