Setiap orang pasti pernah dihadapkan pada dua pilihan yang sulit. Dimana kedua pilihan itu bukan merupakan pilihan bagimu. Kedua-duanya yang sangat berharga bagimu. Begitupun dengan Gumara yang harus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit untuknya...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku tahu ini sedikit panjang. Semoga gak bosan aja bacanya ;)
***
"Sampai bertemu besok." Ucap Limbubu singkat. Pitaloka tersenyum, meskipun dalam hatinya masih takut akan teror itu. Limbubu kemudian menjauh dari rumahnya. Pitaloka menghela nafas lelah, kemudian mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. Setelah membuka pintu, Pitaloka masuk kedalam. Ini masih siang dan perutnya tiba-tiba berbunyi minta diisi. Di caffe tadi ia hanya memesan cappuccino saja, karena memang saat itu ia tidak merasa lapar, tapi entah mengapa sekarang perutnya benar-benar minta diisi.
Pitaloka berjalan ke arah dapurnya yang tidak begitu besar. Pitaloka lalu membuka kulkas. Di dalam hanya ada beberapa butir telur, karena memang ia belum sempat pergi ke pasar. Tugas kuliah akhir-akhir ini terus menumpuk, membuatnya harus berada di dalam kamar seharian dengan tugas-tugas sialan itu.
Pitaloka mengambil sebutir telur. Membuat omelet bukan ide yang buruk, ia benar-benar lapar. Pitaloka kemudian mulai memasak dengan tenang. Namun pikirannya tetap pada kejadian di caffe tadi. Begitu banyak pertanyaan yang membuatnya pusing hari ini. Gumara..yang menghilang begitu saja selama setahun ini kembali lagi. Namun, Gumara bukan seperti Gumara yang dulu. Gumara sekarang begitu dingin terhadapnya.
Semua memang sudah berbeda, bahkan dia tadi bersama kekasih sekaligus calon istrinya. Pitaloka meringis, Gumara akan menikah. Itu tidak akan lama lagi. Dan dia? Apa yang harus dilakukannya jika memang Gumara akan menikah nanti. Sampai sekarang saja Pitaloka belum mampu menghapus memori ingatannya bersama Gumara dulu. Ini meyedihkan, ia harus terjebak. Dengan rasa sakit yang menyiksanya.
Pitaloka kemudian mengambil piring, lalu nasi secukupnya. Jika persediaan beras ia memang masih cukup. Pitaloka meletakkan omeletnya di piring bersama nasi yang mengeluarkan asap kecil pertanda nasi itu masih hangat. Ia makan di meja makan dalam keheningan. Tinggal sendirian memang kadang kala membuatnya merasa kesepian. Tapi, Pitaloka sudah terbiasa akan hal itu.
Ketika sedang memakan omeletnya, ponsel Pitaloka berdering. Pitaloka kemudian mengambil ponselnya di dalam tas yang berada di atas meja makan ini. Sambil masih mengunyah makanannya, Pitaloka membuka pesan yang tidak dikenalnya itu. Pitaloka mengeryit, lalu menelan sisa makanannya.
-Keluarlah, aku mengirim-mu sesuatu.-
Tanpa pikir panjang Pitaloka berjalan menuju pintu. Saat di ambang pintu, ia tiba-tiba merasa cemas. Tapi ia tepiskan rasa itu karena sesungguhnya rasa penasaran telah menguasai dirinya. Dibukanya pintu pelan tapi pasti. Pitaloka sempat terkejut kala melihat seikat bunga mawar merah segar di depan teras rumahnya. Ia kemudian mengambil bunga itu. Di antara bunga mawar itu terdapat sepucuk surat. Pitaloka mengambilnya, lalu membuka surat yang berisikan tulisan tangan yang sangat rapi.
-Mawar ke tiga belas. Aku mencintaimu selalu.-
Pitaloka mengamati sekitarnya. Tidak ada siapa-siapa disini. Ia menghirup dalam kesegaran mawar merah. Ia memang tidak tahu siapa yang mengirim mawar cantik ini, tapi ia tidak peduli. Siapapun itu, hal ini tidak begitu mengganggunya. Mungkin yang melakukan semua ini adalah penggemar rahasianya. Mungkin?