“Ko, Ri, cabut yuk!” ucap Diva saat mereka sedang belajar Sejarah di kelas.
Diva yang lima belas menit yang lalu mencoba menahan laparnya, ternyata sudah tidak dapat ditahan lagi. Dilihatnya dua sahabatnya yang masih asyik meindahkan catatan dari buku paket ke buku tulis mereka. Heran deh! Menurut Diva, Riko sama Ari makin hari makin aneh. Liat aja! Kemaren mereka solat sekarang nyatet pelajaran, setan mana yang sudah merusak du sahabatnya ini? Diva jadi merasa kehilangan kesenangan berbuat onar bareng mereka.
“Satu jam lagi bel, Div. Nyantai kek. Gue belom selelsai.” Ucap Ari tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku.
“Ah sok rajin lo, Ri! Ayo sih temenin gue. Masa gue cabut sendirian lagi. Ga enak tau!”
“Kita lagi rajin-rajinnya nih, Div. Jangan ganggu dong. Gue udah mulai males ngeladenin nyokap gue yang semaput gara-gara nilai. Lo sih enak, bebas. Lah gue!?” jelas Riko.
“Aelah ntar juga ulangan nyontek dapet bagus nilai lo. Ayo sih! Ga setia kawan nih!” seru Diva. Suaranya mulai meninggi.
Dilihatnya Riko dan Ari tidak menggubris ajakannya. Diva tidak mau menyerah. Dua sahabatnya ini emang udah berubah. Tapi, tidak sedikit pun hatinya bergerak untuk mengikuti dua sahabatnya itu. Menurut Diva, untuk apa belajar? Tidak ada orang yang harus dia banggakan.
“Riko! Ari! Ayo sih. Sebentar doang deh. Kita ke... Aww!!”
Seketika Diva mengusap kepalanya yang terasa terlempar oleh sesuatu. Dilihatnya sekeliling tempat duduknya dan dia menemukan sebuah penghapus papan tulis kayu di atas mejanya. Sial!
“Diva! Bisakah kamu diam selama saya mengajar!?” tanya Bu Endang dengan wajah memerah.
“Engga, Bu! Ibu sih ngajarinnya ngebosenin jadinya saya ngantuk. Ditambah saya laper, lengkap deh!”
Anak-anak langsung menatap ke arah Diva. Sebagian malah mulutnya menganga sangking kagetnya. Ibu Endang terkenal dengan guru paling killer di sekolah. Tatapan matanya bak burung elang. Omelannya bagai singa yang siap menelan mangsanya bulat-bulat. Dan mereka melihat Diva dengan santainya menjawab teguran guru itu membuat seluruh anak di kelas Diva sukses melongo bahkan tidak berkedip. Ini pasti seru, pikir mereka.
“Radiva Samantha!!” bentak Bu Endang.
“Apa sih, Bu, manggil-manggil saya? Nge-fans? Saya belom jadi artis loh!” jawab Diva sambil menunjukkan wajahnya yang dibuat lucu.
Wajah Bu Endang sudah memerah sangking malunya. Dia merasa reputasinya di sekolah sebagai guru paling ditakuti di sekolah diremehkan hanya gara-gara seorang anak bandel bernama Diva.
Bu Endang menaikkan sebelah alisnya. Anak ini harus diberi pelajaran. Dia harus menanggung malu! “Coba kamu jelaskan apa isi perjanjian Renville!”
“Ren.. apa? Renville? Renville itu bukannya nama kemasan isi ulang yah?” tanya Diva polos.
Semua anak menahan tawa mereka. Mereka tau apa yang dimaksud Diva. Tapi tidak mungkin mereka menyuarakannya, bisa-bisa mereka kena damprat juga oleh Bu Endang. Lalu Ari dengan kalem menjawab lelucon Diva, “Ehm.. Itu revile, Div. Kemasan revile. Yang dimaksud Bu Endang itu perjanjian Renville.”
Mendengar penjelasan temannya itu, Diva mangut-mangut, “Oh. Gue salah yah, Ri?”
“He-eh, Div.”