Part 15: Mimpi?

1.6K 36 6
                                    

Putri Aratana merasa dirinya setengah terbang di udara sebelum akhirnya ia menapak di padang ilalang tak berbunga. Langit hampir gelap. Rintik hujan turun perlahan. Terjebak di padang ilalang dengan baju yang akan segera basah dan langit yang hampir gelap sepertinya benar-benar bukan ide yang bagus.

Dan aneh sekali mengingat hal pertama yang ia harapkan adalah keberadaan Pangeran Andrea di sampingnya. Tapi tentu itu hal yang wajar karena, bagaimanapun juga, Pangeran itu adalah suaminya kan? Putri Aratana bergidik lalu menggeleng kuat-kuat. Kata ‘suami’ selalu membuat perutnya mulas.

“Aku tidak percaya kau malah memikirkan Pangeran itu disaat seharusnya kau memikirkanku”

De Bouy?

“Apa yang kaulakukan disini?” Tanya Putri Aratana gugup. Ia selalu merasa tidak nyaman ketika memikirkan De Bouy. Dan sekarang orang itu malah ada di hadapannya dengan senyum samping mengerikan begini.

“Apa maksudmu Putri? Aku yang membawamu kesini. Lebih tepat jika kau bertanya apa yang akan kita lakukan disini”

Putri Aratana bergidik. Rasanya ia tidak sanggup membayangkan kemungkinan apapun.

De Bouy terkekeh pelan. “Tenanglah, kita hanya akan bernegosiasi”

“Kalau begitu cepatlah” jawab Putri Aratana.

De Bouy mulai berjalan pelan mengelilinginya. Langit makin gelap. Putri Aratana benar-benar berharap seseorang akan datang tiba-tiba lalu membawanya pergi dari sana.

“Bagaimana kalau kau menetap di sini bersamaku?”

“Apa?”

“Hm. Sudah kuduga kau takkan mau”

“Tentu saja. Kaukira aku akan menjawab apa? Aku bahkan tidak mengenal tempat ini sama sekali”

“Kalau begitu kau bisa kembali ke kerajaan Bintang, mati pelan-pelan, dan bertemu denganku lagi di kehidupan selanjutnya”

Putri Aratana mendengus. Ia tidak tahu De Bouy ini bisa jadi sinting sekali.

“Baiklah. Biarkan aku pulang, dan mari kita bertemu di kehidupan selanjutnya” jawab Putri Aratana, setengah mengejek.

“Aku serius Putri”

“Aku juga sama seriusnya denganmu”

“Kematian itu bisa jadi sangat menyakitkan”

“Aku tahu. Aku pun tidak berharap kematian itu akan jadi sesuatu yang, menyenangkan

“Kau tidak menangkap maksudku. Kalau kau lebih bisa menggunakan otakmu, tentu kau akan memilih menetap di sini bersamaku”

Kening Putri Aratana berkerut.

“Sekarang pun aku menggunakan otakku dengan sangat baik. Aku mau pulang”

“Baiklah. Kau mungkin akan berubah pikiran setelah kau merasakan sakitnya. Kalau begitu kemari, aku akan memberimu sesuatu”

Ketika melihat gelagat curiga Putri Aratana, akhirnya De Bouy menambahkan, “Aku hanya akan memberimu kalung. Cepatlah mendekat supaya aku bisa membantumu memasangnya”

Sang Putri mendekat beberapa langkah, berbalik, lalu menyampirkan rambutnya. Ketika De Bouy selesai dengan bantuannya, Putri Aratana menyadari liontin kalung itu mirip sekali dengan bunga yang ia petik beberapa saat lalu. Hanya saja, ukurannya jauh lebih kecil dan berwujud kristal.

“Bisikan harapanmu pada kalung itu kalau kau berubah pikiran nanti”

“Hah?”

“Aku akan menjemputmu. Pada akhirnya, kau toh juga akan bersamaku. Di sini”

Putri Aratana yakin sekali bulu kuduknya merinding saat mendengar pernyataan itu.

“Engg.. baiklah. Kita lihat saja nanti. Aku mau pulang. Sekarang”

“Pejamkan matamu. Tapi sebelum itu, aku mau kau menyampaikan salamku pada Raja Albert. Katakan saja dari ‘Peramal Tua yang Terpercaya’. Itupun kalau kau bisa mengingatnya”

Setelah itu, segera setelah kalung pemberian De Bouy melingkar manis di lehernya, Putri Aratana merasa dirinya pelan-pelan terhisap ke satu titik asing. Lalu sekonyong-konyong ia sudah berada di tenda.

Ribut sekali di luar. Sang Putri baru saja hendak keluar dari sana ketika terdengar teriakan berat Pangeran Andrea.

"Kubilang apa! Kalian gadis-gadis memang tidak punya otak! Sampai sekarang pun Aratana masih menghilang. Bukannya kau juga tahu dia itu sangat penting, Safana?! Ini menyangkut masalah kerajaan!"

Aratana mengernyit bingung. Ia baru sadar bahwa dirinya memang sepenting itu.

Niatnya untuk keluar lagi-lagi urung ketika terdengar semprotan kedua Sang Pangeran. Ia memutuskan untuk tetap berada di tenda dan mendengarkan, setidaknya sampai pertanyaan sederhananya terjawab:

Apa Pangeran itu memang hanya mengkhawatirkan kerajaannya saja?

"Kalau dia tidak segera ditemukan, kalau dia tetap menghilang seperti sekarang... tidak akan ada keuntungan yang kudapat dari menikahinya! Satu lagi: kalian bertiga akan dihukum gantung kalau berita ini sampai ke telinga Raja!"

Hening. Tidak ada jawaban. Putri Aratana yakin sekali tiga orang itu sedang menunduk dalam-dalam, menyesali apa yang sebenarnya bukan kesalahan mereka.

Pelan, dan sedikit tersamarkan, Putri Aratana mendengar desisan sinis dari Pangeran Andrea yang, entah bagaimana, berhasil membuat satu bulir air mata jatuh ke pipinya. Bersamaan dengan itu, satu perasaan ganjil menelusup ke dalam hatinya.

"Daripada hilang, kenapa tidak sekalian dia mati saja sejak awal. Aku tidak perlu repot-repot mencarinya, atau bertanggung jawab atas kasus konyol ini"

Putri Aratana mundur pelan-pelan. Seharian ini rasanya ia berkali-kali mendengar tentang kematian dirinya.

Kalau begitu kau bisa kembali ke kerajaan Bintang, mati pelan-pelan, dan bertemu denganku lagi di kehidupan selanjutnya

Tentu pernyataan De Bouy itu bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Pasti memang hanya pernyataan sinting yang tidak perlu dipikirkan. Tapi karena umpatan Pangeran Andrea, entah kenapa Putri Aratana jadi merasa terganggu sekali dengan pernyataan De Bouy itu.

Daripada hilang, kenapa tidak sekalian dia mati saja sejak awal.

Seolah umpatan yang baru saja didengarnya adalah bukti awal kebenaran pernyataan De Bouy.

Tiba-tiba Putri Aratana merasa terancam. Rasanya ia ingin sekali kembali ke kerajaannya, tidur di kamarnya sendirian, berburu di hutan, menyamar. Ia ingin kembali ke kehidupan lamanya, dan terutama, ke ayahnya.

Seolah semua sikap dingin manusia di kerajaan Bintang belum cukup, seolah sikap tak acuh Pangeran dan segala kebohongannya tentang 'cinta' juga belum cukup, Putri itu masih harus merasa terancam oleh satu-satunya orang yang berusaha ia percayai, orang yang ia harap bisa jadi pengganti ayahnya, orang yang ia kira setidaknya akan 'berusaha' melindunginya.

Kecewa, Putri itu mengira ia tidak akan pernah merasakannya. Rupanya ia salah.

Marry Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang