Chapter 15

904 95 0
                                    

Akhirnya bel pulang sekolah berbunyi juga. Entah, akhir-akhir ini aku selalu ingin bisa pulang lebih awal. Aku juga nggak tahu kenapa, tapi yang pasti, sekolah bukan lagi menjadi tempat yang nyaman bagiku. Terlalu banyak kesedihan yang terukir disekolah ini.

Aku membenahi buku-bukuku.

"Duluan ya, Ri.." kata salah satu teman sekolahku.

"Ok, hati-hati ya!" balasku.

Aku menggendong tasku dibelakang. Aku mulai keluar kelas berjalan menyusuri koridor sekolah.

"Ariana..." panggil seseorang dari belakang.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh. Ternyata Sarah yang memanggilku. Ia berlari kecil menghampiriku.

"Ada apa?" tanyaku, "Bukannya pertemuan jurnalistik lusa ya?" sambungku.

Sarah menggeleng sambil mengatur nafasnya, mungkin ia lelah mengejarku. "Bukan itu..."

Bukan itu? Lalu apa? Biasanya kan aku hanya mengobrol bersama Sarah mengenai urusan jurnalistik. Selain itu, aku tidak pernah membahas apapun dengannya. Karena aku tidak terlalu dekat dengannya. Aku memang tidak pandai memiliki teman dekat alias sahabat dari dulu, entah kenapa. Rasanya susah sekali mencari sahabat yang membuatku nyaman menuangkan perasaan. Ya, walaupun temanku banyak dan mereka semua baik, tapi tetap saja, tidak ada satupun yang membuatku berani mencurahkan isi hatiku. Jadi, selama ini aku hanya menyimpannya sendiri saja.

"Terus, ada apa?" tanyaku.

"Lo ditunggu sama Mrs. Pamela di Lobby." kata Sarah.

Aku mengerutkan dahi, "Mau apa? Kok di Lobby sih? Biasanya diruangannya?" tanyaku.

"Nggak tahu deh, gue kan cuma disuruh manggil lo doang." kata Sarah.

Aku berdehem, "Iya udah deh, makasih ya Sarah."

"Ok, gue balik duluan ya Ariana." kata Sarah lalu pergi.

Mrs. Pamela memanggilku di Lobby? Biasanya kan diruangannya. Ah sudahlah, lebih baik aku hampiri saja dulu.

***

Aku sekarang sudah berada di Lobby sekolah. Untuk apa lagi? Sudah jelas untuk menemui Mrs. Pamela. Tapi....disini sepi, seperti tak berpenghuni, dimana Mrs. Pamela? Atau dia kelamaan menungguku dan dia pergi? Hm, apa lebih baik aku hampiri dia di ruangannya saja ya?

"Hai, Ri..." seseorang menyapaku, suaranya tak asing bagiku. Sungguh, tak asing! Aku sering mendengarnya dulu. Iya, tidak salah lagi.

Aku menoleh, dan...benar tebakanku! Justin yang memanggilku. "Justin? Lo ngapain disini?"

Justin berdehem sambil mendekat, jarak aku dan dia sekarang hanya berkisar tiga jengkal. "Lo lagi nungguin Mrs. Pamela ya?"

"Kok lo tau?" heranku. "Terus sekarang Mrs. Pamela kemana?"

Justin tersenyum, ia menatapku. Tatapannya masih sama, membuatku merasa hangat. "Dari tadi emang nggak ada Mrs. Pamela disini. Cuma ada gue."

Aku mengerutkan dahi, "Maksud lo apa sih?"

"Gue yang nyuruh Sarah buat manggil lo. Tapi gue pake nama Mrs. Pamela biar lo mau nemuin gue. Karena gue tau, lo nggak akan datang kesini kalau lo tau yang manggil lo itu gue. Iya kan?" jelas Justin. Damn! Jadi aku dikerjai?

Aku menggeram, "Jadi lo ngerjain gue? Ah, mendingan gue pulang aja. Buang-buang waktu banget sih!" kataku sambil beranjak pergi.

Justin menahan tanganku, lagi. Kenapa sih, dia selalu menghalangiku untuk pergi darinya?

"Gue butuh penjelasan lo." kata Justin.

Aku terdiam beberapa saat lalu menoleh. "Penjelasan?"

"Iya, kenapa lo ngejauh dari gue sekarang? Gue punya salah sama lo?" tanya Justin.

Justin menatap lekat-lekat mataku, dan itu membuatku kembali menatapnya. Oh my God, aku bertemu lagi dengan mata ini. Mata yang membuatku jatuh cinta setengah mati.

Aku segera tersadar, "Mungkin perasaan lo aja." jawabku.

Justin menggeleng, ia menggenggam kedua tanganku. Jantungku kembali berdetak lebih cepat dari biasanya. "Lo bohong. Gue mohon, lo bilang sama gue, lo kenapa jauhin gue tiba-tiba kayak gini?"

Aku menghela nafas lalu menepis kasar tangan Justin, "Lo mau tau kenapa gue jauhin lo?"

Justin mengangguk. "Kenapa?" Justin kepo setengah mati.

"Karena gue suka sama lo!" akhirnya aku mengatakannya. Aku menghela nafas, aku belum percaya aku bisa mengatakannya. Aku membelakangi Justin dan menangis. "Gue rela-relain jauhin Ricky demi lo. Supaya lo nggak mikir macem-macem tentang gue sama Ricky. Dan...disaat Ricky meninggal, gue baru sadar. Gue itu bodoh banget. Gue ngejauhin orang yang sayang tulus sama gue cuma buat orang yang belum tentu sayang sama gue. Dan disaat itu juga, gue mutusin buat ngejauh dari lo. Karena...gue nggak mau terus-terusan begini, gue takut perasaan gue jatuh terlalu dalam, dan gue pasti bakal sakit hati nantinya kalau liat lo sama cewek lain. Jadi, lebih baik kita jauh aja sekalian biar nggak ada yang tersakiti." jelasku laku berjalan pergi.

"LO SALAH ARIANA!" Teriak Justin, namun aku menghiraukannya, aku tetap lanjut berjalan. "GUE CINTA SAMA LO!" Teriak Justin lagi, kali ini dia berhasil membuatku membeku.

Justin segera menghampiriku dan berdiri dihadapanku, dia menggenggam tanganku lagi. Namun, kali ini aku tidak sanggup untuk menepisnya.

"Lo bilang apa tadi?" tanyaku

"Gue cinta sama lo!" kata Justin sambil menatap mataku.

Aku gelagapan, aku tidak menyangka Justin memiliki perasaan yang sama denganku. "Bukannya...lo bilang kita cuma teman?"

Justin menghela nafasnya, "Ariana Grande si Jutik alias jurnalis cantik! Dengar ya, gue itu bilang gitu karena dulu gue cemburu sama Ricky, dan gue kira kalian itu dekat. Makanya gue bilang begitu. Padahal sebenarnya gue itu sayang banget sama lo." jelas Justin, aku belum bisa berkata apa-apa. Justin mengeluarkan cincin pernah ia berikan padaku. "Dan cincin ini...menurut lo buat apa gue kasih lo cincin couple gini kalau gue nggak sayang sama lo?"

Aku tersenyum, aku tidak pernah menyangka Justin mencintaiku. "Lo...serius?" tanyaku dengan ragu.

Justin mengangguk mantap. "Please, jangan jauhin gue lagi. Ya?"

Akupun tersenyum lalu mengangguk. "Maafin gue, Kapil."

Justin tersenyum, "Satu lagi permintaan gue buat lo, Jutik."

Aku mengerutkan dahi, "Apa?"

"Gue mau lo jadi pacar gue."

Aku menahan senyumku, akhirnya dreams come true. "Gimana?" tanya Justin.

Aku tersenyum malu sambil mengangguk. Justin pun balik tersenyum. "Lo pakai lagi ya cincin ini, sini gue pakein." Justin memasangkan cincin dijari manisku, aku merasa bertunangan dengannya. Hehe. "Jangan di lepas lagi ya.." pinta Justin.

Aku mengangguk. Akhirnya semua masalahku terselesaikan. Aku bahagia, ya, Thanks God, I'm happy!

FEELING [Jariana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang