Apakah lo pikir hati nyokap lo sepicik itu, Div? Apa sama sekali ga ada keyakinan bahwa nyokap lo bukan wanita seperti itu? Apa lo sama sekali ga mau mencari jawaban tentang kenapa malah nyokap lo yang gugat cerai bokap lo?
Pertanyaan itu selalu berkecamuk dalam pikiran Diva. Sudah tiga hari semenjak Arav menyadarkan Diva dari kurungan emosinya. Sekarang Diva lebih mencoba mengikuti jalan pikirannya walaupun itu sangat berlawanan dengan emosinya. Berulang kali Diva mencoba menjawab itu dengan emosinya tapi hasilnya.. sama sekali bukan yang Diva inginkan. Hati Diva merasa ganjal dengan pertanyaan itu.
Diva mengacak-acak rambutnya. Kenapa hanya pertanyaan itu yang tidak bisa dijawab oleh emosinya? Diva mulai mempertanyakan pertanyaan itu sendiri kepada dirinya. Apakah Mama sepicik itu? Kenapa gue ga percaya sama Mama gue sendiri? Terus kenapa malah Mama yang gugat cerai Papah?
Sesungguhnya itu adalah pertanyaan yang menjawab masalahnya. Masalah yang menjorokkan Diva kalau dia harus bertanya juga pada Papahnya. Tapi Diva tahu, kalau dia bertanya pada Papahnya, bukankah itu berarti kepercayaannya pada Papahnya sudah hilang? Tidak! Rasa percaya Diva dengan Papahnya melebihi apapun. Papahnya tidak mungkin mengkhianati Mamanya duluan. Diva tahu Papahnya. Papah adalah laki-laki setia. Mamanya saja yang tidak tahu diri! Tapi.. Apa itu benar? Itu kan hanya menurut Diva. Apa harus Diva tanya kepada Mamanya?
Diva lalu beranjak dari kamarnya dan segera turun ke lantai bawah. Saat menuruni tangga, terdengar suara seorang laki-laki dan perempuan sedang bercanda. Diva lalu mengintip dari balik tembok dan melihat Mamanya sedang bermesraan dengan pria itu. Pria yang dilihat Diva di restoran dua tahun yang lalu!!
Dia tercekat. Napasnya memburu. Diva mengutuk dirinya sendiri. Kenapa dia harus memberi hatinya sedikit kepercayaan kepada Mamanya? Sudah jelas-jelas kan Mamanya seperti ini!? Dasar wanita tidak tahu diri! Bermesraan dengan laki-laki di rumah, sedang Diva, anaknya, tidak tahu!?
Darah Diva mengalir kencang. Napasnya memburu. Bola matanya bergerak tidak karuan. Diva langsung berlari menuju kamarnya. Rahangnya mengeras. Seluruh emosi telah menguasai dirinya. Pikirannya seakan ingin meledak. Mata Diva mulai memanas dan Diva merasakan mulai ada genangan air mata di matanya. Diva segera menghapus itu dengan kasar. Air matanya terlalu berharga untuk menangisi wanita seperti Mamanya!!
Dengan sekali sentakan, Diva menyambar jaket kulitnya dan mengambil kunci motornya yang tergeletak di atas meja. Tak lupa diambilnya dompet dan ponsel lalu Diva langsung berlari turun ke lantai satu dan melewati Mamanya dan pria brengsek itu.
“Diva!!” panggil Mamanya. Diva berhenti dan melihat ke arah Mamanya. Mata Diva langsung berkilat melihat Mamanya.
Mamanya terkejut tapi berusaha menahannya, “Kamu mau kemana?”
“Penting buat Mama tahu? Emang Mama peduli? Nostalgia aja sono sama pacar tersayang!!!” seru Diva sambil menekankan kalimat pacar tersayang dan melirik ke arah pria yang menatap lurus ke arah Diva. Pria penghancur rumah tangga orang!! batin Diva memaki.
Diva langsung mengambil motornya dan menggasnya dengan gila. Diva membawa motornya dan membelah padatnya lalu lintas Jakarta. Sumpah serapah keluar dari mulut para pengendara. Tapi Diva tidak mempedulikan mereka. Persetan dengan orang-orang itu!!
Diva menepikan motornya di sebuah parkiran klub malam. Klub malam ini merupakan tempat langganan Diva bila dia memang sedang stress berat dan butuh tempat pelarian. Tapi biasanya Diva tidak sampai minum tapi kali ini Diva tidak peduli. Dia hanya ingin beban di kepalanya terangkat dan hilang.