Aku berjalan menyusuri koridor sekolah. Sepi. Ya, sekolah ini sudah cukup sepi, malah mungkin hanya aku yang berada disini(?) ya mungkin. Aku keluar kelas terakhir karena tadi aku kena hukuman guru untuk menulis rangkuman materi sebanyak sepuluh lembar. Ah! Ya, ini kali pertamanya aku dihukum. Gara-gara aku tidak memperhatikan guru yang sedang menerangi materi, ya, itu bukanlah kebiasaanku, sungguh! Tapi kali ini, aku memang sedang tidak fokus. Fikiranku sedang melayang-layang entah kemana. Yang ada difikiranku hanyalah seorang pria yang mendekam dihatiku selama ini, Justin Bieber. Ya, karena itu aku menjadi tidak fokus. Ah sudahlah, hari ini memang menyebalkan. Hancur sudah mood ku hari ini. Aku ingin segera bertemu kasur dan bantalku, dan tertidur lelap.
"Sendirian aja," celetuk seseorang yang tiba-tiba saja berjalan disampingku.
Aku menoleh. Dan apa yang aku dapatkan? Cowok itu lagi! Cowok menyebalkan. Aku langsung berdecak sambil memutar bola mata malas.
"Lo balik sama siapa?" tanya dia, Ricky.
Aku hanya menelan ludah. Mulutku ini susah sekali terbuka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari dia, aku malas menyebutkan namanya.
"Ri, balik bareng gue aja yuk?"
Kali ini aku meliriknya sebentar lalu kembali menghadap ke depan.
"Ri, lo kenapa sih diam aja? Lagi sariawan ya..." canda Ricky. Haha, sungguh candaan yang garing! Tidak lucu sama sekali, please.
"Haha!" kataku malas.Ricky mengerutkan dahinya, "Lo lagi unmood ya, Ri?"
Yailah, pake ditanya, jelas-jelas yang ancurin mood aku itu dia. Menyebalkan.
"Ri, lo kenapa sih? Cerita dong sama gue."
Aku menghembuskan nafas, lelah menghadapi orang yang satu ini. Dia selalu merusak segalanya. Pertama, dia merusak hubunganku dengan Justin, dan sekarang? Dia merusak niatku untuk segera bertemu bantal dan kasurku hanya karena aku harus mendengarkannya melontarkan pertanyaan-pertanyaan tidak pentingnya kepadaku. Wtf?
"Ri, lo lagi kesal ya?"
"BANGET!" Emosiku tak dapat ku tahan-tahan lagi, sejak tadi aku menahannya, dan sekarang lah waktunya meledak.
Ricky terlihat terkejut dengan sikapku padanya yang kasar, "Lo kesel sama siapa?"
"LO MAU TAU GUE KESEL SAMA SIAPA HAH?"
Ricky mengangguk antusias, sepertinya dia benar-benar ingin tahu."GUE KESEL SAMA ORANG YANG KERJAANNYA GANGGUIN ORANG LAIN DAN NGERUSAK HUBUNGAN ORANG LAIN!" Kataku sambil tersenyum miring lalu berjalan pergi dengan kecepatan yang lebih cepat daripada tadi.
Aku terhenti ketika merasakan ada sebuah tangan yang menahan lenganku, ck, menyebalkan. Dengan terpaksa aku harus menoleh dan melihat wajah dia lagi. Damn.
"Siapa yang lo maksud itu?" tanya Ricky.
Rahangku mengeras, aku mengatur nafasku dan menahan airmata kekesalanku yang hendak terjun. Aku membuang muka dari pria itu.
"Siapa, Ri? Gue?"
Aku masih terdiam.
"Ri, liat gue, Ri!" pinta Ricky dengan lembut.
Aku tetap tak mau mendengarnya.
"Ri!" kali ini agak keras, membuatku menoleh kearahnya. Aku menatap matanya dengan penuh kebencian. Lalu aku mengubah arah pandanganku, dengan melirik kanan.
"Ri, lo lagi marah sama gue?"
Aku menoleh kearahnya sambil menaikkan sebelah alisku.
"Yang lo maksud itu gue, Ri?"
Aku tersenyum miring sambil menepis kasar tangan Ricky. "IYA!"
Ricky terlihat shock. Ia mungkin tak menyangka sikapku bisa sekasar ini dengannya.
"Ri, baru kali ini lo sekasar ini sama gue. Emang apa sih salah gue sampai lo berubah sikap tiga ratus enam puluh derajat gini sama gue?" kata Ricky penuh kesedihan.
Aku menelan ludahku.
"Dan tadi lo bilang, lo kesel sama orang yang ganggu hidup orang dan ngerusak hubungan orang. Emangnya gue selama ini ganggu lo?" tanya Ricky.
Aku menatapnya dengan sinis, "Lo itu sadar nggak sih sebenernya, setiap hari lo ganggu gue terus, lo dateng-dateng gitu aja di kehidupan gue, padahal gue nggak pernah minta lo buat dateng. Apa itu namanya lo nggak ganggu gue? Dimana otak lo, HAH?!"
Ricky membulatkan matanya ketika mendengar pernyataan dariku. Wajahnya sudah memerah. "Oh my God. Gue kira lo fine-fine aja kalau gue sering main. Ternyata lo merasa keganggu atas kehadiran gue? Tapi selama ini lo kelihatan seneng-seneng aja kalau gue main."
Aku menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Ricky-Ricky!" aku menatap lekat mata Ricky. "Lo masih nggak paham juga? Dimana otak lo? Gue baik sama lo, karena gue nggak mau lo kesinggung, masa gue harus usir kasar lo biar lo ngerti, harus gue kayak gitu?"
Justin mengatur nafasnya. "Ok-ok! Kalau masalah itu gue coba buat ngerti. Tapi, kalau masalah gue rusak hubungan orang, emangnya lo punya hubungan sama siapa?"
"Lo udah rusak kebahagiaan gue sama Justin! Lo bikin gue jauh dari dia." kataku begitu saja.
Ricky terlihat terkejut, "L-lo...s-suka sama Justin?"
"IYA! EMANG KENAPA? Gue suka sama dia udah lama, dan baru aja gue bisa deket sama dia, dan apa yang lo lakuin? Lo rusak itu, Ky..." kataku sambil menangis, aku tidak bisa menahannya lagi.
Ricky menatapku miris, aku rasa dia mengerti dengan perasaanku sekarang. "Maaf Ri, gue nggak maksud buat ngerusak kebahagian lo." kata Ricky sambil mencoba memegang tanganku.
Dengan segera aku menepisnya, "Udah lah, Ky! Gue nggak mau denger apapun lagi. Sekarang gue mau balik! Kepala gue mau pecah disini..." kataku sambil berjalan pergi.
Ricky menahanku, lagi. "Apa sih?" bentakku.
"Biarin gue anterin lo pulang." kata Ricky.
Aku menepis tangannya, "Gue bisa pulang sendiri!" kataku sambil melangkah pergi, baru lima langkah berjalan, aku kembali menoleh ke arah Ricky, bukan! Bukan untuk menerima ajakannya. "Dan satu lagi..."
Ricky mengangkat alisnya, "Kenapa?"
"Lo nggak usah ganggu gue lagi!"
Kali ini, aku benar-benar pergi, aku ingin melanjutkan niatku untuk segera bertemu bantal dan kasur.

KAMU SEDANG MEMBACA
FEELING [Jariana]
FanfictionTerkadang, rasa cinta kita terhadap seseorang dapat dengan mudah menutup rasa cinta orang lain terhadap kita.