Bagian 4

2.4K 185 2
                                    

"Dirga!! This is rubbish!!" Rivi mencampakkan modul ke atas meja.

Dirga ternganga tak percaya. Apalagi sepulang dari rumah makan ikan bakar tadi malam, ia sudah begadang hingga jam tiga pagi untuk menyelesaikan modul itu. Bahkan Rivi tidak meluangkan waktu lebih dari sepuluh menit sebelum mencampakkan hasil kerja Dirga.

Rivi menatap Dirga dengan gemas.

"Tell me, Dirga! kamu sebenarnya punya pengalaman kerja di LSM atau NGO yang bergerak dibidang HIV/AIDS atau tidak?!"

Dirga menggeleng lemah.

"Pantas!" dengus Rivi.

Dirga mengangkat dagunya dengan angkuh.

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, tidak seharusnya mereka memilih orang mentah sepertimu!!" tandas Rivi pedas.

Mata Dirga menyorot tajam.

"Apa maksud mu mentah?? Jika bos-bosmu memilihku, itu artinya aku memiliki keahlian yang dibutuhkan untuk pekerjaan ini!!"

"Kalau begitu, tunjukkan keahlianmu itu!! Seminar pertama kita Senin depan. Show me your goddamned skills, for godsake!!" hardik Rivi berang sambil menggebrak meja.

Sejenak Dirga terbelalak tak percaya. Tanpa menjawab, ia bangkit dan keluar dari ruangan itu. Hatinya betul-betul panas melihat respons Rivi yang kasar. Yang ada di kepala Dirga saat itu adalah mengundurkan diri!!

Gulid diam-diam memperhatikan gerak-gerik temannya. Saat mendengar suara Rivi yang membentak-bentak Dirga dari ruangan sebelah, Gulid ikut geram melihat tingkah bos mereka. Jika modul Dirga memang banyak kekurangan, seharusnya Rivi bisa memberi arahan dengan lebih bijaksana, bukan dengan cara barbar seperti itu.

Saat pintu ruangan dibuka dengan kasar oleh Dirga, Gulid tahu pasti Dirga tersinggung berat dengan cara Rivi menegurnya. Dirga langsung menuju mejanya dan membereskan beberapa barangnya.

"Dirga kamu mau kemana?" tanya Gulid hati-hati. Sebenarnya ia tidak ingin bersuara, tapi melihat gelagat Dirga yang mencurigakan, mau tak mau ia bertanya juga.

"Aku mau pergi!!"

"Pergi kemana?" Gulid heran.

"Aku mau resign Bang!!"

"Resign?!" Gulid kaget. Tak sadar ia berdiri dari kursinya.

"Kenapa, Ga?" nada suara Gulid menjadi lemah. Meskipun baru beberapa minggu bersama-sama, ia merasa cocok bekerja sama dengan Dirga.

"Siapa yang mau bekerja dengan orang seperti dia? Sok bossy, memangnya cuma dia bos di muka bumi ini?? Hah!!" gerutu Dirga. Hatinya benar-benar panas. Tangannya bergerak seperti robot, memasukkan semua barangnya ke tas.

"Masa semudah itu kamu nyerah? Nanti dia malah merasa di atas angin dong," rayu Gulid.

Sesaat tangan Dirga berhenti. Keningnya berkerut. Gulid bersorak dalam hati.

"Maksudmu?" tanya Dirga.

"Kalau gara-gara hal sepele ini kamu resign, berarti kamu mengakui bahwa kamu nggak mampu seperti tuduhan Rivi. Seharusnya kamu buktikan dong bahwa dia salah."

"Lho, kalau aku diterima kerja di sini, itu artinya aku memang mampu kan?" Dirga ngotot.

" Iya aku tahu. Tapi Rivi minta bukti. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan bekerja disini," rayuan Gulid kembali menghanyutkan.

Dirga tercenung. Tangannya mencengkeram tas erat-erat. Bingung untuk mengambil keputusan. Harap-harap cemas, Gulid berdiri menunggu respons Dirga.

Dirga mengangkat dagunya menatap Gulid.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITA 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang