Chapter 7

805 105 0
                                    

Setelah Ricky pulang, aku masuk ke dalam kamarku, aku sudah tidak sabar ingin membuka bingkisan dari Justin.

Aku membuka bingkisannya, terdapat sebuah kotak didalam bingkisan itu. Aku membuka kotaknya. Dan....ternyata isinya adalah sebuah cincin. Di permukaan cincin itu terdapat tulisan Jutik. Seketika saja bibirku membentuk senyuman.

Aku memakai cincin itu di jari manisku, pas.
Apa ya maksud Justin memberiku cincin ini? Apa dia sekarang memiliki perasaan yang sama sepertiku? Apa dia juga mencintaiku sama seperti aku mencintainya?

Aku bahagia, aku bahagiaaaa sekali. Sekarang aku dan Justin bisa sedekat ini. Padahal, dulu aku tidak bertemunya lagi setelah tiga bulan aku menolongnya. Namun, aku dipertemukannya lagi dengan dia melalui urusan ekskul. Tanpa ku sangka, sekarang aku bisa sedekat ini dengan dia. I really love you, Justin.

Ah iya, lebih baik aku menelpon Justin. Aku ingin berterimakasih pada Justin.

"Halo." Justin mengangkat telepon dariku.

"Kapil. Makasih ya cincinnya."

Justin tidak menjawab apapun.

"Kok lo bisa sih beliin ini buat gue, gue seneng banget. Gue suka banget cincin ini." kataku girang.

"Bagus deh kalau lo suka. Gue ngantuk mau tidur. Bye."

Tut....sambungan terputus.

"Justinnn!"

Kenapa Justin tidak seperti biasanya? Kenapa dia matiin telepon aku gitu aja?
Dia marah karena tadi dia melihatku bersama Ricky? Ah!

***

Aku menemui Justin yang tengah berjalan di koridor sekolah. Aku memasang wajah gembiraku karena mendapatkan cincin darinya.

"Justin!" panggilku.

Justin menoleh lalu memberhentikan langkahnya, aku menghampirinya, namun aku tidak mendapatkan senyumannya yang seperti biasanya.

"Justin liat deh.." kataku sambil menunjukkan jariku yang dilingkari cincin pemberian Justin.

Justin melihatnya, namun wajahnya hanya datar saja.

"Bagus kan?" tanyaku meminta pendapatnya.

Justin mengangguk, namun sehabis itu ia pergi. Aku dengan segera menahan lengannya. Justin menoleh.

"Justin, lo kenapa? Lo marah sama gue?" tanyaku.

Justin menggeleng lalu ia menepis lembut tanganku. "Gue buru-buru. Sorry." kata Justin sambil berjalan meninggalkanku.

Sungguh, menyakitkan.

Di abaikan oleh orang yang aku sayang, itu luar biasa sakitnya. Mataku berkaca-kaca, namun aku segera menepisnya lalu menghela nafas, aku tidak mau nantinya jika mataku sembab dan wajahku memerah. Bukan apa-apa, aku malas saja jika nantinya ada yang bertanya kenapa.

Ck. Kenapa Justin harus marah. Aku nggak sanggup jika harus berjauhan dengan Justin. Hidupku sudah terlanjur ku atur untuk bersama Justin, bagaimana jika dia tidak ada disampingku lagi? Hidupku tidak akan bisa berjalan...

Ini gara-gara dia. Ricky.

Kalau saja malam itu Ricky tidak datang menggangguku, pasti Justin tidak akan marah kepadaku. Aku benciiiii. Kenapa Ricky selalu mengganggu hidupku sejak dulu? Padahal aku tidak pernah memberinya harapan! Tapi kenapa dia terus-terusan menggangguku. Apa aku harus menjauhinyaa agar dia tidak menggangguku lagi? Kalau itu yang harus ku lakukan, akan ku lakukan. Aku tidak mau Justin menjauh dariku. Justin adalah hatiku. Aku tidak akan pernah bisa jauh dari hatiku.

***

"Sendirian aja." celetuk seseorang.

Aku menoleh. Mood ku langsung menurun ketika aku lihat orang yang ada dihadapanku sekarang. Orang yang membuatku jauh dari Justin. Geram.

"Ngapain lo disini?" tanyaku dengan judes.

"Galak banget sih, lagi PMS ya..." ledek Ricky.

Sungguh, lawakannya sama sekali tidak lucu. Sama sekali! Sok lawak. Menyebalkan.

Aku memutar bola mata malas, lalu mencari pemandangan yang lebih indah daripada aku harus melihat wajah Ricky.

"Jutek banget sih hari ini?"

Aku berdehem, "Biasa aja." jawabku jutek.

"Lagi unmood ya?"

"Banget!" jawabku.

Ricky langsung antusias, "Sama siapa?" tanya Ricky.

Apa? Dia bilang aku sebal sama siapa? Jelas-jelas aku unmood sama dia. Kenapa masih ditanya. Erght, geram sekali aku dengan orang ini.

"Ariana.."

Aku melirik Ricky, malas jika jarus menghadap ke arah wajahnya.

"Kok diem aja sih, tumben banget lo begini." kata Ricky, gue gini karena lo bikin ulah. Nggak peka banget sih ini cowok. Kenapa dia harus muncul di depan wajahku ketika mood ku sedang hancur seperti ini. Membuat mood ku semakin hancur saja.

"Ri, lo lagi kenapa sih?"

Aku menarik nafas, emosiku tak dapat tertahan lagi, ingin sekali rasanya aku menerkam orang yang ada dihadapanku. Sungguuuuuh! Oh my God! Help me. Aku ingin sekali menangis. Aku ingin bertemu Justin, aku muak dengan orang ini, aku ingin bersama Justin.

"Ri, lo ngomong dong sama gue."

Aku menelan ludah. Lalu mengatur nafasku yang sudah tak beraturan karena emosi.

"Lo apa sih, Ky!"

Ricky menatapku lembut, "Lo kenapa?" tanya dia dengan lembut. Ah, menyebalkan.

"Kenapa apanya sih?!"

"Iya lo jutek banget gitu. Kenapa sih?"

Ricky menatapku lembut, penuh rasa perdulinya. Namun, sungguh, itu tak dapat mengembalikan Justin padaku. Aku membencinya, aku benci pada orang yang menjauhkanku dari orang yang amat aku cintai. Ya, seperti yang di lakukan oleh Ricky sekarang ini.

"Ariana.."

"APA!" Aku tak dapat mengontrol emosiku, dengan segera aku mengatur nafasku lalu mengatur emosiku.

"Lo lagi kesel ya?" tanya Ricky.

"Iya!"

"Sama siapa?"

Aku tersenyum miring sambil menatapnya sinis, amat sinis. "Lo mau tau sama siapa?"

Ricky mengangkat kedua alisnya "Iya, emangnya siapa?"

"Gue kesel sama orang yang kepo dan suka ganggu hidup orang! Ditambah lagi, suka rusak hubungan orang." kataku lalu pergi meninggalkan Ricky.

Sebenarnya aku sadar Ricky berteriak memanggil-manggil namaku, namun terserah ah, aku tidak perduli.

FEELING [Jariana]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang