Audrey tidak tahu sudah berapa hari berlalu sejak kejadian itu, sejak terakhir kalinya Audrey bertemu Lexus dan mengalami patah hati, juga dipermalukan dengan kejam oleh satu-satunya laki-laki yang dipercaya Audrey, satu-satunya laki-laki yang pernah Audrey cintai.
Beberapa kali Audrey sempat mendengar suara derap kuda Lexus tapi semakin lama, semua itu semakin samar dalam ingatan Audrey. Semua kuda yang datang atau pergi, berderap dengan langkah yang tidak dikenalinya sama sekali.
Audrey juga mulai berhenti memandangi lubang dijendela kamar itu, berhenti menanti dan berhenti peduli pada siang ataupun malam yang datang karena semua itu tidak ada bedanya dalam kamar sempit dan remang. Audrey bahkan tidak dapat lagi merasakan rasa lapar walaupun Martha berhenti mengirimkan makanan kekamarnya, sesuai perjanjiannya dengan Lexus.
Audrey hanya ingin bergelung diatas kasur jeraminya yang gatal. Setidaknya sementara waktu, Audrey terlindung dari hujan dan panas karena saat Lexus berhasil melunasinya maka Audrey akan berakhir dijalanan. Tanpa bisa membaca atau menulis, Audrey hanya akan mendapat pekerjaan kasar untuk mencari uang, yang lebih mudah lagi adalah menjadi pelacur seperti pekerjaannya saat ini karena hanya mengandalkan wajah cantik atau tubuh molek, tapi bahkan modal untuk melacur kini sudah terenggut darinya karena kecacatan kulitnya.
Seharusnya dulu Audrey menurut saja apa kata Martha, menjadi anak baik dan melayani Lexus tanpa perlu banyak bertingkah, mungkin dengan begitu saat ini hatinya akan baik-baik saja. Audrey pasti akan menerima perlakuan buruk dari Martha saat Martha mengetahui kecacatan kulitnya tapi setidaknya bukan perlakuan buruk dari orang yang sudah memberikan Audrey sedikit harapan pada keajaiban.
Audrey mengusap lelehan air matanya sebelum membelalak dan turun dari ranjangnya mendengar suara sepatu bot mendekat kearah kamarnya.
Tidak mungkin itu Lexus, oh Tuhan apa yang harus aku lakukan? Sebelum menghentikan langkahnya dan berbalik, menegapkan pundak untuk memarahi dirinya sendiri, siapapun itu, sudah saatnya menghadapi kenyataan, Audrey. Lexus atau bukan, hidupmu ada dipundakmu. Jangan melawan dan jadilah anak baik Martha.
Audrey mengeryit saat pintu kamarnya terbuka dan membuat Audrey gemetar saat melihat seorang laki-laki dengan topi stetson bertengger di rambutnya yang hitam, mengenakan kemeja biru pudar dan sangat tampan walaupun usia laki-laki itu mungkin berbeda dua hingga dua puluh lima tahun dari dirinya, tapi Audrey tidak peduli. Audrey akan melayani kakek-kakek sekalipun jika itu yang diinginkan Martha.
Laki-laki itu bersandar santai di kusen pintu, membuat Audrey merasa sangat kecil didalam ruangan itu karena laki-laki itu terasa mendominasi.
"Hai," sapanya ramah membuat Audrey menelan ludahnya dengan susah payah, berniat untuk menjawab.
Audrey memaksakan senyumnya yang terasa menyakiti pipinya, "hai, Tuan," jawab Audrey dengan konyol karena hanya bisa menjawab demikian.
Laki-laki itu tersenyum ramah dan memandang kesekitar kamar kecil itu lalu melangkah masuk untuk membungkuk, memungut stetson Lexus yang diletakkan Audrey diatas ranjang. Laki-laki itu mengangkat stetson itu, menunjukkan pada Audrey.
"Untuk apa kau menyimpan stetson kumal seperti ini?"
Audrey menatap stetson yang kini berputar ditangan besar laki-laki itu dan membuat Audrey menelan kembali ludahnya, sebelum mengangkat pandangan pada laki-laki itu.
"Kita ... kita bisa menyingkirkannya," gagap Audrey membuat laki-laki itu tergelak sangat keras dengan tawa dalam yang anehnya membuat Audrey sedikit tenang.
"Kau terlihat luar biasa tegang, Sweetheart, santailah karena aku tidak akan menyakitimu," yakin laki-laki itu melemparkan stetson itu kembali keatas ranjang dan mendekati Audrey.
KAMU SEDANG MEMBACA
the GAME of FATE (Paxton seri 2)
RomanceCerita ini sudah dibukuka dengan judul yang sama (@70k) untuk pemesanan bisa menghubungi penulis. Selama ini, Audrey selalu meminta tolong pada Tuhan untuk melapaskannya dari ayahnya dan hanya berpikir bahwa mungkin Tuhan sedang sibuk dengan permint...