7| Foto

45.9K 5.5K 428
                                    

Diperlakukan seperti itu dengan sangat amat tiba-tiba, perut Sacha mendadak mulas. Sacha tahu itu bukan efek badannya yang sudah kedinginan. Bahkan Sacha sudah tidak lagi merasa dingin. Seolah saraf-saraf Sacha lebih merespon hatinya yang kini berubah hangat, bahkan panas menggebu.

Bagaimana tidak? Jaraknya dengan Malki kali ini bahkan bisa diukur dengan satu jengkal tangan. Apalagi mengingat tangan Malki sedang menyentuh kepalanya, menyeka rambutnya yang basah. Tatapan Sacha terus terpaku pada bola mata di depannya itu, lengkap dengan jantung yang berdetak tak karuan.

Malki mengalihkan pandangan seraya melepas tangannya dari kepala Sacha. "Ehm," Malki berdehem. "lap sendiri deh. Udah gede juga!" ujarnya dengan nada sok ketus padahal gelagapan.

Sacha bergeming, bingung entah harus merespon seperti apa.

Malki tiba-tiba bangun dan menggaruk tengkuknya yang bahkan sama sekali tidak terasa gatal. "Bego!" serunya ke arah Sacha sebelum kemudian berlalu pergi.

Sacha hanya mengulum senyumnya.

***

"Ki?"

"Oy."

"Heh."

Malki tersadar saat mendapati tangan melayang-layang tepat di depan wajahnya. Ia mendapati Jono dan Irfan sedang menatapnya dengan pandangan kebingungan. Malki menautkan dahinya. Bukan karena Jono, bukan karena Irfan, tapi lebih karena saat ini pikirannya penuh dengan hal lain.

"Oy," lengan Malki sudah disikut oleh Irfan. "Lo dipanggil Bang Fara, tuh." Malki akhirnya tersadar dan melihat ke arah Farhan yang kini sedang berkacak pinggang di dekat kolam.

"Oh oke, thanks Bro." Malki berjalan ke arah Farhan meninggalkan tempat duduk di tepian kolam, juga Irfan dan Jono yang masih kebingungan.

***

"Jon, Fan, lo liat dompet gue gak?" tanya Malki panik sembari menyisir pandangannya ke sana ke mari.

Jono menghentikan air keran di wastafel. "Dompet apaan?" tanya Jono dengan kode lirikan ke arah Irfan.

Irfan yang menangkap sinyal itu menahan senyumnya. "Dompet apaan sih, Ki?"

Malki masih mencari. Wajahnya sudah cemas. Dahi bertautan, bibir terus digigit sembarangan. Maki membuka-tutup loker tempat penyimpanan barang dengan tergesa, sampai-sampai ia menutupnya kembali dengan cukup kasar. "Dompet gue ilang!"

"Dompet lo yang mana?" Irfan menahan wajahnya agar tetap tenang.

Malki membungkuk, memeriksa setiap kolong bangku. "Yang cokelat."

"Isi duitnya banyak?" Jono pura-pura ikut mencari ke sekitar bangku itu.

"Bukan duitnya yang gue masalahin."

"Kartu-kartu?" Irfan bertanya lagi.

Malki kembali menegakkan tubuhnya kemudian mengacak-acak wajahnya sembarang. "Ah iya, gue bahkan lupa di sana juga banyak kartu."

Jono mendelik. "Loh? Emang sebelumnya kalau bukan duit sama kartu, lo permasalahin apa?"

Malki mengusap keringat yang sudah turun di pelipisnya. "Penting. Sesuatu yang penting buat gue ada di sana. Gue gak bisa dapetin itu lagi makanya gue ...," Malki menghela napasnya memberi jeda, "gak boleh kehilangan itu." Malki akhirnya meghempaskan dirinya ke bangku dan duduk dengan bahu melemas.

Melihat Malki seperti itu, Irfan dan Jono saling pandang dengan wajah merasa bersalah.

***

Malki masih duduk di bangku. Sendirian. Kolam yang tadi ramai sudah berubah hening karena banyak ditinggal orang. Tangan Malki bergerak membuka kuncii ponselnya, kemudian menelusuri foto-foto yang ada di dalam galeri.

Tidak ada.

Foto yang dia cari sudah jelas tidak ada. Malki merutuki dirinya sendiri saat kehilangan ponsel lamanya tiga tahun lalu. Bukan ponselnya itu sendiri yang ia sayangkan. Bukan kontak yang hilang, juga bukan pula pulsa yang masih banyak. Tapi Malki selalu menyesal karena ia kehilangan banyak kenangan di ponsel itu. Termasuk foto.

Foto dia.

Aku ... kangen. Aku ... kangen senyum di wajah kamu itu. Kenapa kamu harus pergi? Malki bergumam dalam hatinya sendiri. Ingatannya menelusuri bayangan wajah seseorang hingga tampil jelas dalam benaknya. Wajah seseorang yang sejak dulu selalu, selalu, dan selalu Malki senangi.

Rindu itu terus datang menyerang. Semakin hari bukan semakin bisa hilang, yang ada malah semakin membesar. Apa yang lebih menyakitkan dari rindu namun tidak bisa bertemu? Apa yang lebih menyakitkan dari rindu menggebu namun melihatnya lagi hanyalah mimpi semu?

"Ki." Suara seseorang membuyarkan lamunan Malki.

Malki menoleh dan mendapati Irfan bersama Jono yang sudah berdiri di sampingnya.

Irfan mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Gue sama Jono sumpah cuman iseng ngerjain doang, Ki." Sebuah dompet berwarna cokelat Irfan arahkan ke depan Malki.

Malki terbelalak. "Dompet gue!"

Sambil melihat Malki yang tergesa mengecek isinya, Irfan dan Jono saling pandang dengan ketakutan yang besar. "Sori ya, Ki." Jono meminta maaf diikuti oleh Irfan.

Ada perasaan lega yang datang menghampiri Malki saat dirinya melihat foto itu masih tersimpan dengan cantik di dompetnya. "Ada. Gue seneng banget barangnya masih ada."

"Ki, sori Ki." Irfan bersuara. "Tadi lo ngelamun terus soalnya. Jadi gue sama Jono iseng pengin ngerjain lo. Kali aja abis itu lo gak murung lagi kayak tadi."

"Iya. Taunya lo malah tambah murung." Jono menambahkan. "Kita becanda doang, Ki. Sumpah."

Malki menoleh dengan tatapan sinisnya. "Gue gak akan maafin lo berdua kalo dompet gue sampe ilang gara-gara kalian!"

"Iya, iya." Irfan dan Jono tertunduk.

"Oh iya!" seru Jono. "Maaf ya Ki, tadi gue buka dompet lo. Terus liat ... emm, foto cewek di sana. Gue ngerasa foto itu mirip seseorang yang gue kenal. Tapi ..., satu sisi gak mirip. Tapi ... mirip. Ah gue juga bingung jadinya. Gak jelas juga mirip siapa. Ya gak Fan?" Jono melirik ke arah Irfan.

Irfan mengangguk. "Iya, Ki. Itu siapa emang?"

Malki tersenyum lembut. "Dia orang yang gue sayang."

***

---------------

part 7, yeay!

met malem Rabu semuanyaaa~ yang nunggu Nira dan Dunia Kana, ada? /taunya gak ada wkwk/ besok jadwal update yaaa xD

terima kasih telah mendukung penulisnya dengan follow, votes, dan memberikan komentar =)

Splash [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang