***
Gadis itu terus menangis, bahkan kerudung yang dipakainya kini telah basah. Dengan pedih ia menatap dua makam yang baru saja dibuat, makam orang tuanya. Kemudian, gadis itu menaburkan berbagai macam bunga di atas kedua makam orang tuanya.
Waktu itu...saat dimana kejadian memilukan itu terjadi. Kecelakaan mobil beruntun di jalan raya yang menewaskan hampir sepuluh orang yang semuanya mengendarai mobil. Ia tidak melihat kejadian itu, karena dirinya masih sekolah menengah pertama. Kedua orang tuanya sedang mengadakan rapat ke luar negeri pagi-pagi sekali. Bahkan saat ia bangun, orang tuanya telah pergi. Begitu sibuknya mereka dengan pekerjaannya membuat kurangnya perhatian untuknya.
Pitaloka Rosdiana. Gadis sekolah menengah pertama yang harus ditinggalkan kedua orang tuanya membuatnya itu harus mandiri. Bagaimanapun semua telah terjadi, dan tidak akan bisa dirubah lagi. Ia yakin Tuhan pasti telah merencaakan sesuatu yang lebih baik untuknya. Namun, sebagai anak remaja, ia belum siap ditinggalkan. Setelah ini, apa yang akan dilakukannya? Ia tidak punya tujuan saat ini. Ini begitu buruk.
Seseorang menyodorkan sapu tangan untuk Pitaloka, membuatnya tersadar lalu menoleh ke belakang. Mendapati sosok laki-laki lebih tinggi dengannya, tersenyum, lelaki itu berkata, "Hapus air matamu. Jangan bersedih lagi, aku siap menjadi temanmu."
Pitaloka tersenyum perih, ia menatap lelaki itu dengan sorot yang masih menyisakan pilu. Air matanya terus mengalir walau ia menghapusnya dengan sapu tangan. Sedangkan lelaki itu mendekat, meraih Pitaloka agar dapat mendekapnya dalam. Pitaloka pasrah, menerima pelukan itu karena ia memang membutuhkan tempat untuknya bernaung. Lelaki itu membelai rambut Pitaloka penuh kasih sayang, menghantarkan Pitaloka kehangatan.
"Siapa namamu?" Pitaloka mendongak, menatap lelaki itu yang tersenyum lembut.
"Aku Gumara. Dan kau gadis kecil, siapa namamu?" Tanya Gumara selembut kapas yang bertaburan, menghiasi hati Pitaloka yang meratap sedih.
"Aku Pitaloka." Gumara tersenyum lagi, senyuman yang mampu menenangkan hati Pitaloka.
"Nama yang indah." Gumara lalu melepaskan dekapannya, "Kau jangan menangis lagi ya? Aku berjanji akan selalu ada untukmu dan selalu menghiburmu."
Pitaloka tersenyum lalu mengangguk pelan, "Terima kasih."
"Kau tidak perlu berterima kasih padaku Pita. Aku juga pernah berada di posisimu. Ini memang sulit, tapi juga tidak akan merubahnya. Jadi kau jangan terlarut terus-menerus akan ini."
Gumara kemudian berdiri, "Aku pergi dulu. Ibuku pasti mencariku. Senang bertemu denganmu Pita." Gumara berlalu meninggalkan Pitaloka yang masih terisak. Ia menatap punggung lelaki itu yang mulai menjauh. Setidaknya ia memang harus menerima kenyataan ini. Ia tidak bisa terus menerus terlarut akan ini. Pitaloka tahu hidupnya akan hampa, tapi satu hal ia masih memiliki harapan. Gumara... Lelaki itu harapan Pitaloka. Gumara adalah satu-satunya cahaya yang tersisa. Agar ia mampu menjalani hidupnya yang kacau dengan cahaya itu. Cahaya yang mampu menerangi hatinya.
***
To be continue
TIARAVINNI
Minggu, 28 Februari 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Afterglow (TAMAT)
FanfictionSetiap orang pasti pernah dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Dimana kedua pilihan itu bukan merupakan pilihan bagimu. Kedua-duanya yang sangat berharga bagimu. Begitupun dengan Gumara yang harus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuknya...