Pukul tujuh tepat, Arav menjemput Diva tepat di depan rumah sakit. Diva yang sudah menunggu langsung naik ke mobil Arav dan menghembuskan napas lelahnya. Baru beberapa bulan, Diva bekerja sebagai dokter di Indonesia ternyata berbeda jauh dengan di Jepang. Di Jepang, Diva bisa memeriksa pasien lebih cepat dengan alat-alat canggih yang mendukung sedangkan di Indonesia alat-alat itu belum ada. Ditambah pasien hari ini sangat banyak. Jadilah Diva harus lebih bersabar.
“Kau lelah sekali.” Celetuk Arav.
Diva mengangguk, “Pasien banyak. Alat-alat kurang mendukung. Aku jadi sedikit keteter dan aku berharap kamu memberikan sesuatu yang membuat pikiranku segar di apartemenmu.”’
Arav tersenyum tanpa menoleh ke arah Diva, “Tenang saja. Kalau kamu terima, bukan pikiranmu saja yang segar tapi hatimu juga.”
Kening Diva berkerut, “Menerima apa?”
“Liat saja nanti.”
Diva menghela napas dan dia dalam mobil. Hanya lantulan suara Mandy Moore dengan lagunya Only Hope yang mengiringi mereka. Suasana romantis tercipta. Diva memejamkan matanya. Hatinya mengikuti baris tiap baris lagu itu. Mencoba meresapi betapa dalamnya lagu cinta itu. Hatinya bernyanyi sekaligus berdoa. Berharap orang disampingnya juga menyadari bahwa Diva disampingnya bernyanyi untuknya.
So i lay my head back down
And i lift my hands and pray
To be only yours, i pray
To be only yours, i know now
Your my only hope
Lagu terus melantun. Suara Mandy Moore yang mendayu-dayu sangat membuat peraaan Diva terombang-ambing. Jatuh cinta itu sulit. Terlebih lagi dengan orang yang tidak tahu perasaan kita terhadapanya. Lagu ini menyenangkan sekaligus menyakitkan.
Tiba-tiba lagu berhenti. Diva tersentak. Dan dia melihat Arav sudah memarkirkan mobilnya di basement apartemen. Diva segera turun dan mensejajarkan langkah dengan Arav. Pintu lift lalu terbuka. Kosong. Lagi-lagi hanya berdua dengan Arav. Bagaimana Diva bisa mengontrol detak jantungnya jika kondisinya seperti ini?
“Sebenarnya apa yang kamu mau tunjukkan?” tanya Diva.
“Hanya sebuah hal kecil. Bersabarlah, Radiva.”
Diva hanya mengangguk cuek. Jantungnya bergemuruh. Apa yang bisa aku sabari kalau wajah kamu selalu buat aku penasaran, Arav!?
Pintu apartemen terbuka. Diva langsung masuk ke dalamnya dan melihat seluruh isi ruangan. Tidak ada yang berubah. Semua masih tetap sama dan tertata dengan rapi. Kamar lukis Arav juga masih ada dan terlihat beberapa lukisan baru disana. Namun lukisan tentang pipa rokok dan awan, laut serta kapal itu masih ada. Lukisan itu sedikit membuat Diva jengkel karena mengingat masa lalunya.
“Arav aku ingin ke kamar mandi.”
“Yasudah pakai saja kamar mandi yang ada di kamarku. Lebih bersih.”
Diva mengangguk dan melenggang masuk ke kamar Arav. Sementara Arav sendiri sedang membuat dua gelas orange juice dan dibawanya ke balkon apartemennya. Tempat dimana Arav dan Diva biasa bertukar cerita.
Diva keluar dari kamar mandi setelah panggilan alamnya selesai dituntaskan. Ruangan ini masih sama. Bersih dan wangi Arav bertebaran di seluruh ruangan. Wangi yang menurut Diva maskulin dan memabukkan. Diva lalu melihat ke arah dinding di depan ranjang Arav. Diva bingung. Perasaan dulu yang di depan ranjang dan digantung di dinding adalah sebuah tv. Tapi kenapa sekarang jadi lukisan yang tertutupi kain? Diva penasaran dan mencoba menarik kain itu.
