Prolog

8.5K 237 7
                                    

Bukittinggi, pada musim panas. 

Sebuah e-mail baru masuk ke inbox.


Dear Dhio

Apa kabarmu, sayang? Maaf telah mengecewakanmu, karena sepertinya aku tidak akan bisa mengunjungimu untuk beberapa waktu yang cukup lama. Hari ini baru diputuskan aku akan menangani proyek di Merauke, Papua. Yah, cukup jauh. Tapi sebenarnya aku tidak terlalu peduli lagi kemana pun mereka akan mengirimku.

Tidak ada apa pun yang mengikatku. Tidak juga masa depan, bahkan masa lalu. Yang kulakukan sekarang hanya mencoba bersabar menjalani hari demi hari hingga tiba saatnya nanti. Tapi aku selalu kangen kamu.

-Rivi-


Sebuah senyum tersungging saat Dhio membaca e-mail tersebut. Jari-jarinya segera bergerak lincah di atas laptop. 

My dear Rivi,

Aku baik-baik saja. Jangan pernah takut mengecewakanku. Bagiku, selalu ada persedian toleransi yang tak pernah habis untukmu. Bukit Tinggi akan terasa sangat sepi tanpa kehadiranmu. Aku mengerti pekerjaan ini penting buatmu. Bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi dedikasi pada sesuatu yang kau yakini. Ini perjuanganmu, perjuanganku. Perjuangan kita semua. Kau memiliki dukunganku sepenuhnya untuk itu.

Rivi sayang, bukankah selalu kukatakan bahwa masa depan kita jauh lebih indah daripada yang pernah kaupikirkan. Jangan pernah menyerah. Bersama kita akan menjalani hari demi hari dengan penuh kekuatan dan semangat pantang menyerah. Jaga dirimu baik-baik.

Cintaku selalu,

Dhio

****

Diluar matahari bersinar cerah, seakan tak sanggup menebarkan kehangatan ke setiap penjuru bumi. Karena ribuan kilometer dari situ, di sebuah tempat dengan kehidupan dan kebudayaan yang jauh berbeda. Di sebuah tempat di Jakarta, terduduk seorang pria di sebuah tempat rindang. Di depannya gundukan tanah dengan papan nisan yang terpancang sederhana. Tanpa batu nisan marmer putih. Di sela rintik hujan, hanya isakan lirih yang terdengar samar keluar dari bibirnya.

"Nuris, maaf aku harus meninggalkanmu. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan disini. Lingkungan kita semakin nyata menolakku. Semakin keras dari hari ke hari. Selama ini hanya kehadiranmu yang mampu membuatku bertahan hidup. Tapi setelah kamu pergi, harus kemana lagi aku berlindung dan mengadu? Nuris, aku kesepian. Aku sering dicengkeram ketakutan tanpa seorang pun untuk tempatku berlindung. Aku tidak ingin berpasrah diri. Aku percaya masih panjang jalan yang ku lalui. Bukankah itu yang selalu kamu ajarkan padaku? Bahwa aku harus tetap tegar dan bertahan? Karena itu aku memutuskan untuk pergi dari sini. Aku ingin mencari sebuah lingkungan yang bisa menerimaku dengan tangan terbuka. Bukan, bukan aku ingin meninggalkanmu. Kemana pun aku pergi, hanya cintamu yang selalu di hati. Maafkan aku Nuris!"

Laki-laki itu menangis, sesungguhnya berat hatinya untuk pergi. Siapa lagi yang akan membersihkan tempat peristirahatan terakhir lelaki terkasih itu jika dia pergi? Jangan-jangan tempat itu akan digusur dan diganti dengan makam orang lain. Itu bukan hanya pikiran buruk, laki-laki itu tahu jika semasa hidup saja semua orang seakan ingin menyingkirkan mereka, apalagi saat mereka sudah menyatu dengan tanah. 

Ah, tidak mungkin dia membiarkan hal itu terjadi pada Nuris. Nuris-nya. Tapi dia pun harus pergi. Masih panjang jalan yang akan ditempuhnya. Akhirnya, setelah beberapa menit menguatkan diri, laki-laki itu bangkit.

"Percayalah. Aku akan kembali, Nuris. Secepatnya. Karena aku mencintaimu," pamitnya sesaat sebelum berlalu."

****

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang